Perkara Burung yang Menjadi Dendam Bersama








Eka Kurniawan tidak terhentikan, ia melaju melampaui kehendak kita selaku pembaca. Setelah ini, besar kemungkinan menjadi candu. Selalu dirindu menemani kita duduk berlama-lama di warung kopi, menyisihkan daftar belanja atau agenda, walau itu mendesak. Eka Kurniawan tidak tertahankan untuk didahulukan.

Sebelum novel ketiganya, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, terpajang di toko buku, melalui website pribadinya, ekakurniawan.com, ia mengundang khalayak mengajukan alasan mengapa harus membaca novel ketiganya itu. Pengakuan yang menggugahnya mendapat novel cuma-cuma, bukti ketergugahan dikirimkan salam Hai melalui surel. Di inbox email saya, salam itu mucul. Saya senang. Menganggap ajakan itu bagai kompetisi karena kuyakin ada banyak pembacanya mengirim pendapat.

Hanya saja, kiriman tak kunjung datang hingga sekarang. Besar dugaan, jasa pengiriman tidak mengetahui alamat rumah saya di salah satu desa di kabupaten Pangkep, berjarak sekitar 50 Km sisi utara kota Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan.

Tentu ada kecewa bergelayut. Pasalnya, Eka Kurniawan akan hadir di gelaran Makassar International Writer Festival (MIWF) pada Juni 2014. Harusnya novel sudah kuterima sebelum acara. Keinginan saya, novel itu serupa tiket untuk berjumpa dengan Eka kali pertama. Hingga saya memarkir sepeda motor di halaman benteng Rotterdam guna mengikuti sesi Sastra dan Politik yang menghadirkan Eka Kurniawan dan Linda Christanty, novel itu ogah saya beli. Saya cukup membawa novel pertamanya, Cantik Itu Luka cetakan pertama dan kumpulan cerpen Rahasia Selma karya Linda. Kedua penulis itu membubuhkan tanda tangannya di bukunya masing-masing.

Demikianlah sihir Eka, ia seolah candu yang dirindu. Saya tidak kapok mengikuti kemauannya. Februari lalu, ia kembali membuka kuis berhadiah buku kumpulan cerpen terbarunya, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, khalayak dipinta mengirim pertanyaan seputar sastra, pertanyaan terpilih akan dijawab dan otomatis berhak atas buku terbaru itu. Dari lima pertanyaan yang dijawab, saya termasuk di dalamnya setelah mengirimkan dua pertanyaan. Kiriman buku itu tengah saya nantikan.

***
Berbulan-bulan setelah undangan mengungkapkan alasan mengapa harus membaca novel ketiganya, barulah 4 Maret lalu saya membeli novel itu kemudian suntuk membacanya semalaman. Sebenarnya, saya ingin menolak membaca ulasan novel tersebut di sejumlah blog atau media cetak. Itu pantangan yang kubuat sendiri. Haram hukumnya membaca ulasan orang lain sebelum saya menuntaskan. Patok ini termasuk buku yang lain dari penulis berbeda. Namun, saya melanggarnya, tahulah saya nama-nama tokoh dan peristiwa yang melatarbelakangingya. Candu Eka telah menyebar ke mana-mana.

Kesan pertama membaca novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, sama dengan dua novel sebelumnya, Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau, paragraf pertama adalah pertanyaan sekaligus teka-teki. Seolah kita wajib mencari jawabnya di lembaran selanjutnya, atau tiba-tiba menemukan diri berubah detektif yang perlu mengurai benang kusut atas kejadian yang nampak di depan mata.

Penjelasan apa yang dapat memuaskan sehingga menyepakati pendapat Iwan Angsa, kalau hanya orang yang kontolnya tak dapat mengeras mampu berkelahi tanpa takut mati. Sekumpulan pendapat menyangkut lelaki guna menguatkan dominasi maskulinitas, terletak pada burungnya. Maka, kita akan mendengar ejekan disebut banci jika takut berkelahi. Banci di posisi itu menunjukkan lemahnya kontol. Tetapi, dalam kenyataan pada diri Ajo Kawir, ia justru beringas di usianya yang masih belia. Ketika sadar menemukan kontolnya tertidur pulas setelah menyaksikan peristiwa dua polisi memerkosa perempuan sinting, Rona Merah.

Ia takut dan tentu saja sedih menerima kenyataan. Sejumlah usaha ditempuh agar burungnya normal. Iwan Angsa pernah mengajaknya menemui pelacur, kali saja teransang dengan sekali sentuhan. Ajo Kawir malah pernah mengolesinya cabai, juga membiarkan lebah menyengatnya. Hasilnya, usaha gila itu gagal total. Putus asa, Ajo Kawir nekat ingin memenggal burungnya saja, jika saja Si Tokek tidak memergokinya, hilanglah identitas kelakian itu.

Perkara burung itulah kemudian menuntun kehidupan selanjutnya. Di hari-hari yang dilewati, Ajo Kawir tampil sebagai bocah gemar berkelahi. Bersama karibnya, Si Tokek, keduanya menciptakan ruang adu jotos. Kadang berakhir kemenangan. Kadang pula mengerang kesakitan.

Sebagai bocah berengsek, Ajo Kawir tentu masih dilengkapi sisi kemanusiaan yang lain. Ketika berjumpa dengan Rani, kawan masa sekolahnya, ia mendegar peristiwa tentang Si Janda Muda yang dihinakan. Suaminya mati akibat rencana bengis Pak Lebe yang diam-diam mengincar tubuhnya. Terperosoklah perempuan itu dalam perhitungan nasib. Pada akhirnya merelakan dirinya ditiduri demi sewa kontrakan. Pak Lebe menggila, bukan hanya dia yang menikmati, beberapa kawannya diajak serta hinga janda itu bunting. Keluarga Rani kemudian bersedia menampungnya.

Di situlah Ajo Kawir kadang merasa sedih, tak bisa menerima penistaan terhadapa manusia, apalagi itu perempuan. Ia menjerumuskan dirinya ke dalam nasib Si Janda Muda dan ingin membunuh Pak Lebe. Pilihan itu mempertemukannya dengan Ietung, perempuan jago berkelahi yang tumbuh dengan luka masa kecilnya, dilecehkan oleh gurunya sendiri. Berkali-kali terperangkap dalam kecabulan gurunya itu.

Ketika Ajo Kawir datang mencari Pak Lebe, Ietung adalah pengawal pribadinya. Ajo Kawir perlu meladeninya berkelahi sebelum mematahkan hidung Pak Lebe. Syahdan! Keduanya lalu memendam rasa dan menjalani hubungan cinta yang rumit, sadis, dan menyeramkan.

Ajo Kawir sadar kalau perempuan memerlukan burung, yang bisa ngaceng, tentunya, apalagi sudah menikah. Kesedihan perihal burung terlelap mengajak Ajo Kawir berusaha mengindari Ietung. Namun, jika sudah cinta, topeng jenis apa lagi yang dapat digunakan menutupi wajah. Si Tokek, diam-diam menyadari dan terus menerus mendorong Ajo Kawir agar jujur. Sebagai karib sejak kecil, Si Tokek merawat sesal dan juga dendam, dialah yang mengajak Ajo Kawir di malam buta mengintip Rona Merah. Sial, dalam rencana itu Ajo Kawir menjadi tumbal. Ketangkap basah oleh polisi kemudian mengajaknya menonton langsung adegan pemerkosaan perempuan sinting, janda jagoan Agus Klobot.

Lebih dari menonton, dua polisi itu mengajak Ajo Kawir melakukan hal serupa. Pakaian Ajo Kawir dilucuti dan dipaksa memasukkan kontolnya ke selangkangan Rona Merah, sebelum akhirnya berhenti begitu melihat kontol Ajo Kawir tidak tegang. Beruntunglah, Ajo Kawir tidak didor malam itu juga. Dua polisi itu mungkin iba melihat bocah bercucuran air mata dengan kontol tak berguna. Padahal, aksi mereka berdua sebelumnya, Ajo Kawir dan Si Tokek selalu klimaks mengintip persetebuhan Pak Desa dengan istri mudanya.

***

Menyelami kehidupan sosial manusia dalam konteksnya, Ajo Kawir dan tokoh-tokoh yang lain di novel ini, menempati rantai konflik paling bawah. Kita tahu, sekolah selaku institusi sosial bentukan negara, sepatutnya menjadi ruang bagi anak didik membunuh watak kebinatangannya agar tidak saling memangsa.

Apa boleh buat, Ietung, selaku murid di sebuah sekolah tidak mendapatkan perlindungan. Ia bocah perempuan dilihat sebagai mangsa oleh gurunya sendiri. Jangan tanya tentang Ajo Kawir dan Si Tokek, kedua bocah ini sama sekali tidak memperoleh kebahagiaan di sekolah. Meski begitu, Iwan Angsa, ayah Si Tokek, tetap menaruh kepercayaan pada sekolah sebagai ruang pendidikan agar anaknya tidak menempuh jalan sepertinya. Ajo Kawir yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri, berulang kali mengurus kepindahan ke sekolah baru bagi kedua bocah agar tetap bersekolah.

Jelaslah, mereka tidak melihat adanya kekuatan refresif yang menghegemoni. Meminjam pendapat Paulo Freire, posisi mereka di fase kesadaran magis. Dampaknya, masalah yang dihadapi rentan menuju konflik horizontal sesama masarakat sipil.

Mereka, yang mengalami kekerasan tidak memperoleh perlindungan. Dilupakan dalam hukum negara dan tidak tahu harus mengadu ke mana. Dalam kubangan demikian, menciptakan ruang kekerasan menjadi niscaya sebagai media melindungi diri walau harus terjadi kekerasan pada manusia yang lain. Jika sudah jenuh, solusi yang terpikirkan, hanyalah melarikan diri dari persoalan.

Ajo Kawir membawa masalahnya pada ruang di mana ia merasa melupakan tumpukan persoalan. Tetap membunuh Si Macan yang dijumpainya sudah berkaki buntung, jauh dari impian kebengisan yang selama ini ia dengar, sepertinya bukan lagi disemangati tawaran Paman Gembul, melainkan dorongan melupakan luka pengakuan Ietung sedang bunting yang jelas-jelas bukan dirinya yang menyimpan benih di rahim perempuan jagoan yang sudah dinikahinya itu.

Ajo Kawir murka dengan pengakuan Ietung, perempuan yang dicintainya selingkuh. Semula sudah khawatir, kalau Ietung perempuan normal yang tak selamanya bahagia orgasme terus menerus dengan jari-jari kekarnya. Di situlah puncak kesedihan, menerima kenyataan yang diakibatkan burung tertidur pulas.

Setelah bebas dari penjara, Ajo Kawir tidak pulang ke rumah orang tuanya apalagi menjumpai Ietung. Dengan modal cukup, mungkin bayaran dari Paman Gembul karena telah menghabisi Si Macan. Ia membeli truk dan menjelajah daerah Jawa hingga Sumatera selaku pengantar barang. Ditemani kenek, yang berengseknya, berobsesi menjadi jagoan, Maman Ompong, latar kehidupan bocah tersebut tidak jauh beda dengan majikannya.

Perkara burung yang tak dapat berdiri membawa Ajo Kawir menjalani kekerasan hidup yang tercipta dalam sebuah rezim yang tak dipahami sekaligus peta ke jalan sunyi. Setelah melakoni hidup selaku supir truk, ia menolak berkelahi lagi. Termasuk berusaha menghindari ajakan Si Kumbang, sesama supir truk yang terus-menerus memancingnya murka. Tetapi, Ajo Kawir sudah lelah. Dengan diam, ia menawarkan undangan Si Kumbang pada Maman Ompong yang di suatu malam dalam perjalanan berhasil membuat truk Si Kumbang terperosok ke got. Setelahnya, dalam adu jotos di sebuah perkebunan sawit dalam kekuasaan tentara, Maman Ompong memenangkan taruhan karena telah mengalahkan Si Kumbang.

Ajo Kawir perlahan melupakan tumpukan kesedihan. Berdamai dengan kenyataan hidup. Di tubuh truknya, ia meminta mahasiswa seni rupa di Yogyakarta yang dikenalkan Si Tokek untuk digambari burung (bukan kontol), burung dalam artian jenis hewan. Penampakan gambar burung itu tengah tertidur pulas dan dilengkapi tulisan: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Selaku karib yang turut menanggung sedih, Si Tokek setia menjadi penyemangat walau tak lagi bersamanya. Si Tokek yang melanjutkan jenjang pendidikan hingga ke bangku kuliah, sesekali menemui Ajo Kawir di pangkalan truk melepas kangen, juga menyerahkan foto pertumbuhan seorang gadis, oleh Ajo Kawir, foto itu dipasang di langit kabin truk. Anak perempuan di foto, tak lain anak yang dulu dikandung Ietung. Ibu Ajo Kawir yang merawat anak itu setelah Ietung menyerahkan bayi yang baru dilahirkannya. Setelahnya, ia mencari Budi Baik, lelaki yang pernah (sering) menidurinya, baik sebelum dan sesudah ia menikah dengan Ajo Kawir.

Ietung menuntaskan dendam dirinya sendiri, Budi Baik mati ditangannya lalu menyerahkan diri ke polisi. Di tengah pelarian Ajo Kawir menelusuri jalan lintas provinsi, Ietung mendekam di penjara. Begitulah situasi hidup keduanya berjalan.

***

Membaca novel ini, rasanya sedang mendaras Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau. Kita mengenal Jelita, buruk rupa sebagaimana tokoh Cantik, anak terakhir Dewi Ayu di Cantik Itu Luka. Namanya kontras dengan paras. Meski begitu, Jelita dan Cantik tetap mengundang lelaki menidurinya. Ajo Kawir malah kembali mimpi basah berkat kehadiran Jelita yang ditemukannya muntah di bak truknya, ia dan Maman Ompong tidak tahu mengapa perempuan itu tiba-tiba ada di sana. Jelita, bahkan berhasil membuat kontol Ajo Kawir normal kembali. Keduanya bercinta di toliet. Seperti itulah kehadiran Jelita, setelahnya, menghilang entah ke mana.
.
Mameh dan Nuraeni, dua perempuan sebagai anak dan ibu objek kekerasan fisik dan kejahatan seksual dalam Lelaki Harimau. Penderitaan serupa kita jumpai kembali pada Ietung. Nampaknya, Eka ingin mengingatkan kembali, kalau dalam situasi kekerasan, perempuan mengalami lebih dari lelaki.

***
Hingga ia berencana pulang ke rumah orang tuanya menemui anak yang ditinggalkan Ietung, Ajo Kawir tiba pada perenungan eksistensi dirinya dalam situasi hidup yang pernah ditapaki. Muncul pertanyaan yang tak kunjung diperoleh atau tak bisa ia simpulkan sementara. Mengapa ada perempuan sinting diperkosa oleh anggota polisi? Mengapa Paman Gembul menghendaki Si Macan mati? Dia hanya teringat ucapan Si Tokek, semakin banyak hal kau ketahui, maka bertambah banyak peristiwa yang dihadapi. Satu saja sudah cukup membuatmu menderita.

Seperti maut, masalah kerap datang meski tidak diundang. Pagi ketika ia terbangun usai kembali ke rumah orang tuanya dan setelah menerima anak yang dilahirkan Ietung yang memanggilnya ayah. Harusnya, Ietung yang telah menuntaskan masa tahanannya ada di sampingnya.

Tetapi, Ajo Kawir perlu menjalani kesedihan berikutnya, Ietung kembali dipenjara karena telah membunuh Si Pemilik Luka, satu-satunya identitas yang diingat Ajo Kawir menyangkut salah satu polisi di malam itu, yang memaksanya menyetubuhi Rona Merah. Ajo Kawir dan Si Tokek memang pernah mencari Si Pemilik Luka di kantor Polres dan Polsek untuk ia bunuh sendiri. Hanya saja, tidak ia temukan.

Ajo Kawir sendiri yang menceritakan sejarah kelam masa kecilnya pada Ietung. Ia sepakat kalau satu-satunya cara agar burungnya berdiri kembali, ialah dengan membunuh kedua polisi itu. Ajo Kawir sudah pasrah ketika sudah menjadi supir truk. Melupakan dua polisi biadab itu.

Entah apa yang ada di benak Ietung. Padahal ia sudah bertemu kembali dengan Ajo Kawir. Keduanya, mestinya sudah tenang melupakan segala luka masa lalu. Namun, dua polisi datang mencari Ietung, Ajo Kawir jelas kaget. Dengan tenang Ietung berkata: “Aku membunuh dua polisi, Sayang. Dua polisi sahabat baikmu.”


Saya membayangakan Ietung akan menanggapi Ajo Kawir yang menyebutnya sialan tentang pengakuannya membunuh dua polisi itu, seperti ini: "Bukan aku, Sayang. Ada harimau (dendam) dalam tubuhku." Sebagaimana pengakuan Margio di sel rayon militer dalam Lelaki Harimau, usai menggigit leher Anwar Sadat hingga tewas.

***
Sesungguhnya, setelah terpisah sekian lama dengan dendam di kepala masing-masing, Ajo Kawir ingin menuntaskan rindu. Bukankah burungnya sudah dapat ngaceng. Sayangnya, Ietung baru saja menuntaskan dendamnya. Begitulah, Ajo Kawir kembali menjalani kesedihan. Sedih atas peristiwa yang tak kunjung ia pahami, bahkan tak ia inginkan. Namun, tetap merasa terlibat dalam rantai kekerasan terus menerus. Perkara burungnya sepertinya bukan miliknya sendiri. 

Maros-Pangkep-Makassar, 9 Maret 2015

Komentar

Postingan Populer