Messi dan Hal-hal yang Belum Selesai



 
Sumber gambar di sini


Sebaiknya Iniesta dan Xavi pindah negara saja ke Argentina supaya Messi selalu punya pembantu. Atau, tidakkah lebih baik andai Messi dinaturalisasi ke timnas Spanyol?

Dua ungkapan di atas sering kita dengar dalam pembicaraan yang menjadi pengantar pledoi oleh mereka yang mengidolakan Messi. Sepertinya tak ingin sekali jika bocah lelaki yang baru berusia enam tahun ketika Argentina menjuarai Copa Amerika edisi tahun 1993 itu tersakiti.

Pertanyaan besarnya: mengapa harus Messi? Tidak bisa tidak. Sepakbola, meski permainan tim dengan sebelas individu di dalamnya yang berlari di sepanjang durasi 90 menit waktu normal. Penonton paling awan sekalipun akan menegaskan kesimpulan kalau terdapat satu atau dua pemain menonjol di antara yang lain.

Saya ingat tim sepak bola di desa saya, Semangat Muda, demikian namanya. Tiap kali ada kompetisi, maka tanpa dikomandoi orang-orang akan menuntut sejumlah nama agar bergabung dalam tim. Selaku tim amatir tanpa pelatih yang jelas. Seleksi berlangsung alamiah. Seseorang misalnya, meski saban sore hadir di lapangan ikut bermain. Di titik tertentu dewasa memilih mundur ketimbang berdesakan masuk dalam tim. Sebaliknya, seseorang, walau jarang terlihat menendang bola tetapi sekali waktu pernah disaksikan bola menggelinding mengkuti langkah kedua kakinya, maka dialah yang disepakati mengisi skuad tim. Seperti itulah keistimewaan dan penghormatan pada seseorang yang memiliki bakat melebihi yang lain.

Hal demikian itu dilahirkan mendahului proses. Di kolong langit. Di jagat sepak bola amatir dan profesional. Di pentas kompetisi antar klub setiap negara di dunia.  Keistimewaan individu dalam tim selalu dirindu. Apresiasinya, kadang memang berlebihan, di pundak pemain teristimewa itulah impian ditanamkan. Berharap tumbuh hasil terbaik akan dituah.

Sayangnya, tidak semua nasib ditakdirkan pada mereka. Mungkin iya, di fase tertentu. Apa yang masih alpa dipersembahkan Messi bagi klubnya, Barcelona FC. Timbal baliknya Messi merengkuh perayaan dalam dirinya. Dapatlah dibayangkan rekornnya meraih Ballon d’Or, selaku manifestasi penghargaan atas keistimewaannya itu berkali-kali, berturut-turut pula, bakal bertahan begitu lama.

Messi menjalani perayaan sunyi atas semuanya. Mengapa, sebab selaku individu, kebebasannya terpenjara dalam figura tanah air. Seorang pembangkang sekalipun yang dinistakan pemerintah di negaranya, tetap rindu berbuat sesuatu bagi tanah kelahirannya. Digaris bawahi bahwa hubungan saling merindu di sini terletak pada jiwa hubungannya dengan bumi di mana kali pertama ditatap, dipijak, atau narasi yang ditemani bertumbuh.

Dalam ingatan, sebenarnya Messi tidak sendiri. Jika menggunakan keistimewaan individual. Baiklah. Lepaskan kurungan paradigma Ballon d’Or dulu. Inggris pernah diperkuat pemain istimewa seolah berasal dari Amerika Latin, Paul Gascoigne, jika melihat aksi individunya melalui tayangan video di You Tube, saya kira tidak berlebihan dikatakan kalau dialah satu-satunya pemain Inggris yang dianugerahi keistimewaan mengocek bola sedemikan fasihnya melebihi pemain dari Brasil sekalipun kalau parameternya hanyalah Kaka.

Tentu, banyak sosok yang lain dapat diajukan guna menambahkan. Jika kembali ke soal penghargaan individu tertinggi di muka bumi. Cristiano Ronaldo menjadi contoh terbaik selain Messi. Hampir sama saja, Ronaldo asal Portugal ini menghadiri perayaan di beberapa klub yang pernah dibelanya. Tetapi, mengapa impian pecinta bola di dunia tidak semarak mengajukan CR7, julukannya, meraih sesuatu bersama negaranya. Piala Eropa tahun 2004, generasi emas Portugal menembus final. Meski masih terlindung di balik bayang nama besar Luis Figo dan Rui Costa, CR7 ikut dalam skuad dan bermain di partai final yang diselenggarakan di negaranya sendiri. Nasib, CR7 menangis bukan karena haru memenangkan pertandingan. Sebaliknya, ia tersedu karena Yunani, melalui gol semata wayang penyerang mereka yang sepertinya lebih pas berprofesi model majalah pria ketimbang mengenakan nomor punggung 9 itu. Nyatanya, sundulan Angelos Charisteas sumber petaka bagi Portugal.

Luis Figo sebagaimana Rui Costa, dua pesepak bola yang terus diingat pemilik keistimewaan tersendiri. Tetap saja, hingga mereka pensiun, gelar bergengsi bagi negara tidak juga dicatatkan di luar prestasi karier mereka di timnas junior.


Don't Cry for Me Argentina

Tembang yang menceritakan sosok Evita Peron, ibu negara Argentina di masa pemerintahan presiden Juan Peron, presdien ke 29 Argentina yang menjabat dari tahun 1946 hingga 1955. Klip tembang ini popular sekali. Pertama kali saya saksikan di layar kaca di awal tahun 2000-an yang dilantunkan Madonna.

Don't cry for me Argentina
The truth is I never left you
All through my wild days
My mad existence
I kept my promise

Messi kini berusia 28 tahun. Piala dunia edisi berikutnya, genap 31 tahun. Usia terbilang tua bagi pemain sepak bola profesional. Maradona terbilang muda ketika mengantar Argentina juara di tahun 1986 di Meksiko, yakni 26 tahun.

Sepenggal lirik di atas menggambarkan keteguhan. Selaku warga negara, Messi tentu ingin sekali mempersembahkan gelar piala dunia sebagaimana Maradona yang, dianugerahi keistimewaan individu dalam bermain. Tapak itu masih ada di sisa piala dunia yang akan datang di tahun 2018.

Don’t cry Messi. Tiga final sudah, Copa America tahun 2007, Messi sudah masuk dalam skuad Argentina ketika dikalahkan Brasil. Tahun 2014, Messi sudah ditunjuk kapten memimpin Argentina hingga final piala dunia. Dan, setahun berselang, 2015. Kembali ia harus merelakan satu kepingan itu lagi. Melalui adu penalti, hanya Messi yang mampu merobek jala Bravo, kiper Chili. Higuain dan Banega gagal. Lepaslah sudah. Kembali butuh waktu, Messi!

Sebagai pesepak bola, aksi individu Messi memang lain. Melewati tiga hingga lima pemain lawan sudah sering dilakoni. Mencipta gol dengan cara magic juga teramat banyak. Itulah mengapa tuntutan serupa diharapkan terjadi kala ia berkostum Argentina.

Mengenai tidak adanya Iniesta atau Xavi di belakangnya. Sejujurnya sedikit mengada-ada. Argumen ini tidaklah rasional. Zen RS dalam esainya di PanditFootbal, bertajuk (Bukan) Pledoi untuk Messi, mengetengahkan posisi Messi yang memiliki kejeniusan, kemampuan, dan kulaifikasi individual seorang pemain layaknya yang pernah ditunjukkan Maradona.

Sesungguhnya, Messi tidak memerlukan Iniesta, Xavi, atau keseluruhan pemian Barcelona. Bukankah di Argentina sudah ada Angel Di Maria, Aguero, Pastore, Rojo, bahkan Mascherano.

Jika coba disangkal, apakah kualitas Maria dan Pastore selevel dengan Iniesta dengan Xavi. Oposisi binernya, memangnya lini tengah Chili sepadan gelandang di tim Real Madrid. Apakah Vidal satu kasta dengan CR7 ataukah Sánchez memiliki kualitas seperti Bale.

Tidak pada tempatnya membela Messi dengan mengeluhkan ketiadaan Xavi dan Iniesta (atau Alves atau Pique) di Argentina. Mengeluhkan ketiadaan sosok seperti Xavi dan Iniesta di Argentina sebagai faktor kegagalan Messi di timnas akhirnya menjadi alasan yang tidak adil.[1]

Tuntutan kejeniusan seperti itulah yang dituntut publik Argentina untuk Messi. Dan, mau tidak mau Messi sudah masuk ke dalam lingkaran tersebut. Memilih mundur dari timnas, justru tindakan paling pandir baginya. Berbeda saya kira dengan Mascherano yang memilih mundur usai laga final. Bagi Messi, kesempatan masih ada, pas sekali, Copa America Centenario  yang akan digelar pada 2016 dan Piala Dunia 2018. Dua lakon inilah yang perlu diselesaikan sebelum Messi wajar memilih mundur karena usia?

***
Pangkep-Makassar, 6 Juli 2015




Komentar

Postingan Populer