Jalan Terjal Demokrasi Digital

Seorang kawan di lembaga di mana kami bergelut sejak tahun 2010 lalu, hampir tiap pekan intens mengabarkan peristiwa persoalan publik di lingkup daerah. Data itu ia olah melalui warta yang sudah tersiar di media cetak. Namun, ada kalanya ia turun langsung ke lapangan bak wartawan melakukan peliputan.

Informasi dan data yang diperoleh dikemas menjadi berita kemudian disebarkan di Facebook. Tentu, ia perlu menandai puluhan akun agar tautan itu menempel di dinding banyak pengguna, sehingga persebaran data lebih luas dan mengundang banyak pengikut sekaligus komentar.

Karena kabar itu begitu dekat bagi warga dan memang menjadi persoalan yang dialami. Komentar yang muncul sungguhlah serius. Jika disimpulkan, arah komentar sebagian besar menunjuk hidung pemangku keputusan. Bagi saya, ini merupakan pembangunan tradisi berdialog di dunia maya. Walau kemudian hasilnya tidak menjadi agenda tindak lanjut pemerintah daerah.

Menggunakan akun Facebook sendiri dan tidak menempuh jalur anonim dalam menyebarkan kabar persoalan publik. Patut diperhitungkan, bahwa yang bersangkutan memiliki nyali dan siap menanggung risiko yang bakal menimpanya. Nyatanya demikian, karena berkomentar pedas terhadap keputusan kepala daerah di tahun 2013 mengenai kebijakan BBM bersusidi. Ia memanen buah keberaniannya menanam kritik. Dikeroyok dua orang kiriman oknum yang kupingnya bengkak karena kritik yang dilontarkannya.

Setelah kejadian itu, ia malah semakin berani. Seolah pukulan yang diterimanya merupakan penyematan bintang kehormatan di pundaknya. Kini, meski tak lagi menggunakan akun Facebooknya dan membuat akun khusus. Tetapi, orang sudah tahu, kalau di balik akun tersebut merupakan dirinya. Ia pun menerangkannya secara gamblang melalui komentar.

Aksi yang dilakukannya itu pernah dikritik wartawan karena mengutip informasi tanpa menyebut sumber. Ia bergeming, baginya, tak semua warga memiliki akses membaca koran yang oplahnya terbatas di daerah. Ia mengutip informasi itu dimaksudkan sebagai penyambung lidah saja. Tak lebih.

Bahwa apa yang  sedang dikerjakannya itu merupakan penitian jalan guna menumbuhkan demokrasi di dunia maya. Indikasi sederhananya memancing terbukanya ruang berkomentar konstruktif sesama pengguna media sosial.

Sesama alumni sekolah demokrasi di Pangkep yang terselenggara atas kerja sama Lembaga Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR-Sulawesi Selatan) dan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID-Jakarta) yang berlangsung selama tiga tahun. Menjadi pengantar memahami demokrasi bukan sebagai dogma melainkan cara pandang.

Sebab, mengulang pengalaman peristiwa pembumian demokrasi di era Yunani kuno, di Athena, tepatnya, di mana warga berkumpul di suatu tempat guna membicarakan persoalan publik yang dihadapi. Itu tentu mustahil, mengapa, penduduk Athena masa itu jumlahnya kecil. Sedangkan warga di daerah jumlahnya sudah jutaan. Itulah alasan sehingga perlu menggunakan media mewartakan persoalan.

Karena demokrasi menjadi cara pandang, maka corak berpikir perlu menyesuaikan dengan konteks zaman. Maksudnya, dibutuhkan jalan yang bisa ditempuh untuk menggelorakan cara pandang demokrasi. Setelah internet menjadi salah satu penemuan terpenting umat manusia. Seiring waktu, terjadi evolusi yang tak terbantahkan menyangkut perangkat lunak yang bisa digunakan.  Facebook. Twitter, Blog, dan jejaring yang lain, merupakan prasyarat yang dibisa digunakan.

Tahun 2014, boleh disebut sebagai puncak penegasan jalan demokrasi digital. Lahirnya website kawalpemilu.org menjadi penerang bagaimana mengawal suara agar tidak dikebiri. Terbentuknya petisi dari change.org di Indonesia juga membuka mata tentang kuatnya penyatuan data sekaligus suara warga yang dikelola sebagai protes terhadap penyimpangan. Ini tak sekadar teknologi informasi, tetapi sudah menjadi teknologi demokrasi itu sendiri.

Kekhawatiran, bagaimanapun selalu menghantui. Layaknya jalan yang tak kunjung redah dirundung lubang atau digenangi air di musim penghujan. Begitupun jalan demokrasi digital, disahkannya UU ITE di tahun 2008 menjadi rambu lalu lintas informasi di dunia maya. Beberapa pasal dapat dijadikan legitimasi pembungkaman suara kritis. Inilah jalan terjal yang dihadapi demokrasi digital.

Data yang dilansir id.safenetvoice.org, mencatat isu pencemaran nama baik sebesar 92%, penistaan agama 5%, dan pengancaman 1%. Data tersebut menunjukkan bila kecenderungan pelapor karena tidak siap dan tidak mampu membedakan kritik dengan makian. Di titik ini pula kawan saya itu dipukuli karena dianggap menghina. Padahal, kepala daerah atau pemimpin publik lembaga apa pun, haruslah bijak menanggapi kritik.

Persoalan, sejatinya memang diselesaikan di dunia nyata. Dunia kita berpijak menyelesaikan kehidupan. Para pewarta kegelisahan di dunia maya juga perlu sadar, hal yang digalakkan barulah berupa cikal bakal gerakan sosial. Selanjutnya perlu bertemu kembali di dunia nyata membicarakan dan melakukan pemetaan ulang data yang akan disuarakan. Kurang lebih Roem Topatimasang, penggiat LSM, mengingatkan demikian.

Kegelisahan yang disodorkan menempuh jalan demokrasi digital, perlu ditempatkan sebagai pengantar menuju perubahan nyata. Jika tidak, jalan terjal demokrasi semakin berliku saja. Dan, kita turut andil membuatnya semakin terjal.
_


Komentar

archut mengatakan…
Ku tau orangnya..
kamar-bawah mengatakan…
Hahahahaha, orangnya memang ada di mana-mana. Di titik itu saya sepakat denganya, lainnya masih perdebatan

Postingan Populer