Merancang Arsip Keluarga
Ingatan
Di tahun 1997, seorang kakak perempuan
saya merantau ke Sorong, saat itu masih provinsi Irian Jaya. Hal itu dilakukan karena mengikuti suaminya
berdagang di sana. Setahun berselang, lagi, kakak perempuan menuju Sorong
dengan motif yang sama.
Merantau merupakan satu-satunya
pilihan dalam merancang ekonomi keluarga, sebab, bertahan di kampung sama
sekali bukan solusi. Pilihan profesi cuma satu, menjadi petani. Sialnya,
profesi mulia itu bukan jaminan dalam menjaga sumber ekonomi. Apalagi sebatas
buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain.
Orangtua merelakan semuanya. Berpisah
dengan anaknya setelah menikah. Saya sendiri masih mengisi kesibukan di tingkat sekolah menengah
pertama (SMP) kala itu. Satu hal yang kuingat, adalah menunggu surat dari dua
saudara dalam mengabarkan kehidupannya. Saban bulan, selalu saja petugas pos
bertandang ke rumah membawa surat. Selanjutnya, menjadi pekerjaan saya membaca
surat itu di hadapan emak. Juga, menjadi tugas saya menulis surat balasan.
Situasi demikian berlangsung lumayan
lama, kira-kira, di tahun 2001, saya masih memeroleh surat sebelum semuanya
berganti dengan pesan pendek (SMS) dalam mengabarkan jalannya kehidupan.
Perkembangan media telekomunikasi tidak terhindarkan. Memiliki ponsel bukan
lagi kuasa orang kaya. Di hari kini, siapa saja boleh membelinya karena
harganya terjangkau.
Saya pikir, tidak ada yang keliru
dengan perkembangan media komunikasi. Begitulah perubahan bekerja. Satu hal,
jika kemudian ada abai yang berjalan. Ialah nasib surat-surat tersebut. Di mana
sekarang wujud puluhan atau bahkan ratusan helai kertas yang ditulis
tangan itu. Ya, Tuhan! Saya tidak tahu rimbanya. Saat itu menyimpannya hingga
waktu yang lama bukanlah prioritas. Padahal, seingat saya, surat itu sangat penting. Kadang, emak atau tetangga meminta dibacakan kembali jika rindu
kembali memuncak.
Prosesnya, saya kira, seiring waktu
ketika surat bukan lagi bagian dalam berkomunikasi. Maka, surat-surat itu pun raib.
Tak jarang, di dalam surat juga diselipkan sejumlah foto. Beberapa di antaranya
masih tersimpan. Tetapi, surat itu. Sungguh, tidak ada lagi yang dapat dilihat.
Padahal, bukankah sepucuk surat merupakan sesuatu yang berharga dalam merekam
peristiwa masa lalu dan bisa dijadikan rujukan di masa kini.
Saling mengabari melalui surat dalam
suatu keluarga, tentu menjadi tren dalam kurun ketika jalur informasi belumlah
seramai sekarang. Posisi surat menjadi penting sebagai usaha dalam merekam
perisitiwa yang dilalui. Di dalamnya, yang ditulis bukan sekadar informasi menyangkut
kegiatan yang sedang dijalani. Lebih jauh dari itu semua, ada semangat dalam
merekam laku kehidupan.
Lalu, di mana urgensinya sepucuk surat
dalam sebuah keluarga. Bisakah surat menjadi pedoman dalam menentukan sebuah
keputusan menyangkut sebuah keluarga. Umpamanya saja, mengenai hal-hal dalam
menjalankan keputusan kaitannya dengan semua anggota keluarga. Cakupannya bisa
saja tidak menjurus ke arah demikian.
Namun, berbicara dalam kenangan di dalam keluarga, surat memiliki posisi
kuat. Sebab di dalamnya terkandung sejumlah data pergerakan salah satu anggota
keluarga. Tepatnya, jika sebuah keluarga berkeinginan merancang semacam museum
keluarga, barangkali memang, surat menjadi penting untuk ada sebagai salah satu
arsip.
Kita tahu, sejauh ini, jika berbicara
mengenai arsip. Apalagi mengenai arsip sebuah keluarga. Memangnya siapa yang
peduli dan apa pula manfaat yang hendak dicapai. Gagasan ini masihlah utopis
dan terdengar absurd. Mungkin saja, ada satu keluarga yang memiliki data-data
material berupa foto, surat, atau benda berharga yang lain. Namun, besar
kemungkinan, kegiatan demikian masihlah kepedulian seorang anggota keluarga
saja. Belum menjadi program bersama dalam menyimpan memori yang pernah
ditapaki.
Saya sering merenungkan asal-usul
kedua orangtua saya. Jika kita bertanya pada emak atau bapak kita. Paling jauh
ingatan mereka mentok pada nenek orangtuanya. Lebih jauh ke belakang, tidak
bisa diingat lagi. Rasanya, kita pun demikian. Berdasarkan pengalaman, ingatan
kita hanya sampai pada orangtua emak dan bapak kita.
Menjadi wajar, sebab informasi
mengenai silsilah keluarga hanya melalui
cerita. Tidak berdasar pada tulisan yang dapat disimpan menjadi arsip yang
nantinya dapat dibaca generasi selanjutnya. Tidak dimungkiri, tradisi
menuliskan silsilah keluarga belumlah menjadi kebutuhan. Paling banter sekarang
ini, nama-nama anggota keluarga hanya tercatat dalam Kartu Keluarga yang
dikeluarkan Dinas Catatan Sipil.
Proses Pengembangan
Pertanyaan mendasar, apakah ada
peluang menuju proses perancangan arsip keluarga. Jika ada, apa manfaat bagi
keluarga itu sendiri dan apa kaitannya dengan publik. Selain itu, apa sajakah
standarisasi arsip sebuah keluarga.
Jika sering membaca biografi seorang
tokoh, maka sesungguhnya kita sedang diajak menelusuri jejak peristiwa tokoh
bersangkutan. Dan, bila sudah menyangkut peristiwa, tentu di sana ada tokoh
yang lain. Ada data pendukung berupa lokasi atau infrastruktur yang lain.
Tegasnya, ada data berupa arsip yang dijadikan sumber rujukan guna melengkapi
perjalanan tokoh dalam biografi tersebut.
Artinya, biografi itu tak lain
merupakan arsip seseorang kaitannya dengan keluarga dan publik. Tetapi, kembali
kepada urgensi pengumpulan arsip keluarga. Biografi boleh saja ditempuh, hanya
saja, penulisan buku demikian masihlah tergolong elitis bagi keluarga tertentu.
Penulisan biografi sejauh ini masihlah didominasi orang-orang terkenal saja di
mana publik merasa perlu untuk membaca kisahnya.
Cakupan Arsip Keluarga
Mengukur adanya sebuah arsip dalam
keluarga bisa dimulai dengan penelusuran tertulis berupa surat menyurat antar
anggota keluarga. Surat wasiat, surat berharga, atau benda pusaka. Kesemua itu
bisa menjadi penanda kalau dalam keluarga bersangkutan menjadikan arsip sebagai
peta dalam melestarikan hubungan.
Di titik itu, saya kira, menjadi
penting kaitannya dengan proses dalam menjalankan keputusan yang dapat
dijadikan pedoman bersama bila saja kepala keluarga mengalami kematian. Jadi,
sudah ada ketetapan yang dapat diakses bersama.
Tantangannya kemudian, sejauh mana arsip
keluarga ini dapat dijalankan. Apakah proses penciptaan dan penyimpanan segala
hal yang dapat dijadikan arsip mendapat kategorisasi. Cakupan yang demikian
tentu saja boleh dilakukan. Namun, semuanya tergantung pada kesepakatan dalam
keluarga itu sendiri.
Gagasan ini sepenuhnya, merupakan
bentuk keprihatinan saya saja melihat minimnya media dalam sebuah keluarga yang
dapat dijadikan wisata ke masa lalu. Misalnya saja, ada konflik internal yang
menyebabkan renggangnya hubungan antar saudara atau bahkan antara orangtua dan
anak. Nah! Di sinilah, peran arsip keluarga berupa foto, surat, atau kalau
perlu ingatan dapat berperan sebagai bahan perbaikan hubungan menjadi harmonis
kembali.
Peristiwa yang demikian ini saya
rasakan ketika saudara saya bertengkar akibat persoalan sepele. Patut dicatat,
umumnya keluarga di Indonesia merupakan perantau. Maksud saya, dalam satu
keluarga terdapat beberapa anggota keluarga yang melakukan rantau. Meski asumsi
saya ini tidaklah didasari proses penelitian. Tetapi, kita dapat melihat
fenomenanya saban tahun ketika menjelang
lebaran idul fitri. Arus mudik para perantau sudah cukup sebagai bukti atas
keluarga di Indonesia berciri perantau.
Setiap kali mudik itulah terjadi
kembali pergumulan melepas rindu. Di antaranya dilakukan dengan rekreasi
bersama ke tempat wisata atau menggelar syukuran yang kemudian direkam ke dalam
bentuk foto dan video. Proses perekaman itu berpotensi dijadikan rekaman
kenangan (arsip) keluarga unruk dilihat kembali dalam menyelesaikan pertikaian.
Masalah sekaligus tantangannya, ada
pada kita sendiri untuk mau melakukannya. Caranya bisa dilakukan oleh mereka
yang sadar akan pentingnya penciptaan dan penyimpanan arsip keluarga itu.
Saya teringat petuah di novel Milan
Kundera, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, perjuangan melawan kekuasaan adalah
perjuangan melawan lupa. Mau tidak mau, kalimat itu mengingatkan akan
pentingnya sebuah arsip. Walau konteksnya berbeda. Dalam keluarga pun bisa
dimulai proses melawan lupa dengan merancang arsip keluarga sendiri.
***
Pangkep-Makassar,
7 Oktober 2015
Komentar