Kota dan Ingatan yang Tercecer

BAYANGKAN, kita sedang menginap di hotel berbintang atau di kamar indekos seorang kawan di kota. Keesokan pagi ketika terbangun, kita lupa sedang berada di mana. Parahnya lagi, lupa pintu keluar hotel, atau kehilangan tapak jalan dari kamar indekos.

Kita amnesia, atau malah, mengalami gejala lain yang seorang dokter sekalipun tidak tahu harus menyebut apa penyakit itu. Lalu, bagaimana jika seandainya kita mengulangi nasib Gregor Samsa. Terbangun dari mimpi buruk kemudian menemukan diri menjadi kecoak raksasa. Franz Kafka dalam Metamorfosis menceritakan kejadian itu.

Melupakan tetaplah aktivitas. Sedangkan melawan lupa merupakan perlawanan. Berpangkal pada teks di novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Milan Kundera mewariskan alat perjuangan itu. Mengingat sebagai kegiatan. Di Indonesia menjadi tagline publik setelah pembunuhan Munir, ayah dua anak pejuang HAM.

Suatu ketika, almahrum Asdar Muis RMS mengucap: “Percayalah pada catatan, bukan ingatan.” Pendiri kelompok teater Komunitas Sapi Berbunyi itu mengingatkan jika catatan penting sebagai data empirik ketimbang ingatan.

Namun, bisakah kita menafikan ingatan begitu saja. Maksud Asdar tentu saja tidak demikian. Mungkin tepat sebagai tafsir atas situasi zaman yang dijalani. Sebab, menceritakan peristiwa di era penuh medium ini rasanya memaksa kita kembali ke dunia tutur di masa lampau.

Misalnya begini, sebutlah Makassar selaku kota bergegas yang ditandai laju pembanguan fisik saling menutupi. Seolah sedang mengikuti kompetisi pembangunan gedung tercepat dan tertinggi. Tiba-tiba saja di sudut jalan ini dan itu telah megah oleh bangunan hotel, restoran, atau pusat perbelanjaan.

Padahal, boleh jadi saban hari kita melintasi sudut jalan tersebut, yang dapat dilakukan sisa menepuk jidat. Duh! Seingat saya di petak tanah itu, dulunya cuma tempat pembuangan sampah masyarakat sekitar. Memang pernah ada pagar seng yang menutupi, tak lama kemudian tiang pancang betong telah tumbuh. Begitulah tanah di kota diperlakukan.

Ada ingatan yang dihilangkan di sana, meski berupa aktivitas membuang sampah. Namun, ingatkah kita kalau di kota Makassar kejadian membangun dan merobohkan sering terjadi. Kegiatan itu berkaitan dengan ruang publik. Adalah pasar Sentral yang seringkali mengalami. Dibangun dengan kemegahan lalu dirobohkan (disebut mengalami kebakaran) lalu ditegakkan lagi.

Infranstruktur yang lain ialah bentangan jalan. Perencana kota punya ingatan di masa depan dan tak perlu mengingat masa lampau. Ruang yang menjadi pijakannya memikirkan impian masa depan. Olehnya kemudian, menanam pohon di tengah jalan di masa lalu bukanlah impian yang sebenarnya di masa akan datang. Mengapa, karena jalan kota kepunyaan kendaraan. Menebang guna melebarkan jalan agar mesin dapat lowong, meski akhirnya mencipta kemunduran menggapai tujuan.

Di kota, kemacetanlah yang mencipta amnesia. Gejala ini bukan satu-satunya. Masih ada geliat pembangunan fisik. Keduanya berperan besar menelan ingatan. Rasakanlah ketika hujan deras dan kita di jalan kota. Kendaraan melambat. Pertama, jumlahnya memang banyak. Kedua, melubernya air got ke jalan. Di waktu terik, indikasi pertama tetap kuat. Sialnya, ditebangnya pohon menjadi derita kepanasan di lautan kemacetan.

Ada begitu banyak riset mengurai dampak kemacetan. Tentu, berdasarkan batasan masalah dan konteks masing-masing penelitian. Hasil yang diperoleh menunjukkan perbedaan. Namun, ada yang tak pernah lepas. Stres. Dampak ini menjadi temuan dari sepuluh makalah penelitian yang saya baca menyangkut kemacetan. 

Stres merupakan gangguan yang timbul akibat kesemrawutan yang diindrai. Demikian kesimpulan umum acap didengar. Sastrawan, Seno Gumira Adji Darma, mengungkapkannya sebagai pengalaman menjadi tua di jalan.

Begitulah, tua mengindikasikan menurunnya daya ingatan. Sebab, remah ingatan kita berceceran di jalan. Boleh jadi alamat yang dituju terlupakan. Begitupun agenda perjalanan ke kota. Celetuk kawan di daerah mengatakan begini: “Perjalanan dari Pangkep ke Makassar, laju kendaraan hanya dinikmati hingga di perbatasan Maros-Makassar. Kemacetan menyambut di pertigaan jalur ke Tol, ke Bandara, dan terusan ke Daya.”

Bahkan, kota Makassar sudah memperkenalkan wujudnya sedini mungkin. Seolah membisiki, jika tak kuat iman, sebaiknya pulang saja. Daripada menanggung risiko kehilangan tujuan dan mengalami kebuntuan ingatan. Kota adalah rimba raya. Pohonnya berupa gedung di sana sini yang menghalangi pandangan Anda.

Gedung itu tumbuh begitu pesat dan cepat. Sehingga, Anda bahkan sudah lupa letak pintu masuk sebuah hotel yang diinapi semalaman saja. Dan, sangat dimungkinkan bila jalan menuju indekos kamar kawan Anda telah hilang.

Di kota yang bergegas, ingatan sulit dijadikan pertolongan karena belum sempat dicatat. Doalah yang perlu dipanjatkan. Semoga saja kita tidak mengalami mimpi buruk Gregor Samsa. Boleh jadi, itulah ingatan yang tersisa.

_

Komentar

Postingan Populer