Cerita Corat-Coret
Eka Kurniawan! Ah, sudahlah, nama ini
sudah sering dibicarakan. Ditulis berkali-kali. Atau dibahas sesering kita buang
tinja di toliet. Kelak, ini ramalan saya, boleh sepakat atau muak, namanya
mungkin akan diingat sebagai orang pertama dari Indonesia yang akan meraih
Nobel Kesusastraan.
Tahun 1999, saya baru dinyatakan lulus
sekolah menengah pertama (SMP). Tahun berikutnya, tentu saya baru menginjak
kelas satu sekolah menengah atas (SMA). Di tahun-tahun itu, sekolah adalah
tujuan, imajinasi itulah yang tertanam di kepala. Jangan sekali-kali tanyakan
perihal reformasi yang usianya baru dua tahun. Sebab, di tahun pertama
berseragam putih abu-abu, saya begitu menggemari pelajaran PPKN dan Sejarah.
Ingat!. Bukan muatan sejarah sebagaimana ulasan di buku-buku Sartono
Kartodirdjo atau Kuntowijoyo. Anda tahulah, pelajaran sejarah apa yang
dimaksud.
Di tahun itu pula, nama sastrawan
tersimpan di otak hanya satu hingga tiga nama saja. Di antarnya, siapa lagi
kalau bukan Chairil Anwar, nama ini sisa endapan sejak sekolah dasar.
Selebihnya, seolah tak pernah dilahirkan, atau samar-samar saja, sudah itu
mati.
Memasuki tahun 2002, dari perbincangan
mahasiswa yang kudengar. Bertambahlah nama-nama yang lain. Tetapi, tetap saja
yang samar-samar itu lagi. Mochtar Lubis, Asrul Sani, Taufik Ismail, Sitor
Situmorang, atau Bokor Hutasuhut. Sebelum mendengar nama Pramoedya Ananta Toer,
saya perlu membaca sejumlah buku sosial pinjaman beberapa mahasiswa. Nama
terakhir inilah yang menumbuhkan hasrat membaca karya sastra lebih lanjut,
utamanya cerpen dan novel.
Dengan bangga, Bumi Manusia saya beli
juga dan membacanya begitu saja. Hasilnya, hanyalah kesia-siaan. Saya tidak
terbiasa membaca alur cerita dan mengenal karakter tokoh. Novel tebal itu saya
pensiunkan dini sebelum tuntas. Membaca cerpen kuanggap lebih mudah. Saya sudah
lupa kumcer siapa yang kubaca. Namun, jika tidak keliru, di indekos kawan
seorang mahasiswa, saya pernah membaca Sebuah
Kitab yang tidak Suci, gubahan Phutut EA. Buku itu dia beli di toko buku
Insist di Yogyakarta tahun 2003 kala kami berkunjung ke sana. Saat itu kantor
Insist masih di Belimbing Sari. Di waktu itu pula, saya melihat buku tebal
berjudul Cantik Itu Luka, hampir saya
membelinya, sebelum sadar kalau buku itu sebuah novel. Duh! Novel, saya tobat
membeli. Cukup Bumi Manusia.
Saya memilih buku itu setiap kali
bertandang ke kontrakannya, bukan karena sudah gemar baca sastra. Melainkan
tergugah dengan judulnya semata, kupikir merupakan buku filsafat. Maklum, di
tahun itu, di kalangan kawan-kawan, buku yang pantas dibaca hanyalah tema
filsafat. Utamanya pembahasan perihal Tuhan.
Tetapi, tantangan membaca sastra belum
mati-mati. Saya benci pernyataan Taufik Ismail, katanya, yang pernah kubaca di
sebuah majalah: siswa di Indonesia tidak
memiliki pengalaman menuntaskan karya sastra. Tahun 2003, di sisa tiga atau
empat bulan sebelum label siswa kutinggalkan (itu jika lulus). Dan, saya tidak
ingin masuk dalam kutukan salah satu penanda tangan Manifesto Kebudayaan itu.
Ah! Apakah di sisa sore itu nasib baik
atau buruk. Di toko buku dekat stadion Andi Mattalatta, markas kesebelasan PSM,
yang tidak pernah berhasil kucuri bukunya, tetapi pernah sekali kutipu pegawai
dan kasirnya dengan memindahkan label harga termurah ke buku yang seharusnya
mahal, sebab buku mahal itulah yang hendak kubeli.
Di sanalah berjumpa lagi dengan
novel yang gambar sampulnya seorang perempuan sedikit menunduk seperti berusaha
membuka kancing gaunnya. Atau bisa pula dimaknai baru saja melepaskan gaunnya
dan mengenakannya kembali. Novel yang pernah kulihat sebelumnya di Yogyakarta. Perempuan
di sampul itu seolah berbisik: “bacalah,
atas (atau tanpa) nama Tuhanmu! Agar kau terbebas dari kutukan disebut siswa
minus baca sastra sebelum kau benar-benar meninggalkan bangku sekolah. Namun,
sekali lagi, jika dinyatakan lulus, ya!”. Berengsek! Novel itu kubawa juga
ke kasir.
Sejak saat itulah, saya sudah merasa
bebas dari kutukan. Cantik Itu Luka benar-benar
kutuntaskan. Seolah menjadi pengantar, Bumi
Manusia kembali kubaca ulang. Selengkapnya catatan pembacaan novel ini,
jika berkenan, klik di sini.
*
Eka Kurniawan tertanam sebagaimana
mengingat Dewi Ayu beserta anak-anak dan menantunya. Sebelumnya, saya tidak
tahu kalau kumcer Corat-Coret di Toilet
sudah terbit kali pertama di tahun 2000 (Yayasan Akar Indonesia). Buku itu tak
pernah saya jumpai di toko buku di Makassar. Justru, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosial, yang beredar.
Oleh kawan, buku tersebut ia barter dengan Catatan
Politik-nya Antonio Gramsci. Sebenarnya saya ogah menukarnya. Tetapi,
sudahlah. Sungguh, saya sedih merelakannya berpindah tangan.
Kini, Corat-Coret di Toilet terbitan baru sudah di tangan. Sampulnya berlatar
putih mengingatkan sampul pertama Cantik
Itu Luka, juga berlatar warna yang sama. Selusin cerpen di kumcer ini
semuanya baru (bagi saya), walau sebagian riwayat publikasi cerpen melalui
media massa, semuanya tak pernah saya baca. Berbeda dengan kumcer Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan
Cinta Melalui Mimpi, beberapa cerita bisa dijumpai di blog Cerpen Koran
Minggu. Kedua kumcer ini saya terima pada 18 Maret. Dikirimkan penulisnya, Eka
Kurniawan, karena menang quis ditambah obrolan melalui surel, sehingga Corat-Coret di Toilet, katakanlah bonus
karena kiriman novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas, tidak pernah sampai.
Pilihan pertama, sudah pasti Corat-coret di Toilet, saya tertawa
dalam semua kadar humor. Kisahnya merupakan pengalaman komunal, corat-coret di
dinding toilet bukan lagi kejadian asing. Dinding toilet di rumah pun, kita,
kadang melakukan.
Konon, cerita semacam ini bukanlah
kanon dalam tema cerita di peta sastra yang dianjurkan dibaca di bangku
sekolah. Saya memang tidak yakin. Guru bahasa kita, boleh jadi menggolongkannya
ke dalam cerita picisan, semacam karya Fredy S. Hanya saja, dapatkah realitas
demikian disembunyikan. Saya membayangkan, kalau cerita ini dibaca anak sekolah
menengah pertama atau atas, bahkan anak kelas enam sekolah dasar. Segera saja
hal sama dilakukan di toilet sekolah mereka.
Saya pun akan bertindak serupa andai
cerita ini telah saya baca di tahun 2002 atau 2003. Idenya (propaganda) heroik
sekali. Kita seolah menemukan kitab pembenaran, kalau dinding toilet merupakan
media paling ampuh menyuarakan kegelisahan ketimbang berorasi di depan gedung
parlemen. Mungkin ada baiknya, kalau dinding toilet di semua tingkatan gedung
parlemen di Indonesia, papan nama pengunguman: JAGALAH KEBERSIHAN, diganti
menjadi: BERHENTILAH KORUPSI. Dan, saya yakin, andai tulisan demikian
benar-benar ada di dinding toliet gedung parlemen, balasannya akan segera
hadir. Menanggapinya dengan tulisan: WALAU SAYA TIDAK YAKIN. Kemudian, kali
saja ada pengguna toilet yang lain tertarik menambahkan dan menuliskan: AKU
JUGA. Begitu terus hingga seratus orang. Hahahahaha, saya membayangkan
benar-benar terjadi.
Cerita-cerita di kumcer ini amatlah
sederhana. Semudah kita membaca dongeng untuk anak. Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam dan Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti, memanglah dongeng. Saya
sudah merencankan, dua cerpen ini akan saya (sering) bacakan untuk anak lelaki
saya jika usianya sudah bisa mendengar cerita sebelum lelap.
Tentang Si Cantik, ini menyangkut metode pengasuhan anak. Fasilitas apa apa
pun tidak akan berguna jika anak tetap dikurung dalam sangkar emas. Serupa
masyarakat yang hidup dalam pemerintahan otoriter. Pemimpin merawat kecemasan
yang sebenarnya merupakan ketakutannya sendiri.
Cemas dan takut, itulah yang dialami Si Cantik,
di usianya ketujuh belas. Ia dalam pengawasan ketat kedua orangtuanya.
Jalan tragis kemudian membawanya menjadi legenda. Di malam ketika ia nekat
kabur melalui jendela untuk menyaksikan pementasan lakon Romeo dan Juliet di
sekolahnya. Sejak itulah ia tak lagi pulang.
Tujuannya malam itu, hendak melakukan
pengakuan hati pada Romeo, maksudnya, lelaki yang memerankan Romeo. Sayang,
Romeo mengatakannya sudah terlambat. Jika waktu diputar kembali, terlambat di
posisi itu merujuk pada tidak adanya waktu lowong bagi Si Cantik keluar malam. Begitulah, nasib Si Cantik menjadi desas-desus. Ada yang
mengatakan ia menjadi pelacur, ada pula yang meyakini bunuh diri dan arwahnya
bergentayangan. Hii, seram! Hayo, masih mau mengurung anak gadis dalam sangkar
emas? Mungkin itu pesan moral yang hendak disampaikan. Atau, ingin menyampaikan
kalau anakmu bukanlah anakmu, engkau (orangtua) hanya busur baginya.
Sebagaimana Kahlil Gibran berpesan.
Sedangkan Si Bandit Kecil, anak semacam ini sudah menjadi bagian kehidupan di
kota besar pun kecil. Nasib mereka tidak sunyi dalam hal jumlah. Anak-anak
malang yang tidak tahu ibunya atau ada tetapi kehilangan dekapan kasih sayang,
amatlah banyak. Si Bandit Kecil mencuri
roti bukanlah tanpa alasan. Anak ini hanya berjuang melanjutkan hidup saja.
Karena lapar, maka ia mencuri roti. Itu saja, ia tidak mencuri untuk
kepentingan dirinya sendiri. Buktinya, ia rela berbagi.
Tetapi, hukum harus tetap dijalankan.
Para pengusaha roti tidak tahan lagi mengalami kerugian, walau jumlahnya
mungkin tidak seberapa. Atas dasar keluhan itulah, polisi bersikeras menangkap Si Bandit. Ah! Andai saja, anak itu tidak
mendengar obrolan polisi, besar kemungkinan ia tidak akan tertangkap.
“Aku heran,” kata salah satu polisi
itu. “Di kota besar ada ratusan pencuri roti sepertinya, tapi atak akan membuat
polisi sesibuk kita di sini.”
“Ya,” polisi yang satu lagi
menyetujui. “Andai saja bocah itu punya seorang ibu yang akan mengurusnya....”
Mendengar itu, Si Bandit terjatuh dari pohon
persembunyiannya.
“A..apa
kata kalian barusan? Tanya Si Bandit Kecil Pencuri Roti kepada keduanya.
Kedua polisi itu tentu saja heran dan
tidak tahu berkata apa. Begitulah Si
Bandit tertangkap. Kemudian ia menangis, berharap kedua polisi itu
mengantarnya menemui ibunya yang, tentu saja tidak pernah kesampaian.
Jika saja Si Bandit memiliki
kuasa, katakanlah ia sedikit memiliki kemampuan
memahami hukum. Ia punya hak mengajukan Praperadilan atas
penangkapannya.
Menuntut proses tertangkapnya tidak sesuai prosedur. Polisi itu telah
membuat
obrolan yang menipunya. Atau, menggugat negara dengan pledoi heroik
membeberkan
rasionalitas mengapa ia mencuri. Dasarnya, menggunakan pasal 34 ayat 1
UUD 45: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dan
sejauh dalam hidupnya, negara absen.
***
Teranglah, jalinan kisah masing-masing
cerpen sesungguhnya corat-coret kehidupan setiap tokohnya. Manusia-manusia yang
tersisih dalam pusaran laju sistem sosial. Dilupakan begitu saja karena tak
cakap bertahan. Akhirnya, mereka dipaksa mengaku kalah dan terkapar mengamini
takdir yang tidak diharapkan.
Meski pada dasarnya, potret manusia
kelas bawah itu telah berjuang semampu yang dibisa. Peter Pan, menampilkan
mahasiswa pemikir yang alur berpikirnya
diharamkan berkembang dalam kampus. Siapa sangka, kalau pemantik awal
penggulingan rezim, dimulai dari seorang mahasiswa kere, ia
membumikan imajinasi pemberontakannya dengan keinginan besar merancang
perang
gerilya. Wujudnya, ia membiayai selebaran propagandanya dari usaha
menjual buku
yang pernah ia curi di sejumlah perpustakaan.
Mulanya, tindakan mencuri buku itu
dimaksudkan agar pemerintah menangkapnya. Ia ingin mengetahui seberapa dalam
pemerintah mencintai buku. Nyatanya, meski aksinya tergolong kriminal, tidak
utusan pemerintah datang mencarinya.
Mahasiswa yang menolak selesai itu,
lalu, dinamai Peter Pan, tokoh dongeng yang tak pernah dewasa. Pasalnya, hingga
Tuan Putri, kekasihnya, sudah menyelesaikan studi doktoralnya, ia tak juga
sarjana. Sebab itulah tokoh dongeng itu melekat padanya untuk diingat di
hari-hari mendatang.
Sebenarnya, ia juga bukan penyair.
Namun, dengan gubahan puisilah ia menjadi magnet. Banyak orang tertarik
mengekuti imajinasi liarnya memberontak. Karena puisi gubahannya pulalah, sang
dikatator seolah sakit gigi berkepanjangan. Sebagai obatnya, Peter Pan harus ditangkap,
setelahnya, ia tak muncul lagi hingga diktator tumbang di hari-hari riuh
gelombang demonstran dari pelbagai kalangan.
Ganjil, Tuan Putri tidak melupakan
kekasih yang hendak dijadikannya suami itu. Pesta pernikahan tetap dilaksanakan
pada 10 April sebagaimana telah ia sepakati beberapa tahun sebelumnya. Peter
Pan diwakili oleh sekumpulan puisinya. Sebab itulah fosil yang tersisa. Semua
yang hadir tentu saja menangis.
Jika membaca langsung cerpen ini,
tahulah Anda siapa diktator (Tuan Putri menyebutnya, penjahat) yang dimaksud.
Karena itulah, saya tidap perlu menjelaskan, apalagi menuliskannya nama
penjahat itu tebal-tebal.
*
Semua cerpen ditulis di tahun 1999 dan
2000, tahun di mana saya belum paham apa-apa. Termasuk belum mampu mengerti
sebab apa presiden Soeharto mundur sebelum tahun 1999. Reformasi tak pernah
dijelaskan oleh guru-guru saya di sekolah hingga saya selesai di tahun 2003.
Kepingan peristiwa 1998 lengkap dengan
penjabarannya, saya dapatkan dari buku bacaan pinjaman mahasiswa, dan dari
obrolan mahasiswa itu sendiri. Saya sungguh telat membaca kumcer hebat ini,
tetapi tidak mengapa.
Setelah hampir 17 tahun
reformasi, menuntaskan cerita-cerita gubahan Eka, saya anggap sebagai proses
peremajaan ingatan menyangkut remah kepingan yang menjadi latar reformasi.
Walau tidak semua cerpen merekamnya. Yang lain, seperti Kandang Babi, Teman Kencan,
pilihan rehat untuk tersenyum. Sebelum tenggelam ke pelajaran sejarah: Rayuan Dusta untuk Marietje dan Siapa Kirim Aku Bunga.
Sedangkan untuk Kisah Seorang Kawan, Dewi Amor, Hikayat Si Orang Gila, dan Dongeng Sebelum Bercinta. Wuis! Nikmat
Tuhan mana lagi yang didustakan. Kita menangkap sejuta sudut pandang di akhir
ceritanya.
*
Komentar