Wisuda, Impian, dan Di Situ Saya Kadang Merasah Sedih


Sebelumnya, saya ingin menjuduli catatan ini dengan dua pilihan. Pertama, Kampus Jodoh. Kedua, Beberapa Pengakuan Mengapa Saya Kuliah di STAI. Tujuannya, saya ingin menerangkan maksud, bahwa judul pilihan kedua berkaitan erat dengan judul pilihan pertama.

Hanya saja, jika salah satu judul itu saya gunakan, besar kemungkinan tidak digubris, walau sasaran pembacanya, adalah mahasiswa, alumni, dan orang-orang yang berkecimpung di STAI DDI Pangkep. Tepat sekali, Sabtu 28 Februari, merupakan momen paling ditunggu oleh mereka yang telah menuntaskan studi. Wisuda, bro! Alasan inilah sehingga memilih judul pilihan ketiga yang tertera di atas.

Wisuda, proses akhir dari segala jejak menapaki terjalnya jalan perkuliahan. Bagi mahasiswa yang benar-benar melewatinya. Mahasiswa paling idealis pun, saya kira, tak akan melewati prosesi berjalan di antara kerumunan menuju podium menyalami dan menciumi tangan ketua STAI, lalu berfoto bersama kedua orangtua, saudara, atau kerabat. Wuis! Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan, kawan!

Bersegeralah menyelesaikan studi dan menyelesaikan urusan administrasi. Duh! Jika menyangkut tetek bengek kedua. Di situ saya kadang merasa sedih. Kampus STAI bagai ibu menolak pamrih. Namun, utang tetap saja harus dilunasi. Saya berutang lebih dari apa pun pada kampus ini. Bukan hanya utang pembayaran, semua-muanya, saya kira. Ingat itu, F Daus AR! Ya, saya tak akan lupa.

Rabu, 25 Februari sekitar pukul empat sore, dosen yang begitu dekat dengan mahasiswa melebihi urat leher kita sendiri. Plis! Jangan anggap ini pernyataan lebay. Jika belum percaya, ajukanlah nama Ibu Marhana pada dua atau tiga angkatan sebelumnya.

“Daus, nutauji jadwal wisuda,” ucapnya di ujung telepon.

“Iye, saya tauji,”

“Oh, sudahmi pale, saya kira tidak nutauki,”

Informasi mengenai wisuda santer tersebar dari mulut ke mulut. Sariani, yang akrab disapa Ipo, telah menyampaikan sebulan lalu. Sabtu, 28 Februari bertempat di Ruang Pola Kantor Pemda Pangkep, tentulah tak akan ia lewatkan. Di malam acara HUT Pangkep, 7 Februari lalu, seorang staf pengajar, yang kita sapa Kanda Dullah, juga mengingatkan.

Hari ini, malah, pagi sekali, seangkatan ujian meja, Suheny. Namun, beda angkatan. Juga menelepon guna memastikan informasi jadwal wisuda telah saya ketahui atau belum. Padanya, kukatakan kalau ada satu hal di mana saya tak bisa hadir. Sungguh, saya sedih mengatakan ini. Tetapi, ah, sudahlah!

Sore harinya, lagi, dosen mengonfirmasi kesediaan saya datang ke kampus mendaftar dan memilih baju toga yang telah tersedia. Alasan serupa kembali kuutarakan. Kesedihan itu makin membuncah. Peraih penghargaan Dosen Teraktif dalam ajang Lentera Awards tahun 2015, Ilham Alwi, sepertinya merasakan hal sama, mungkin kecewa, sebelum menyepakatinya. Saya memang tak bisa hadir.

Tepat ketika catatan ini dalam perampungan, Maskur Al Jafaeny, saya yakin, kita sepakat, dia termasuk dosen yang dekat dengan mahasiswa. Juga menelepon menanyakan kesediaan saya hadir di acara wisuda. Lagi, alasan serupa kusampaikan. Di ujung pembicaraan, ia menantang saya hadir di malam ramah tamah.

Baiklah, untuk memudahkan memahami ulasan ini, berikut daftar alasan yang telah kususun serunut mungkin:

1.    Saya masih memiliki utang yang harusnya (wajib) sudah dilunasi. Jika alasan ini kuajukan, besar kemungkinan mendapat keringanan dan diperbolehkan mengikuti wisuda. Hanya saja, saya menolak menggunakan alasan ini. Klise sekali.

2.    Ini semacam perjanjian tidak mengikat. Yang menyepakatinya pun hanya saya. Saya angkatan tahun 2007 berjumlah 37 orang. Dalam perjalanannya, ada pindah kampus dan berhenti. Saya tidak tahu pasti lagi personil angkatan ini. Namun, setahu saya, masih ada empat orang yang belum menyelesaikan studi. Andriani, Muhlisin, Ansar, dan Makmur (nama “baptisnya”, Dato). Lupakanlah Muhlisin yang memang sudah tak ingin selesai karena di kampus lain ia sudah memperoleh gelar. Juga, anggap saja, istrinya, Andriani sudah melupakan impian diwisuda. Tinggallah Ansar dan Dato. Percayalah, kedua orang ini memiliki keinginan besar melebihi impian semua mahasiswa di STAI untuk diwisuda. Hanya saja, selalu gagal move on. Penyebabnya, mereka memiliki daftar alasan lebih banyak. Dulu, ketika tekad saya sudah bulat menulis skripsi. Keduanya berulang kali kuajak. “Ayolah, kita selesaikan bersama-sama sebagaimana kita sering melakukannya ketika menghadapi soal ujian final semester.” Kurang lebih saya memotivasinya demikian. Bahkan, pernah sekali saya seolah menjelma Mario Teguh di hadapannya. Hasilnya, sebagaimana yang telah saya sebutkan. Keduanya, rupanya telah menyusun daftar alasan lebih banyak. Dan, saya tak ingin menari di atas penderitaan mereka dengan menghadiri wisuda. Cie...Cieeeee.....! Yang ingin disebut setia kawan. Cukuplah yudisiumnya saya sebagai luka baginya. (Poin kedua ini jangan terlalu percaya, bukankah sudah kukatakan kalau perjanjian ini hanya saya saja yang menyepakatinya)

3.    Saya sedih, tentu saja. Mengapa teman seangkatan tidak selesai sama-sama. Bukankah dulu kami mendaftar sama-sama, walau tidak di hari yang sama. Tetapi, kami pernah memiliki pengalaman yang sama. Menanti batang hidung dosen di siang terik sembari bercanda tentang apa saja. Hingga semua kelucuan habis dan dosen tak jua hadir. Kami pun mengingat makan ramai-ramai di warung termurah di dunia, Hala. Ya, Tuhan! Saya lupa menuliskan nama ini di lembaran ucapan terima kasih di skripsi saya.

4.    Ini pengakuan yang boleh kalian percaya atau tidak. Saya kuliah di STAI DDI Pangkep karena ingin mencari jodoh. Maksud saya, pacar yang nantinya menjadi istri. Setelah terpenuhi, bangku kuliah akan kutinggalkan. Bagi saya, sekolah semua tingkatan hanyalah candu. Ini juga bagian dari taruhan dengan seorang kawan di kampung, kalau saya akan mengakhiri masa jomblo. Saya lelah dicap demikian. Sudah 23 tahun, namun tidak memiliki jadwal apel di malam Minggu.

5.    Alasan ini sambungan nomor 4. Tuhan maha tahu, akan tetapi menunda. Kata sastrawan Rusia, Leo Tolstoy. Di tahun pertama kuliah. Saya sudah menyusun rencana berhenti jika di tahun kedua belum menemukannya juga. Dan, di sisa sore itu, pas ketika Mubes BEM STAI terlaksana. Saya berpura-pura saja mengikuti jalannya Mubes. Sudah hendak beranjak pulang sebelum sebuah senyuman dari perempuan berjilbab (Ya, ialah! Ini kan kampus STAI, semua perempuan wajib mengenakan jilbab) berbaju ungu menahanku. Tidak, tidak! Senyum itu tidak diperuntukkan menunda kepulanganku. Saya hanya mengakuinya saja sebagai usaha mearayakan kekaguman. Benar saja, saya bersemangat mengikuti proses suksesi. Saya mengacungkan telunjuk menginterupsi. Hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan sejak bersekolah di Makassar. Pada satu sesi, saya menjadi pemimpin sidang rapat pleno. Sebenarnya tidak ada niat dicalonkan apalagi mencalonkan selaku ketua BEM. Namun, saya tidak paham situasi skenario yang dijalankan para senior. Jadilah nama saya diajukan dan memenangkan pemilihan. Lengkaplah sudah, perempuan itu saya kira tersihir. Pengakuannya di belakang hari, ia juga tak menyangka bakal pacaran dengan ketua BEM. Ce...ileh! Di situlah saya kadang merasa sedih. Saya terjebak pada perangkap yang kubuat sendiri. Jangankan saudara, orangtua sendiri tidak saya beritahu kalau saya sedang kuliah hingga akhirnya menyelesaikan studi. Di satu sisi, saya tidak memiliki beban moril karena tidak melibatkan emosi keluarga dalam mengarungi jejak perkuliahan. Sehingga, saya terbebas dari tekanan: “Kapan sarjana, nak!”

6.    Alasan ini masih bagian dari nomor 5 dan tentu memiliki kaitan erat dengan nomor 4. Jika saya harus benar-benar ingin menyelesaikan kuliah. Tujuannya bukanlah mencarter mobil ditumpangi sanak berpakaian rapi mengantar saya menuju gedung di mana mereka akan meneteskan air mata karena dari sembilan bersaudara, hanya saya yang memperoleh gelar sarjana. Sama sekali bukan. Impian itu tak pernah saya rangkai. Satu-satunya alasan, karena saya ingin menulis skripsi mengulas tentang teori pendidikan Paulo Freire. Karena alasan ini pula, saya menunda menyelesaikannya yang bisa saja kutuntaskan di tahun 2011. Pasalnya, saya belum menemukan kembali buku Pendidikan Kaum Tertindas, masterpiece pendidik asal Brasil itu. Naiflah, jika harus membahas Freire tanpa kehadiran buku tersebut sebagai daftar rujukan. Lalu mengapa saya baru menyelesaikan skripsi di tahun 2014? Bukankah buku itu telah kudapatkan di ramadan tahun 2011? Disebabkan banyaknya agenda (utamanya menyiapkan mahar untuk menikah di tahun 2013), buku itu memerlukan waktu dua tahun dituntaskan. Maksud saya, dari tahun 2011 hingga 2013, saya menyicil membacanya. Saya kira perlu mendarasnya kembali, karena saya berjumpa buku itu di akhir pertengahan tahun 2003.

7.    Langsung saja, alasan ke 7 ini masilah rangkaian dari nomor 4, 5, dan 6. Begini. Saya menolak diwisuda, sebenarnya bukan menolak. Namun, saya tidak menemukan kata yang yang lebih tepat. Ini sepenuhnya derita dan kesedihan saya. Kalian tak perlu merasakan atau berusaha iba. Saya tidak tahu, mengapa saya enggan melangkah ke kampus dan mendaftarkan nama dan memilih toga kemudian bangun mendahului ayam di hari Sabtu tanggal 28. Jika harus dikatakan alasan idelogis, sombong, atau apalah. Terserah kalian saja.

8.    Ini penutup dari semua rangkaian alasan, utamanya dari nomor 4. Saya teringat seorang kawan di tahun 2003, mahasiswa Fakultas Sastra Inggris di Universitas Muslim Indonesia (UMI). Di hari ketika karibnya di wisuda. Saya termasuk bahagia merayakan kelulusan mereka. Namun, dia, Noy, begitu ia disapa, entah di mana ia hari itu. Banyak kawan merindukannya. Saya berusaha mencarinya di sudut kampus, kali saja berdiam di perpustakaan. Saya baru berhenti sibuk setelah kawan yang lain celetuk: “Noy selalu sepi dalam keramaian, tak usah mencarinya.” Dia angkatan tahun 1995, dan baru selesai di tahun 2007. Saya masih di Papua kala itu, kabarnya, ia tak hadir dalam acara wisuda.  Dari orang inilah saya mengenal Paulo Freire.

***
Makassar, 26 Februari 2015


Komentar

Postingan Populer