Orang-orang di Persimpangan Pinggir Lapangan



Mengapa ada pemain yang setia di satu klub dalam karier sepak bolanya dan mengapa ada yang tidak betah dan selalu ingin pergi. Berbedakah situasinya. Ataukah ada hal lain yang selalu dicari. Rasa-rasanya, kita pernah bergumul dengan pertanyaan ini di setapak jalan terjal di kehidupan masing-masing. Apa pun profesi yang dijalani.

Falcao, pesepakbola cemerlang asal Kolombia yang gagal di piala dunia pertamanya akibat cedera. Merupakan contoh terbaik di era sepakbola modern. Berdasarkan data sejarahnya, ia meraih penampilan terbaiknya di Atletico Madrid dengan 52 gol dari 68 kali bermain, dijalani dari tahun 2011 hingga 2013. Di tengah kedigdayaan pasukan Catalan, Barcelona. Falcao tetap menjadi pembeda, sepertinya, dialah satu-satunya penyerang klasik di pentas La Liga yang memakai nomor 9.

Berjarak sekitar 936 mil, kabar itu berhembus dari sebuah klub yang hendak mengulang kesuksesan masa lalu. Setelah kembali berlaga di level tertinggi Ligue 1 Prancis, AS Monaco memasang radar perburuan pemain berkualitas. Dan, Falcao menjadi incaran utama. Begitulah akhirnya, melawan Real Mallorca di Vicente Calderon merupakan laga terakhir berbaju Atletico Madrid.

Tidak butuh waktu lama bagi Falcao mencetak gol, 11 gol dari 19 laga yang dijalani cukup sebagai bukti sebelum terhenti akibat cedera. Setelah pulih, manajemen AS Monaco yang membelinya selangit memilih meminjamkannya ke Manchester United (MU). 26 laga dengan 4 gol bukanlah performa apik bagi seorang Falcao. Setan Merah, julukan MU yang tengah bergerak mencari penemuan jalan ke tangga juara dibawah arahan meneer, Louis van Gaal, melihat Falcao tak ubahnya anak bawang yang baru belajar menendang bola. MU ogah kursi cadangannya diduduki orang-orang pencari suaka (baca: pemain pinjaman).

Memang, selama di MU, Falcao lebih kelihatan sebagai pemain di persimpangan jalan. Apakah ia dibutuhkan selaku individu dalam sebuah tim ataukah sekadar kelinci percobaan sang meneer yang sedang merancang tim impian. Maklum, memegang jabatan manajer Setan Merah, adalah sebuah kutukan, perlu mengulang takdir sejarah yang telah ditorehkan Sir Alex Fergusson.

Benar saja, Falcao berlabuh ke Chelsea, tentu, masih selaku pemain pinjaman. Sedih sekali kedengarannya. Pemain penting yang membantu Kolombia melenggang ke pentas dunia di Brasil setelah absen sejak 1998. Seolah dijadikan sapi perahan saja oleh AS Monaco, sebagai timbal balik, Chelsea meminjamkan pemain mudanya, Mario Pasalic.

Setelah di Chelsea, Falcao seolah mengulang hari-hari di MU. Ketika dipecundangi Manchester City 3-0 di pentas Liga Inggris, Falcao hanya duduk gelisah di bangku cadangan. Ia tak punya daya tarik yang membuat Mourinho berpaling ke arahnya.

“Falcao, lepaskan jaketmu dan pemanasan,” teriak Special One

Dengan anggukan kepala tanpa suara, Falcao segera bangkit mengikuti perintah.

Faktanya, tidak ada percakapan di atas. Falcao hanya melipat keduatangannya di dada sambil menonton.

Ketika di MU, Falcao tidak sendiri, pemain berkualitas dari Amerika Latin yang lain, Angel Di Maria, mengalami nasib serupa. Dengan nilai transfer fantastis, Maria hengkang dari Real Madrid. Mulailah Maria berjalan ke masa lalu, ketika Veron, gelandang elegan Argentina di masanya menjalani masa sulit mengembangkan permainan. Pemain yang dianugerahi nomor keramat (7) dalam sejarah MU itu pun tidak bertahan semusim dan dibiarkan mencari suaka ke Paris. 

Sumber
Boleh disebut, Maria termasuk golongan pemain yang pernah mencicipi sakitnya berdiam di pinggir lapangan. Sungguh sebuah persimpangan sebab harganya memecahkan nilai transfer tertinggi di Inggris yang sebelumnya dipegang Torres, 59,7 juta Euro tentu pertimbangan matang guna mematenkan pemain.

Sejarah berulang, pembelian Di Maria dalam lalu lintas transfer tinggi sedikit banyaknya mirip yang dihadapi  Fernando Torres yang bergantu baju dari merah ke biru. Tahun 2011, Chelsea memboyong striker asal Spanyol itu ke Stamford Bridge. Hasilnya, tidak butuh waktu lama bagi Torres berganti baju kembali. Tidak main-main, dia pun berpindah kompetisi ke negara lain, Seri A Italia dengan kostum AC Milan. Lalu apa yang dilakukan pencetak gol penentu di final Piala Eropa 2008 itu di Chelsea? Ah, kita sama-sama tahulah.

Sumber

Pilihan tepatnya kemudian, Torres kembali ke rumahnya, Atletico Madrid. Klub yang pernah dihuni dua penyerang Chelsea sekarang ini, Falcao dan Diego Costa.

Mengapa terjadi imigrasi pemain bertalenta dalam kurung begitu cepat, banyak hal yang menentukan, di antaranya yang mencengkram roda industri sepak bola modern, ialah keberadaan agen pemain. Situasi lain terletak pada iklim kompetisi di setiap negara. Adapun faktor penentu di luar dua hal tersebut, terjadi pada hubungan individual pemain dengan pemain atau dengan pelatih.

Sumber
Apa yang dialami Teves di Manchester City tetap saja lebih parah yang dijalani Balotelli. Pelabelan pemain Bengal untuknya memang terasa pas. Bermula ketika City memboyongnya dari Internazionale Milan di tahun 2010, loncatan Balotelli dari satu klub ke klub lain sangatlah cepat. “Why Always Me”,  teriak Balotelli yang tertulis di kaus dalamnya sebagai selebrasi usai mencetak gol ketika masih di City. Setelahnya, ia sudah berkaus AC Milan, singgah kencing sebentar di Liverpool kemudian kembali ke AC Milan.

Sumber
Mereka bukanlah orang-orang buangan tanpa tujuan jelas. Kompas sudah ada di tangan sejak memutuskan menjalani hari-hari sebagai pesepakbola. Persolan kemudian diingat pesepakbola yang terpinggirkan salah satu klub yang dibela menjadi soal lain.

***
Makassar, 24 Oktober 2015



Komentar

Postingan Populer