Penulis, Kematian, dan Tanah Kelahiran

Jika tidak salah, tahun 2012 lalu saya pernah menghimpun data dari M Farid W Makkulau menyangkut angkatan penulis yang berasal dari Pangkep berdasarkan tahun kelahiran. Rencananya, data yang diperoleh akan disusun semacam reportase. Jika perlu, semangat rencananya saat itu, mendatangi langsung para penulis yang masih hidup guna dimintai keterangan proses kreatif.

Impian tersebut tidak berjalan hingga sekarang. Beberapa bulan lalu, Ahmad Ardian, menerangkan kalau salah satu penulis dari Pangkep, Syamsu Alam Nyonri, telah wafat, almahrum tergolong penulis generasi pertama jika diukur dari tahun kelahiran, yakni di dekade tahun 1940-an. Bersama penulis seangkatannya yang masih hidup, H M Taliu B, menerbitkan buku berjudul Jejak Andi Maruddani Karaenta Bonto-Bonto Menentang Penjajah (Pustaka Refleksi, 2008).

Jangankan di tingkat daerah, secara nasional, penulis yang seperdua jejak hidupnya bergulat dengan dunia kepenulisan. Kematian terlampau sunyi. Tidak ada gerakan tagar di media sosial. Kepergiannya hanya menjadi nisan di sebagian kawannya yang lekat atau yang sempat membaca karianya. Abdullah Harahap, menjadi contoh gres yang bisa diajukan. Pengarang ratusan judul cerita horor ini berkalang tanah pada 5 Juli 2015 tanpa kabar di media massa (arus utama). Jelaslah, disebabkan politik kanon kepenulisan (bisa juga dibaca kesusastraan) namanya tidak dianggap selaku sastrawan. Serupa Fredy S yang kematiannya juga sunyi.

Kembali ke soal kematian penulis lokal di daerah saya, Pangkep. Syamsu Alam Nyonri tentu saja nama yang asing. Ia memang menulis buku, tetapi tidak popular. Konon, menurut Muhidin M Dahlan, musuh penulis adalah risiko tidak terkenal. Jadi, kontes ungkapan dari Pramoedya Ananta Toer kalau menulis merupakan jalan menuju keabadian memang tepat. Hanya saja, konteksnya berbeda dan memiliki tingkatan. Tidak semua penulis yang telah mencatatkan namanya di lembar sejarah mampu diingat secara gempita. Semua memiliki kuota, saya kira. Abdullah Harahap dan Fredy S hanya hidup di ingatan pembacanya yang paradigmatik. Mengapa, kerena tidak semua orang yang sempat (pernah) membaca karianya mengetahui kabar kematiannya walau arus informasi sudah semelimpah sekarang ini.

Di media daring berbasis komunitas pun, Fredy S dan Abdullah Harahap tidak lebih dari tiga orang yang menuliskan eulogi sebagai penghormatan (ulasan Muhidin M Dahlan soal Fredy S bisa dibaca di sini dan catatan Ugoran Prasad  menyangkut Abdullah Harahap sila buka di sini). Menjadi miris justru ketika dua penulis ini telah memberi apa yang tidak diharap sebagai pamrih. Sumbangsihnya terhadap dunia kepenulisan bagi generasi setelahnya tidak bisa disebut nihil. Keduanya memberi corak yang, menolak membebek pada model penulisan fiksi yang melambung menjadi arus utama karena kerja politik kanon kesusastraan.

Abdullah Harahap lahir 17 Juli 1943. Dari tahun kelahiran, ia tergolong penulis angkatan lama. Dan besar dugaan, terbaik di generasinya dari tanah kelahirannya di Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Soal Fredy S, sebagaimana ia berjejak, lebih mengutamakan judul novel yang disebut picisan itu dan tidak meninggalkan keterangan perihal siapa dirinya walau sepotong. Tetapi ia benar-benar ada dan pastinya memiliki tanah kelahiran.

Ah! Baiklah, lupakan soal mengingat dan melupakan kematian seorang penulis. Mulanya, dan memang menjadi niat menuliskan kiprah orang-orang di daerah saya yang meluangkan, mengimpikan, dan belajar tentang menulis.

Empat nama penulis lokal yang telah disebutkan: M Farid W Makkulau, Ahmad Ardian, H M Taliu B, dan Syamsu Alam Nyonri. Merupakan penulis berbeda generasi. Kategorisasi yang saya buat, H M Taliu B dan Syamsu Alam Nyonri, ialah penulis asal Pangkep generasi awal. Selain mereka berdua, Jamaluddin Hatibu, penulis buku Kapten Kapal Laut (Pustaka Refleksi, 2006) juga bagian dari generasi ini. Setelahnya, muncul Asdar Muis RMS (Alm). Nama ini muncul seorang diri karena memang konsisten menempuh jalan kepenulisan. Boleh jadi, di generasinya, kelahiran tahun 60-an ada beberapa nama tetapi tidak terdeteksi. Nurdin Abu, saya kira bisa digolongkan di tapak ini.

Angkatan di bawahnya, barulah M Farid W Makkulau  dan Zulkifli. Pertama, memulai jejak selaku wartawan sebelum menulis sejumlah buku, di antaranya, Sejarah Kekaraengan di Pangkep (Pustaka Refleksi, 2010). Sedangkan Zulkifli, menerbitkan bukunya, Sungai Pangkajene yang Mengalir dalam Ingatanku, secara independen.

Generasi kelahiran dekade tahun 80-an terbilang ramai meski minim menerbitkan karya ke dalam bentuk buku. Beberapa karya tulis dipublikasikan di koran lokal, utamanya di Fajar dan Tribun Timur. Kehadiran program Sekolah Demokrasi Pangkep (SDP) dari tahun 2010 hingga 2012 yang diinisiasi oleh Yayasan Lembaga Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) dan Komunitas Demokrasi untuk Indonesia (KID) menjadi pemantik terbukanya ruang menulis di media cetak.

Selain menulis artikel di koran lokal, program ini juga menerbitkan News Letter Mandat, sehingga hampir semua peserta setiap angkatan menerbitkan tulisannya di media tersebut. Terdapat banyak nama yang dapat diajukan. Sekaitan dengan ini, arus media sosial sudah gencar. Usai mengikuti rangkaian program SDP, terdapat beberapa alumni melanjutkan proses menulis dengan membuat blog. Saya, salah satu yang menggunakan media menulis ini hingga sekarang.

Di tahun 2012, Asdar Muis RMS mengenalkan menulis status bercerita di Facebook. Semacam catatan harian yang diposting tanpa henti. Mengikuti metodenya, terdapat beberapa nama yang tergabung di grup Facebook Komunitas Sastra Pangkep. Namun, karena tak cukup nafas panjang, hanya Asdar Muis yang mampu menuliskan catatan hariannya bertajuk Malu, dan Malu Lagi selama dua tahun penuh tanpa jeda. Andai ajal belum menjemput, sekuel ketiganya, Esai Malu, tentu dituntaskan juga.

Melalui pertemuan tatap muka, sesungguhnya Asdar Muis hendak mengajak generasi muda di Pangkep untuk memulai proses menulis kreatif dengan memanfaatkan jejaring sosial Facebook. Setelah membentuk beberapa grup baru, Asdar menampilkan beragam model penulisan yang dapat dijadikan rujukan dalam menulis. Dari proses ini, muncul nama baru yang sempat menonjol, yakni Badauni AP, Ahyar Manzis, atau Munji D Gazali. Khusus Badauni, terlibat dalam proses penulisan buku yang dikerjakan Asdar.

Kelahiran tahun 90-an. Saya dan beberapa kawan dari Komuintas Lentera berusaha menerbitkan majalah sastra yang diberi nama Lentera. Tujuannya, salah satunya guna memberi ruang pada generasi 90-an menulis. Melalui ini pula dibentuk Komunitas Pelajar Lentera Pangkep yang kemudian secara gotong royong menerbitkan buku kumpulan puisi bersama, SuaraPelajar (Leutika Prio, 2014).

Oh, iya. Soal majalah sastra Lentera (sila buka link di sini). Media ini sempat terbit tiga edisi sebelum mati. Ahmad Ardian dan Munji D Gazali (generasi kelahiran tahun 80-an) sempat menerbitkan puisinya di sini. Juga, tentu saja, sejumlah nama pelajar dari pelbagai sekolah menengah atas di Pangkep.

Sayang, karena sesuatu hal, salah satunya, yang paling krusial menyangkut dana penerbitan. Lainnya, menyangkut cara pandang termasuk metode pengelolaan, juga masih minimnya kemampuan. Majalah ini almahrum begitu dini. Sedihnya, tidak ada yang menangisinya. Stop! Pernyataan ini sungguh lebay.

Sekarang sudah tahun 2015. Jika mengukur dari tapak tahun 2000, maka generasi di periode ini masihlah berusia lima tahun. Proses pertumbuhan mereka dikelilingi wujud terbaru di bidang teknologi informasi yang terus berkembang. Media semakin dekat sehingga informasi begitu cepat diperoleh sekaligus begitu mudah melupakan.
_



Komentar

Postingan Populer