Membaca Bukan Saudara Kandung Menulis dan di Situlah Saya Kadang Merasa Sedih


“Membaca dua bab, sederajat dengan salat sunat 12 rakaat.” Kalimat ini terus saya ingat hingga sekarang. Ditulis oleh Dulhamidin Furu, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Muslim Indonesia Makassar asal Fak-Fak, Papua Barat. Noy, demikian ia disapa. Di tahun 2003, ia masih betah menetap di sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa Ikatan Pecinta Retorika Indonesia (UKM-IPRI). Padahal, namanya tercatat di buku akademik kampus angkatan tahun 1995.  Dan, baru menyelesaikan studi di tahun 2007. Bagian sedihnya bukan di situ.

Sebagai mahasiswa paling lama menyelesaikan kuliah, Noy tidak sendiri. Di fakultas yang sama, masih ada tiga orang dengan klasifikasi angkatan berbeda. Sukman, Zulfadli, dan Khalid. Walau dicap aktivis kampus, mereka jarang terlibat aksi demonstrasi di jalan. Aktivitasnya lebih banyak bergulat dengan buku dan berdiskusi. Meski saya masih mengenakan seragam putih abu-abu, tetapi berada di naungan yayasan pendidikan yang sama, ditambah lokasi gedung perkuliahan dan sekolah di lokasi yang sama pula. Hampir saban hari saya menyaksikan mereka membaca di ruang sekretariat.

Ketika mahasiswa yang lain duduk rapi di ruangan mengikuti kuliah, mereka bergeming. Pantat mereka seolah terpaku di ruang sumpek sekretariat itu. Saya bergumam: “Asyiknya jadi mahasiswa, tidak dipaksa dosen masuk ke ruangan. Beda dengan siswa, takut bila ketahuan guru meninggalkan mata pelajaran.”

Sekali waktu di jam istirahat, sekolah menamainya keluar main. Saya mencoba duduk di emperan sekretariat. Sesekali melongok ke dalam menyaksikan lebih dekat. Rupanya jumlah mereka lebih dari empat orang, tujuh, jika tidak salah ingat. Kesemuanya fokus membaca, ada dalam posisi baring, berdiri, dan bersandar di dinding. Karena ruangan sempit, di sana tidak ada kursi dan meja layaknya di perpustakaan. Namun, ada satu lemari yang disesaki buku.

Maksud saya mengisi waktu ke sana memang untuk bermain. Rehat sejenak dari rutinitas mendengarkan guru berbicara atau mendikte. Menjadi pertanyaan juga keheranan, sebab apa mereka begitu menggangrungi buku.    Nasib buruk kemudian mengantar saya akrab dengan mereka. Bermula ketika UKM-IPRI mengadakan kegiatan yang dinamai Quantum Learning. Saya mendaftarkan diri mengikuti program selama dua hari dua malam itu.

Rupanya, mereka, yang saya lihat lebih bahagia membaca ketimbang mengikuti perkuliahaan turut mengisi materi. Materi yang disampaikan tidak mengulas buku tertentu, melainkan wacana dengan ragam sudut pandang. Jelas saja, saya tidak memahaminya selain terpukau cara mereka berbicara. Sungguh fantastis, setidaknya bagi saya sendiri ketika itu.

Setelahnya, saya seperti memperoleh tiket yang bisa digunakan memasuki ruang sempit sumpek mereka. Dibandingkan sekretariat lembaga mahasiswa yang lain, ruangan ini memang ganjil. Berlantai dua namun tak dapat digunakan. Tidak ada yang berani naik ke atas, lantai betonnya bergoyang. Dari Zulfadli, kuperoleh informasi kalau ruangan itu sebenarnya tidak layak pakai. Pihak kampus sudah punya rencana merobohkannya, tetapi pengurus UKM-IPRI mendesak dan siap menanggung risiko, termasuk ketibang sial dikubur beton gedung yang sewaktu-waktu berpotensi ambruk. Duh! Di situlah saya kadang merasa sedih. Orang-orang yang memiliki agenda mulia dalam hidupnya tidak didukung fasilitas memadai.

Begitulah, seiring waktu saya memasuki dunia mereka. Tenggelam dalam bacaan. Seingat saya, hingga lembaga ini bubar dengan sendirinya setelah semua anggota menyelesaikan studi. Hanya Quantum Learning itulah kegiatan yang terlaksana. Selebihnya diisi membaca dan berdiskusi. Memang pernah ada celetukan dari Zulfadli untuk menerbitkan buletin. Ruang bagi anggota menumpahkan kegelisahan melalui tulisan. Hanya saja, celetukan itu benar-benar celetukan. Tidak ada respons. Tidak ada realisasi.

Kini, usai mengingat-ingat kembali sepetak peristiwa di masa lalu. Terbersit gundah. Mengapa mereka yang bergulat dengan buku begitu intens tak dapat melahirkan tulisan sejudul pun di masanya. Buletin barang tentu merupakan media paling sederhana yang bisa digalakkan. Tetapi, ah, sudahlah! Tak baik bersedih terus menerus.

Namun, dalam diam mereka menyerah, mungkin kalah. Menyelesaikan skripsi pun, menulis pengantar saja susahnya minta ampun. Kembali, di situlah saya kadang merasah sedih. Sudah membaca puluhan bahkan ratusan judul buku, tetap saja kewalahan menyusun kata. Saya menyaksikan itu, bagaimana mereka seolah tak pernah melewati ragam kalimat. Jika ada pengecualian, ada pada Noy, kalimat propaganda yang ditulis di white board, yang saya kutip di awal, merupakan penemuan hasil olah pikir dari pergulatannya dengan buku. Di beberapa kesempatan, ia memang mencurahkan waktu belajar menulis, meski tak punya ruang publikasi memadai. Catatannya itu menjadi konsumsi dirinya sendiri dan hilang seiring waktu.

Lalu apa relevansi ungkapan purba yang sering didengar dalam forum pelatihan penulisan atau yang dibaca di buku motivasi menulis. Bahwa, banyak baca indikasi menghasilkan tulisan yang baik. Di titik pengalaman sekaligus pengamatan bersama kawan-kawan di UKM IPRI yang telah saya ceritakan, itu tidak berlaku.

Kegiatan membaca yang dilakukan sama sekali bukan jalan melahirkan tulisan. Membaca terhenti selaku kegiatan tersendiri tanpa sisi. Tegasnya, aktivitas membaca bukan saudara kandung menulis. Di sinilah, lagi, saya perlu merasa sedih. Sebab, bagaimana mungkin dua benih dari rahim yang sama tidak dianggap bersaudara.

Tak terbantahkan memang, menulis yang baik bermula dari membaca yang baik. Serupa pepatah Bugis: niat baik hanya akan bertemu niat baik. Di buku memoar Muhidin M Dahlan, Jalan Sunyi Seorang Penulis, menerangkan kalau kegirangannya membaca bukanlah pengantar otomatis menjadikannya penulis andal. Membaca, hanyalah pengantar kegelisahan untuk berbagi melalui tulisan. Jika kegelisahan berbagi itu hendak dilanjutkan, perlulah mempelajari rambunya. Karena jalur penulisan tentulah butuh latihan dan usaha tanpa henti. Sehingga dengan demikian, ungkapan banyak baca menunjukkan tulisan yang baik tidak sekadar pepesan kosong.

Arswendo Atmowiloto boleh sombong, salah satu bukunya dijuduli Mengarang Itu Gampang. Membaca rekam jejaknya, hal tersebut tidaklah berlebihan. Arswendo telah melengkapi dirinya pengetahuan tata cara mengarang. Cerpenis, AS Laksana setali tiga uang, Creative Writing, oleh beberapa komunitas telah dijadikan buku panduan belajar menulis.

Tetapi jangan lupa, menuntaskan buku Muhidin M Dahlan, Arswendo Atmowiloto, dan AS Laksana. Bukanlah memperoleh tiket gratis telah mahir menulis. Melewatinya, barulah satu tahapan, karena menulis adalah tahapan tersendiri. Bila asyik dan berhenti di tahapan membaca saja, sama saja mengulang takdir pengalaman kawan saya di UKM IPRI. Sebenarnya tidak keliru. Hanya saja, membaca tak ubahnya opium yang membius. Di situlah saya kadang benar-benar sedih.
_



Komentar

Postingan Populer