Penyanyi Jalanan Juga Profesi, Kawan!
Sabtu, 23 Mei. Gelaran terakhir Mega
Even KPJ Pangkep 2015 selama tiga hari yang dimulai pada Kamis, 21 Mei. Karena
tidak sempat hadir pada hari pertama dan kedua. Barulah di gelaran penutupan
saya meluangkan waktu.
Hari sudah sore ketika saya tiba di
area GOR, lokasi yang dipilih panitia menggelar kegiatan. Di area parkir, hanya
terlihat beberapa sepeda motor. Tidak ada spanduk kegiatan di depan gedung.
Mulanya, kuanggap kegiatan berpindah di tempat lain atau telah
selesai. Tetapi,
saya melihat sepeda motor yang kuakrabi. Saya yakin, pemilik Honda Blade yang
tidak pernah dicuci itu ada di dalam gedung. Sambil melongok ke dalam, nomor
kontaknya kuhubungi. Benar saja, Badauni AP, lelaki berambut panjang itu sedang
duduk seorang diri di tengah deretan kursi plastik.
Menyaksikan pemandangan di dalam
gedung. Sungguh bertolak belakang dengan informasi di spanduk kegiatan yang
dipajang di Taman Musafir. Informasi yang sama sudah sering diposting di
Facebook. Bahwa kegiatan ini bakal dimeriahkan dengan pameran produk industri
kreatif. Hasilnya, semuanya nihil.
Melihat saya sedang berbincang dengan
Uni, sapaan akrab Badauni AP. Eno, salah satu anggota KPJ menghampiri. Langsung
saja kucecar pertanyaan menyangkut kegiatan. Ia menjelaskan kalau KPJ Pangkep
ingin menunjukkan kalau komunitas ini bukan hanya sebatas nama dan tempat pelarian oleh mereka
yang tersisih di lingkungan keluarga atau masyarakat. “Kami ingin menegaskan
kalau KPJ Pangkep merupakan wadah untuk saling berbagi.” Terangnya.
Di atas panggung yang telah
didekorasi, beberapa orang sedang bernyanyi. Di antaranya tidak asing lagi. Di
sana ada Pio, dahulu teman
sekampus di STAI DDI Pangkep. Sandy, anggota KPJ yang juga melakoni hidup
selaku wartawan. Satunya lagi, Rahman, saya mengenalnya sebagai aktivis dari
UNM Makassar, di tahun 2008 pernah terlibat di kegiatan yang sama memperingati
Hari Sumpah Pemuda di pelataran tugu bambu runcing.
Sandy dan Rahman tampak sibuk.
Keduanya mulai menyetel persiapan pemutaran film dokumenter yang akan diputar pada malam hari. Tak
lama kemudian, Sandy saya panggil dan mengorek keterangan darinya. Nampaknya, ia sudah paham. Ia runut
menjelaskan semuanya. Mulai dari ide awal pembuatan film sampai pada tantangan
yang dihadapi selama persiapan kegiatan.
KPJ Pangkep, katanya, hendak
membuktikan kalau kami juga bisa membuat kegiatan sebesar ini. Ia menunjuk
pajangan spanduk di atas panggung. Maksudnya, tentu bukan pada ukuran
spanduknya, tetapi pada bentuk kegiatan yang memakan waktu tiga hari.
“Jalanan adalah Kehidupan,” katanya
lagi.
Sandy juga menuturkan kalau sepinya
kegiatan boleh jadi merupakan efek aroma pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang
mulai berhembus. Hal tersebut memicu kelompok masyarakat enggan berpartisipasi
karena menolak tergerus dalam polarisasi dukungan terhadap bakal calon
tertentu.
Padahal, masih menurutnya, even yang
digelar KPJ Pangkep sama sekali tidak memiliki afiliasi ke partai politik,
apalagi dikaitkan dengan Pilkada. Melalaui kegiatan bertajuk: Kami Bukan
Pengemis, ingin menegaskan kalau penyanyi jalanan adalah profesi juga. Tidak ada bedanya dengan
musisi yang sering muncul di layar kaca. Medianya saja yang berbeda.
Eno, misalnya, sejak memilih Pangkep
sebagai ruang menjalani profesi selaku musisi jalanan. Ia selalu bersikap
profesional, tidak sekadar menggenjreng gitar dan bernyanyi mengharap derma
pendengar. Secara teknik, ia sungguh menguasai alat musik yang dimainkan dengan
dukungan vokal terbilang baik.
Begitupun di malam kegiatan puncak.
Bersama kawan-kawan, mereka tampil memukau meski pengunjung sepi. Tentu,
tembang Iwan Falls yang mendominasi sebagai rujukan mereka dalam menetapkan
genre musik. Tetapi, balada tak melulu mereka nyanyikan jika sedang bekerja.
Sadar dengan situasi, tembang pop pun dilantunkan.
Menilik kehadiran penyanyi jalanan di
Pangkep, tidak bisa dipisahkan dari perubahan tata ruang Pantai Losari. Di era
pemerintahan walikota Ilham Arief Sirajuddin, area kuliner yang dikenal dengan
meja terpanjang itu direlokasi ke kawasan Metro Tanjung Bunga di tahun 2004.
Praktis, bergantinya warung tenda
dengan cafe memutus ruang para musisi jalanan. Pasalnya, pengelola cafe
menyetel musik menggunakan media elektronik. Jelaslah, hal tersebut menjadi
lonceng kematian musisi jalanan. Siapa yang mau mendengar mereka bernyanyi.
Di satu sisih, beralih profesi ke
jalur formal cukup sulit. Tidak ada pilihan lain, mereka bertaruh mencari ruang
di daerah. Pangkep dipilih karena memiliki jajanan kuliner di malam hari. Dan,
di tepi sungai Pangkajene, akrab disebut Pinggir Sungai (PIS) mereka menetapkan
panggung untuk bertahan menjalani hidup berlabel musisi jalanan.
Jejak Hidup
Tahun 2015 kini. Jika dihitung dari
tahun 2004, berarti sudah sebelas tahun KPJ bertahan di Pangkep. Sandy sendiri
sudah berkeluarga dengan mempersunting perempuan di Pangkep, begitupun dengan
Ical, juga musisi jalanan yang kini bersama istrinya berjualan pisang epe di
PIS.
Sandy, Eno, dan Ical bukanlah orang
pertama yang memulai. Sebelumnya, menurut Sandy, adalah Eko, Hendrik, dan Dani
yang pertama kali mengamen di Pangkep. Dari ketiga orang itulah Sandy diajak.
Begitulah siklusnya, dalam perjalanan selanjutnya, di antara mereka ada yang
datang dan pergi. Hingga sekarang, hanya Sandy, Eno, dan Ical tetap setia membangun
jejak hidup di Pangkep.
Jejak hidup itu kemudian mereka
tuangkan ke dalam film dokumenter. Karena tak cukup kuasa mewujudkan, Sandy meminta
Rahman terlibat. Bertindak sutradara, Rahman menerangakn kalau film mulai digarap
dari Maret dengan segala tantangan, mulai dari keterbatasan alat hingga biaya.
“Karena film merupakan produk
industri kreatif. Memproduksi film dokumenter tentang perjalanan KPJ Pangkep
itu sendiri dimaksudkan sebagai bagian dari kreatifitas.” Rahman mengutip Jordan, ketua
KPJ Makassar. Kehadiran KPJ memang untuk mewadahi tumbuhnya kreatifitas bagi
anggota.
Jadi, film yang dibuat lebih dari
proses menghimpun kepingan perjalanan. Menurut Sandy sendiri, film tersebut mulanya
untuk konsumsi pribadi dan akan menjadi properti tur KPJ Pangkep ke KPJ di kota
yang lain di seluruh Indonesia.
Sedangkan menanggapi sepinya
pengunjung selama tiga hari. Di tambah minimnya kelompok pengusaha industri
kreatif terlibat. Bagi Rahman, itu sudah biasa dan tidak ada masalah. Sebab,
KPJ imejnya dikenal anak jalanan. Besar kemungkinan, mereka, masih menganggap
kalau kegiatan ini tidak menarik untuk diikuti.
Subhan, wartawan di salah satu harian
lokal, juga tidak mempermasalahkan. “Kegiatan ini eksklusif, hanya mereka yang
memahami filosofi jalanan yang bakal datang.” Ucapnya.
“Benar sekali, deretan kursi
yang disiapkan tidak terisi. Di hari pertama dan kedua juga
demikian. Di malam hari hanya diisi oleh kawan-kawan sendiri dan penampilan
dari komunitas yang lain yang meluangkan waktu bertandang. Meski begitu, kami
tetap bangga. Kehadiran KPJ Makassar sudah cukup sebagai apresiasi atas apa
yang telah kami lakukan.” Ujar Sandy.
Berbeda dengan Pio, menurutnya,
kegiatan ini memakan waktu terlalu banyak. Ia menduga kalau panitia keliru
membaca situasi di Pangkep. “Seandainya saja digelar di PIS, tentu akan
berbeda. Tantangan menggelar kegiatan di Pangkep yang melibatkan orang banyak,
perlu tunduk pada realitas. Yakni, menempatkan kegiatan di lokasi yang memang
tempat orang berkumpul.” Pungkasnya.
Namun, terlepas dari sepinya
pengunjung. Dan, meskipun di malam terakhir itu saya tidak menyaksikan semua
pagelaran. Kegiatan semacam ini adalah oase di tengah minimnya hiburan
alternatif di Pangkep, sekaligus pembuktian kalau penyanyi jalanan itu mampu
menunjukkan kualitas bermusik. Sebab, mereka juga profesional. Karena itulah layak disebut sebagai profesi
juga, kawan!
***
Pangkep-Makassar, 27 Mei 2015
Catatan terkait. Rantau Suara Trubadur Jalanan
Komentar