Dongeng Pengantar Begadang hingga Duka Tak Terpahami




Setelah menuntaskan Corat-Coret di Toilet, barulah beralih ke Perempuan Patah yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi, dua kumcer yang dikirimkan Eka. Pertama kumcer lama diterbitkan ulang. Kedua, kumcer terbaru terbitan Bentang, Maret 2015. 

Keuntungan membaca kumcer, kita bebas memilih cerpen yang mana perlu dibaca lebih dahulu. Beda dengan novel, tentu wajib memulai dari awal. Jika tidak, sia-sialah mereka membaca. Setelah memilih di daftar isi, Kapten Bebek Hijau mendesak didahulukan. Resonansi saya, cerpen ini kurang lebih mirip dengan Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti. Dugaan saya benar, alurnya linier, tidak perlu awas pada perangkap plot. 

Eka menyajikan dongeng, cocok dibacakan pengantar tidur bagi anak-anak. Namun, saya khawatir, jika si anak fokus, ia tidak akan pulas. Dan, bila si anak otaknya sedikit encer, bersiaplah menjawab ragam pertanyaan. Mungkin si anak memulai dengan: “Mengapa bebek setelah pulih kembali berbulu kuning, justru harus mati diterkam elang?”. Siapkah Anda? Kesiapan yang saya maksud, bukan semata menyiapkan jawaban, tetapi sanggupkah Anda begadang. 

Hal sama berlaku pada Membuat Senang Seekor Gajah, saya kira, ini juga merupakan dongeng. Cerita ini satu-satunya yang belum pernah dipublikasikan di koran atau majalah. Dua anak tanpa takut menerima kehadiran gajah bertamu di rumahnya yang lengang. Tanpa ayah dan ibu mereka. Tujuan Si Gajah ingin merasakan hawa dingin di kulkas. Soalnya, ia kepanasan di luar. 

Karena ukurannya besar dan kulkas mana bisa menampungnya. Dua anak, terdiri bocah perempuan dan lelaki menyepakati keputusan. Keduanya berhasil memasukkan gajah ke kulkas. Kedua anak ini senang bukan kepalang. Apa yang telah dilakukannya telah membuat Si Gajah meraih impiannya. Hendak merasakan hawa dingin di kulkas. Meski tidak semua bagian tubuh Si Gajah tertampung, paling tidak, sebagiannya dapat merasakan dingin. 

Setelah berhasil memotong tubuh Si Gajah, kedua anak tersebut sempat menyadari kalau yang dilakukannya telah membunuh Si Gajah. Tetapi, “Percuma ia hidup jika tidak senang.” Pikir bocah lelaki disambut senyum riang anak perempuan.

Mencermati konflik manusia dengan hewan, utamanya dengan gajah yang marak di Kalimantan. Sebabnya, alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, misalnya, membuat rumah gajah hilang. Tidak ada lagi hutan lebat yang sejuk demi kelangsungan habitat gajah. Hal demikian mendorong kawanan gajah mengungsi mencari rumah dan makanan. Di situlah, kita merasa sedih karena gajah dianggap musuh oleh manusia. Gajah merusak perkebunan dan masuk ke pemukiman manusia. Satu-satunya cara, gajah harus disingkirkan. 

Alam pikiran dua bocah, sungguh praktis. Juga kritik bagi mereka yang tidak lagi bocah, para manusia dewasa yang sepenuhnya sadar kalau membabat hutan adalah jalan bagi gajah hidup sengsara.

***
Selain dua dongeng di atas, beberapa cerpen yang lain, sebenarnya menghadirkan pula tragedi dengan kadar serupa. Kematian dengan segala perkara melingkupinya. Pengantar Tidur Panjang, Tiga Kematian Marsilam, Cerita Batu, Teka Teki Silang, dan Setiap Anjing Boleh Berbahagia.

Sisanya lagi,  hamparan situasi yang sesungguhnya tidaklah jauh, ada di sekitar atau di dalam diri kita sendiri. Manusia dan masalahnya. Bila dikerucutkan lagi, rangkuman derita yang dialami perempuan. Itulah tema besar yang dihamparkan. Sebagian besar tokohnya memang perempuan. Gerimis yang Sederhana, alegori tangis sekaligus kelucuan menghinggapi Mei atas peristiwa yang dialami tunangannya. Cincin emasnya raib bersama receh yang ia serahkan ke pengemis.

Gincu Ini Merah, Sayang. Muasalnya hanyalah salah duga semata. Marni, di malam-malam ketika suaminya, Rohmat Nurjaman, sering pulang larut dan tidak lagi mencumbunya sebinal ketika mereka bertemu di lokalisasi pelacuran. Itulah sejarah hubungan cintanya. Apes bagi Marni, malam itu, ketika ia mulai dandan, utamanya gincu merah di bibirnya. Maksudnya, ia ingin mencari suaminya di lokalisasi, berharap kembali birahi melihat gincunya. Apa boleh buat, Marni ditangkap dinas sosial. 

Mengetahui hal tersebut dari petugas, Rohmat Nurjaman murka dan menceraikannnya. Ia merasa tak perlu penjelasan apa pun, sebab gincu merah di bibir istrinya itu sudah lebih dari cukup. Selanjutnya, tidak ada peta perjalanan lain selain kembali ke lokalisasi. Tetapi, Marni tak lagi berdandan. Gincu merah itu sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi Rohmat sejak ia merasa bahagia diboking oleh lelaki itu. “Gincu ini merah, Sayang, dan itu hanya untuk suamiku.” Ujar Marni menanggapi pertanyaan gadis dua belas tahun yang baru membangun karier di lokalisasi.

Kita juga berkenalan dengan Artika dan Mirdad dalam Membakar Api. Pasangan suami istri ini terjebak dalam konflik kedua orangtua masing-masing. Rustam Satria Juwono, ayah Mirdad, selaku ketua organisasi preman dan, Lohan, ayah Artika, preman dalam lingkup organisasi.

Mirdad bingung, karena Artika yang tengah hamil tua kabur dan melahirkan di luar kota. Di situasi demikian, Artika menolak kehadiran Mirdad melihat anak yang baru dilahirkan jika ayahnya, Lohan, belum dibebaskan. Pelik sekali bagi Mirdad. Dia sendiri tidak tahu di mana mertuanya itu berada. Walau, ada keyakinan kalau menghilangnya Lohan berkaitan erat dengan posisi ayahnya sebagai ketua organisasi.

Oleh Rustam Satria Juwono, yang benci jika namanya disingkat dan akan senang apabila namanya yang terdiri tiga suku kata disebut semua. Pasalnya, akronim namanya mengingatkan orang pada rumah sakit jiwa, RSJ. Selaku ketua, Rustam Satria Juwono, menjawab diplomatis di hadapan mantunya. Berkilah kalau organisasi memiliki aturan sendiri dan ia tidak ingin bertindak sewenang-wenang.

Di antara mereka berdua, Rustam dan Lohan, bukan hanya besan, tetapi bos dengan anak buah. Lohan di posisi orang lapangan telah bertindak semulusnya yang perlu ia jalankan. Memastikan uang suap ke polisi (juga bos) sampai. Tujuannya, para tetua organisasi, konglomerat, yang menginginkan terbangunnya rumah judi berjalan mulus. Bekapnya, tentu saja segala urusan dimudahkan oleh bos polisi.

Sial sekali, rencana sogok Lohan tidak berjalan mulus. Perusahaan tetua organisasi diambang bangkrut karena telah mengeluarkan uang begitu banyak dan tidak ada pemasukan. Singkat saja, Lohan dianggap ceroboh dan Rustam tak ingin kehilangan jabatan. Artinya, jika uang tidak ia kembalikan. Maka, nyawalah taruhannya. Situasi itu, tentu saja tidak dipahami Artika atau boleh jadi dipahaminya dengan baik, begitupun dengan Mirdad. Namun, Artika tak punya kekuatan apa-apa selain mengancam suaminya. 

Manusia hidup dalam kaitan peristiwa yang tak dipahami. Kemudian lari meninggalkan tumpukan masalah seolah itu solusi. Eka Kurniawan, di tiga novelnya, Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Akrab sekali dengan cerita demikian. Kekuatan hegemonik yang mengaburkan itu datang dari dunia nyata (sistem) dan kultur di masyarakat. 

Simaklah apa yang dialami Maya, mendadak sinting setelah ditinggalkan kekasihnya menjelang mereka menikah. Tidak ada kekuatan dari luar dan dalam yang dapat mengembalikan kewarasannya. Maya memutuskan pada percaya mimpi guna merengkuh kembali cintanya. Di situlah ia peroleh petunjuk menuju kota kecil, Pangandaran. Dalam mimpinya, ia akan bertemu dengan lelaki kekar yang berlari ditemani anjing di pantai.

Nyatanya, lelaki itu tak pernah ia jumpai. Putus asa dan memutuskan bunuh diri. Untungnya, dia selamat kemudian dirawat Sayuri, perempuan tua dalam ingatan orang-orang penyambung lidah dengan penjaga laut. Maya, setelah membaik, bukannya waras, dengan sadar, ia menyampaikan mimpinya pada Sayuri. “Kalian orang-orang tolol yang percaya pada mimpi.”  Tanggap Sayuri. Rupanya, Maya tidak sendiri. Orang menjadi sinting, bukan hanya perempuan yang patah hati saja. Rana, cucu lelaki Sayuri mengalami hal serupa. Menjelang menikah, gadisnya pergi dengan lelaki lain. Dalam mimpi, ia peroleh petunjuk kalau di Jakarta bakal menemukan perempuan tambatan hati.

Pengkhianatan, adalah kekuatan luar mencipta duka. Pengekangan, juga dari luar berpotensi sama. Kasus Maya, tidak diceritakan latar belakangnya, apakah ia dikhianati oleh calon suaminya, ataukah si lelaki dikekang oleh keluarganya menikahi Maya. Kita tidak tahu. Semuanya hanyalah tafsiran melintas. Eka memilih mengembangkan situasi setelahnya dan berhenti ketika kita sudah sampai di gerbang menuju beragam kesimpulan.

Duka manusia memang sebuah tragedi. Di titik itu, Eka mengajak kita memasuki ruang paling intim. Jangan Kencing di Sini, larangan berujung penemuan yang tidak pernah terpikirkan. Dan, Sasha, pemilik butik yang selalu mencium aroma pesing di sudut parkir tembok butiknya, mengalaminya sendiri. Ia heran, mengapa orang-orang senang kencing di sana. Saya terkecoh, ketika Sasha memutuskan investigasi, saya membayangkan ia akan membangun toilet umum. Di malam penelusuran itu, ia tak tahan lagi menahan cairan hendak keluar. Apa boleh buat, toilet ada di dalam toko. Semakin lama ia menahan, di situlah ia meraih kenikmatan tersendiri. Semacam orgasme kala cairan itu keluar. Eka bermain dengan pola pikir pembacanya. Kenyataan tersebut tentu perlu pengetahuan lanjutan guna memercayainya.
***
Pangkep-Makassar, 26 Maret 2015
Versi pendek  dengan judul: Perempuan di Duka Tak Terpahami dimuat di rubrik Apresiasi Harian Fajar Sulawesi Selatan, Minggu, 29 Maret 2015

Komentar

Postingan Populer