Biar Telat Asal Tuntas: Mendengar Iwan Falls di Pete-Pete






Karambol menjadi hiburan gres di kampung. Dari pagi hingga malam. Anak-anak dan orang tua. Semua berkerumun menanti antrean bermain. Masalah sekaligus tantangan. Sebab, sebidang papan persegi licin itu hanya ada satu. Milik salah satu warga tak jauh dari rumah.

Sebagai bocah usia sekolah menengah pertama, saya, tentu saja menolak alpa dalam tontonan. Karena peluang bermain kecil, jadilah saya dan teman-teman sebaya yang lain penonton setia menanti magrib. Sela waktu beribadah itu adalah ruang bagi anak-anak bermain.

Si pemilik karambol masihlah pemuda. Di kolong rumah panggung orangtuanya, ia membangun kamar. Dari ruangan itulah tape recorder tak henti memutar tembang Iwan Falls. Tikus Tikus Kantor, Surat Buat Wakil Rakyat, dan Galang Rambu Anarki saya dengarkan. Momennya pas, kala itu baru setahun Soeharto mundur. Kata reformasi jamak disebutkan. Seorang supir pete-pete, ­jenis moda angkutan darat, bahkan, memajang kata itu besar-besar di kaca depan mobilnya menggunakan media stiker. Merah menyalah. Biar tidak dibakar kalau ke Makassar, kata pemilik kamar itu.

Saluran televisi tentulah tidak seramai hari ini. Walau MTV melayar dengan ragam program musiknya. Tak sekalipun saya jumpai klip Iwan Falls. Maklum, masih keterangan yang saya dengarkan dari pemuda itu, Iwan Falls bukanlah generasi MTV. Tembangnya sudah ada jauh sebelum Boomerang atau Jamrud menjadi panutan anak muda.

Begitulah. Iwan Falls menjadi impian di hari mendatang sejak itu. Ke depan, saya ingin membeli langsung kasetnya. Mengoleksi seluruh albumnya jika kesampaian. Saya masihlah pelajar kelas dua sekolah menengah pertama. Membeli tape recorder lengkap dengan kaset, bukanlah kemampuan. Tetapi, niat itu sudah ada. Tentu saja.

Sekali waktu saat berangkat ke sekolah. Di pete-pete, tembang Iwan Falls mengalun. Mobil itu sudah sering saya tumpangi. Namun, baru kali ini tembang Iwan Falls yang kudengar. Dulu-dulunya, didominasi tembang dari band Malaysia.

Perjalanan menuju sekolah kira-kira sepuluh menit saja. Kebiasaan telat masuk di ruang kelas sudah menjadi hobi meski peluang itu bisa saya kurangi. Jika tidak di kantin, saya dan beberapa teman berbagi sebatang rokok di kaki gunung karst tak jauh dari sekolah. Hari itu, saya memilih telat karena tidak ingin melewatkan tembang Iwan Falls. Duduklah saya di dalam angkutan walau pintu gerbang terlewati. Dan, siswa yang lain sudah pada turun. Rencananya, saya akan turun di depan masjid di kompleks eks pabrik PT Semen Tonasa 1. Lalu selanjutnya, saya akan jalan kaki sekitar setengah kilo meter menuju sekolah melewati pematang sawah yang, menjadi jalan pintas untuk segera tiba di sekolah. Sia-sia rasanya jika tidak menuntaskan pengalaman berharga itu.

Saya tidak tahu apa judul tembang yang diputar. Hanya mengenali suara kalau itu keluar dari mulut Iwan Falls. Belakangan, barulah saya tahu dari sampul kaset milik pemuda di kampung pemilik karambol itu. Hatta, itulah judul tembang yang membuatku menetapkan pilihan. Rela terlambat.

Selaku remaja dan tak cukup akses menyangkut perkembangan skena musik. Mendengarkan Iwan Falls seolah temuan langka di antara jenis musik yang merajai sirkulasi hiburan di kampung. Kelompok pemuda disatukan dalam kesamaan selera yang, sebenarnya tergiring karena minimnya pilihan. Di tahun-tahun itu, kelompok musik asal Malaisya menjadi tren. Jika harus kembali ke asal. Pilihannya jatuh pada tembang lokal. Aneka tembang berbahasa Bugis.

Beberapa tahun selanjutnya, saya sudah mampu membeli tape dan sejumlah kaset Iwan Falls. Belajar memainkan gitar dan menyanyikan tembang yang dapat kulantunkan. Tidak banyak. Tetapi, yang tidak banyak itu saya hafal sebagaimana mengingat surah Alfatiha. Walau mimpi buruk tetap bisa melafalkannya.

***
Makassar, 8 Mei 2015


Komentar

Postingan Populer