Sejarah Membaca

Saya perlu memulai pengakuan ini dengan ingatan di masa sekolah dasar. Di kelas satu, mengeja nama-nama keluarga Budi, saya kira, merupakan pengalaman komunal pelajaran membaca anak-anak negeri ini di sekolah di bawah lindungan rezim orde baru.

Ibu Dewi, itu panggilan kepada guru kelas. Kulitnya hitam tetapi parasnya manis. Disebutlah ia guru Si hitam manis. Di depan kelas, setiap pagi dari Senin hingga Sabtu, sebelum ia menyapa murid. Ejaan: INI BUDI, INI KAKAK BUDI, INI AYAH BUDI, INI IBU BUDI, sudah tersusun di papan tulis. Selanjutnya, ia akan mengucap: “Anak-anaku sekalian, masih ingat pelajaran membaca kemarin?” Serentaklah murid menjawab: “Masih ingat, ibu!”

Kemudian, dimulailah jalannya lakon. Ibu Dewi akan menunjuk satu-satu murid menuntunnya membaca catatan di papan tulis dengan sebilah kayu di tangannya agar ia bisa berdiri di sisi papan tulis tanpa melekatkan telunjuknya di papan. Kayu itu kadang pula digunakan memukul murid yang lagi bandel atau menghentakkannya di atas meja guna mendiamkan suasana bila semua murid riuh.

“I+N+I dibaca: INI. B+U+D+I dibaca: BUDI. Jadi bacanya: INI BUDI.” Begitulah cara Ibu Dewi, yang besar kemungkinan metode serupa ditempuh guru-guru yang lain dari Sabang hingga Merauke. Banggalah saya ketika Ibu Dewi mengatakan kalau di ruangan ini hanya saya yang pandai membaca setelah masa sekolah sudah memasuki satu bulan. Hasilnya, di catur wulan pertama, saya meraih rangking satu.

Di sekolah saya saat itu sudah dilengkapi perpustakaan, sebuah ruangan satu tembok dengan ruang kelas. Bila keluar main, tujuan utama tentulah jajan di kantin atau bermain sepuasnya di lapangan sepak bola, tepat di depan pintu gerbang sekolah. Waktu membaca di perpustakaan memiliki jadwal tersendiri. Sekali seminggu, saya sudah lupa hari apa tepatnya. Jelasnya, jatah membaca diperuntukkan bagi semua tingkatan kelas.

Buku yang ada didominasi buku paket pelajaran. Seperti PPKN, Sejarah Indonesia, atau Pelajaran Bahasa Indonesia. Kategori buku tersebut juga dilengkapi label jenjang kelas. Jadi, seorang teman atau guru akan menegur bila misalnya, kita membaca buku PPKN untuk kelas 5. Buku yang perlu dibaca disesuaikan dengan tingkatan. Untuk kelas satu, buku dilengkapi gambar. Maka berebutanlah murid dalam satu buku, sebab buku terbatas. Begitu terus menerus hingga masa sekolah dasar selama enam tahun selesai.

Tetapi di rumah, empat kakak perempuan saya mewariskan banyak buku paket pelajaran dari jenjang SD, SMP, dan SMA. Saya suka sekali mengulang Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Mengapa? Data yang dimuat di buku tingkat SD, diulang kembali di buku tingkat SMP dan SMU, gambarnya pun sama. Sejarah pengkhiantan G30S/PKI, umpamanya, narasi penculikan sekaligus pembunuhan tujuh jenderal tidak ada yang berubah. Begitupun dengan data para pahlawan pra kemerdekaan. Riwayat Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, atau Jenderal Soedirman. Pengulasannya tidak ada yang berubah.

Memasuki sekolah menengah pertama (SMP), saya tak dapat mengingat satu peristiwa memasuki ruang perpustakaan. Di jenjang ini, merokok sudah menjadi sarapan saban pagi. Begitu tiba di sekolah, tujuan utama bukanlah ke ruang kelas, melainkan ke kantin. Menyulut rokok sambil diisap bergantian dengan kawan komplotan.

Sejarah membaca di masa SMP sangat minim. Selain membaca soal ulangan harian atau catur wulan. Lainnya, tidak ada sama sekali. Namun, sudah ada pelajaran mengarang. Karena membolos atau kepergok merokok, saya lupa persinya. Namun, hukuman yang kuperoleh dari guru bahasa Indonesia, ialah dipinta mengarang tentang pengalaman pribadi sebanyak satu halaman timbal balik. Saya bahagia dengan sanksi itu. Sigap sekali saya mengerjakan dan segera menyetornya. Ibu Yuli, panggilan guru bahasa saya itu, ia dari Jawa, meski keras, senyumnya tak pernah lepas. Kedua matanya dilindungi kacamata. Ia kembali tersenyum usai membaca karangan yang kubuat.

Di tingkat sekolah menengah atas, saya mengikuti ajakan salah satu kakak perempuan bersekolah di Makassar. Di terimalah saya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) binaan Yayasan Badan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) dengan pilihan studi kelistrikan.

Gedung sekolah masih satu lokasi Fakultas Sastra dan Akademi Bahasa Asing UMI di jalan Kakatua. Dulunya memang merupakan gedung perkuliahan sembilan fakultas yang ada dalam manajemen UMI. Setelah kampus dua selesai di jalan Urip Sumiharjo, gedung perkuliahan yang kosong dijadikan sekolah oleh yayasan.

Sebagai pelajar dari daerah, saya memiliki kesempatan tinggal di asrama salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Syaratnya, saya mesti melalui rangkaian tes mengaji. Dan selanjutnya bila lulus, bersedia meluangkan waktu menghafal Alquran dan setiap pagi selepas salat Duha, harus menyetor hafalan satu halaman pada pembimbing.

Karena yang dominan tinggal di asrama adalah mahasiswa, buku tentu menjadi bacaan lain selain Alquran. Di sinilah saya merasa dikelilingi orang-orang yang gemar membaca. Setiap mahasiswa memiliki perpustakaan mini di kamarnya masing-masing. Termasuk satu kamar saya yang hanya absen membaca jika lagi makan, tidur, atau mencuci.

Di lingkungan sekolah, perpustakaan dipenuhi beragam buku. Maklum, gedung perpustakaan masih peninggalan manajemen kampus. Meski rak buku yang diperuntukkan bagi mahasiswa itu dikunci. Namun, jika sesekali pengelola memberi izin jika dipinta. Belakangan, pengurus sekolah menambahkan buku penunjang pembelajaran.

Di bagian gedung perkuliahan, juga terdapat perpustakaan. Sepulang sekolah, saya sering meluangkan waktu ke sana. Beruntung, karena pengelola mengenal saya dengan baik yang menjadi jaminan, bebas mengakses buku tanpa perlu mendaftar dengan syarat yang telah ditentukan.

Saya memilih buku bacaan berdasarkan apa yang dibaca mahasiswa. Kubacalah Orientalisme karya Edward Said, jangan tanyakan kalau saya paham isinya, saat itu sekadar ikut-ikutan saja dan menguping pembicaraan mereka seputar wacana dalam buku tersebut.

Rujukan membaca buku berikutnya juga kudapat dari pembicaraan mereka. Dalam prosesnya, saya mulai mencari sendiri di daftar pustaka. Hasilnya beberapa bulan kemudian, mulailah membeli buku sendiri. Islam Kaffah, buku tipis yang kulupa siapa penulisnya, merupakan yang pertama kubeli di toko buku pelataran masjid Almarkas. Sayang, buku itu raib. Saya memang tidak memedulikannya ketika mulai membaca buku Ali Syariati hasil pinjaman seorang kawan di asrama.

Lompatan membaca yang kualami bermula ketika mulai akrab dengan mahasiswa yang aktif di UKM IPRI (Ikatan Pecinta Retorika Indonesia), dua anggotanya merupakan penghuni asrama Tahfidzul Quran. Iful dan Khalid, keduanya mahasiswa jurusan sastra Arab. Bacaan dan hafalan Alqurannya lancar, tetapi keduanya juga penggemar buku yang dicap kiri. Dari Khalid, saya mengenal Tan Malaka dan sesekali membaca Madilog bila ke kamarnya.

Waktu tentu saja berputar. Di UKM IPRI, saya mengenal mahasiswa yang lain yang juga gila baca. Sukman, Noy, Adi, Mahfud, Udin, dan Juliadi. Pada dasarnya selera membaca mereka sama, menggangrungi wacana Islam alternatif yang digelorakan Jalaluddin Rakhmat. Namun, Noy melebarkan saya bacaannya lebih jauh ketimbang anggota lainnya. Dialah yang meminjamkan buku Sekolah itu Candu, dari sanalah membaca nama Ivan Ilich, Paulo Freire di daftar pustaka.

Nasib baik berpihak padaku, Pendidikan Kaum Tertindas kudapati di perpustakaan sekolah. Karena buku itu tersimpan di rak terkunci yang memang diperuntukkan bagi mahasiswa. Bersama seorang kawan sekolah, buku itu kucuri saja. Membacanya, saya perlu merevesi kebanggaan di masa lalu ketika guru melabeliku selaku murid pintar karena pandai pelajaran membaca. Rupanya, itu sebentuk penindasan. Kategori murid pintar dan bodoh adalah bagian dari kerja sistem sekolah sebagai institusi sosial dalam melanggengkan kekuasaan.

Begitulah, di perjalanan membaca selanjutnya, saya memiliki kerja guna melakukan revisi asumsi. Termasuk mengenai malapetaka tahun 1965 di mana PKI menjadi kambing hitam sejarah. Setelah menelaah pemikiran Antonio Gramsci, pahamlah saya kalau bacaan yang beredar di sekolah merupakan strategi hegemoni yang sedang dijalankan penguasa.

Sekolah tak menarik lagi bagiku, bibitnya mulai tumbuh setelah menuntaskan Sekolah itu Candu. Buku tulis yang kugunakan tak pernah kuganti. Jumlahnya sama dengan mata pelajaran dari kelas satu hingga selesai. Lembarannya pun tidak penuh. Mencatat diktean guru kuanggap bagian dari penindasan. Jangan tanyakan saya mengerjakan pekerjaan rumah (PR), sejak mengenal Paulo Freire, semuanya kutampik.

Berkelabat di benak, mengapa pengetahuan yang disampaikan di ruang kelas sangat sedikit dan berputar di situ saja. Utamanya pelajaran umum, sejarah dan agama. Sekolah memang candu. Membuat kita terbius dan terlena. Ungkapan menuntut ilmu menjadi hambar. Sebab bacaan dibatasi. Tak sekalipun guru di sekolah merekomendasikan buku bacaan. Yang diingatkan justru dituntut rajin belajar agar meraih nilai tinggi.

Huh! Sebagaimana hidup terus dijalani, seperti itulah proses membaca harus berjalan.

*

Dinspirasi setelah Eka Kurniawan menanggapi pertanyaan yang kuajukan mengenai pengaruh sastrawan Indonesia terhadap prosesnya berkarya. Dalam penuturannya, ia memaparkan sejarah membacanya. Sila klik di sini. Ke depan, catatan ini berlanjut.


Komentar

Postingan Populer