Ini Menyangkut Luka, Kawan!
Siapa Martin Aleida. Nama ini pernah
saya temukan di lembaran cerpen Kompas tahun 2006. Sayangnya, tidak ada
keterangan. Kuanggap saja sebagai cerpenis baru mencoba berjejak.
Tahun-tahun setelahnya, ketika
informasi berseliweran di dunia maya. Nama ini menghubungkan ke petak peristiwa
di masa lalu. Saya terpengarah kala membaca ulasan di salah satu website
menyangkut sosok ini. Namanya tercatat sebagai anggota di sebuah lembaga
kebudayaan yang diharamkan. Tahulah saya, Martin Aleida merupakan kecolongan
rezim.
Ia lolos dari interogasi dan tetap
bisa menulis. Diketahui, Martin menjadi wartawan awal ketika majalah Tempo
masih belia. Wuis! Saya kira itu menakjubkan sekaligus kedunguan rezim
membiarkannya bebas. Bekerja sama dengan salah satu penanda tangan Manifesto
Kebudayaan, Goenawan Mohammad, yang menjadi atasannya. Kronologis kisah ini
kemudian direkam baik dalam cerpen Ratusan
Mata di Mana-Mana. Begitulah Martin bersaksi.
Melalui blog Muhidin M Dahlan, saya
peroleh informasi sepetak perjalanan Martin di alam reformasi. Cap pengarang
yang terlahir dari rahim ideologi kiri terus menjadi label. Ia dikutuk seorang
penyair dari kubu masa lalu, juga penanda tangan Menifesto Kebudayaan, Taufik
Ismail, karena lancang menyebar informasi hendak menjadikan ruang Pusat
Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin sebagai tempat diskusi memperingati 100 hari
kematian Asep Sambodja.
Begitulah Martin diperlakukan, menjadi
pesakitan segolongan orang-orang yang pola pikirnya tertinggal di masa lalu.
Tetapi, Martin tak gentar. Besar dugaan, gertakan itu hanyalah sebesar biji zahra
baginya. Pengalaman hidup membekalinya kekuatan. Tumbuh menjadi anak tangguh
dari rahim yang diharamkan itu.
Saya termasuk golongan telat membaca
cerita-cerita Martin. Mati Baik-Baik,
Kawan, kumpulan cerpennya yang terbit di tahun 2009 silam ini, saya sebatas
meresapinya di laman goodreads.com. Sampulnya
sungguh menggoda. Lukisan semi abstrak, saya kira. Ada ragam goresan warna pada
sosok gambar manusia.
Karena telah menggenggam sedikit
pengantar mengenai malapetaka tahun 1965 dan pada jejak Martin sendiri. Judul
buku itu kumaknai sebagai doa. Siapa pun, mau dari latar ideologi atau agama
mana pun, kematian yang tak terbantahkan perlulah dipersiapkan sebaik-baiknya.
Paling tidak, jenazah masih disapa dengan doa serta ditangisi keluarga dan
kerabat sebelum menempuh prosesi penghormatan terakhir selayaknya anjuran
masing-masing paham. Dikubur dalam Islam, dikremasi cara Budha, atau tata cara
yang lain.
Dicetakan ketiga tahun 2014 terbitan
Ultimus, sampulnya telah berubah total. Kini, didominasi hitam garis-garis
putih dengan setitik noda merah berupa sketsa karya Sri Warso Wahono. Perubahan
sampul ini tentulah memiliki pertimbangan. “...Terdapat
perubahan nyata pada kulit. Semoga simbolisme yang ditampilkan warna, maupun
garis, di situ menambah kepekatan sensasi yang muncul dari naskah...,” tulis
Martin melalui pengantar.
Juga telah memuat ulasan dan apresiasi
dari enam penulis. Arswendo Atmowiloto, EZ Halim, Damhuri Muhammad, M Lubabun
Ni’am Asshibbamal S, Heri C Santoso, dan Katrin Bandel. Edisi kali ini pun
ditambahkan empat cerpen dari semula memuat sembilan cerita saja sejak
diluncurkan pertama kali pada 3 April 2009 di PDS HB Jassin.
Jadi, penantian enam tahun sejak
diterbitkan. Bagi saya, telah diberi bonus berupa tata sampul baru, ulasan, dan
empat cerpen. Salah satunya yang pernah saya baca di tahun 2006 di Kompas, awal
mengeja nama Martin Aleida.
Akibat hasutan catatan endorsement di
sampul belakang, Agung Ayu Ratih dan Hilmar Farid mengulik cerpen Melarung Bro di Nantalu. Itulah cerita
pertama yang langsung saya baca. Sebagaimana Leila S Chudori yang turut menuliskan
endorsement. Tulisnya: “Membaca Martin
adalah membaca kesedihan...” Hemat saya, Leila melakukan reduksi,
menyederhanakan kesedihan menjadi keindahan. Ini menyangkut luka, kawan.
Membaca Martin lebih dari mengeja kesedihan. Martin adalah luka dan perwakilan
luka jutaan korban.
Meratapinya sebagai kesedihan
mengantar pada asosiasi murung. Seolah bukan pilihan. Menetapkan ideologi
sebagai penunjuk jalan. Martin tentu sadar dengan pilihan paham yang diampuh.
Diyakini menjadi suluh mencukupi kehidupan.
Cara baca demikianlah, saya kira. Memahami
peristiwa dan proses menjadi luka yang telah bersemayam di kepala Martin.
Utamanya bagi mereka yang dipaksa mangkat mendahului takdir hidupnya
masing-masing. Kesedihan hanyalah akhir, menyepakatinya tentu melahirkan ragam
tafsir. Dan, pandirlah kita bila membenarkan pembunuhan orang-orang dicap
komunis. Jika pun mereka komunis, memangnya apa yang keliru dengan ideologi
itu. Ada penciptaan hegemoni melahirkan dendam sesat yang menggiring anak-anak
negeri ini di tahun 1965 membantai. Di titik itu terjadi pertarungan merebut
kuasa.
Peristiwa pembunuhan tujuh Jenderal,
menjadi prolog melakukan pembantaian berjuta-juta manusia yang dicap memiliki
hubungan dengan PKI. Tak hanya bagi mereka yang menjadi anggota di partai itu,
orang-orang yang aktif di sejumlah organisasi yang memiliki afiliasi, juga
masuk dalam daftar. Begitulah muasal luka-luka tak tersembuhkan bagi keluarga
dan kerabat yang menjadi korban.
Mereka yang tidak berpijak di tanah
air ketika tragedi itu berlangsung, menjalani peristiwa hidup tak kalah
getirnya. Meski tidak mengalami interogasi dan penyiksaan fisik. Tetap saja
menguak luka. Bagaimana membayangkan orang-orang yang dicintai dibunuh
berkali-kali. Usai roh lepas dari tubuh. Berikutnya tubuh itu tak dikubur,
banyak yang dibuang ke sungai. Kalaupun dikuburkan, jenazah dihinakan.
Dibiarkan tertumpuk dalam satu lubang. Tentu saja tanpa air mata apalagi doa.
Jangan dianggap mereka yang berada di
luar negeri merasa beruntung. Jika saja boleh meminta, mungkin ada di antaranya
ingin pulang saja dan mati bersama keluarga. Tetapi tak ada jalan. Di situasi
demikian, entah apa yang harus diperbuat. Menjadi pesakitan di negeri jauh,
jalan melanjutkan hidup amatlah terjal.
Melarung Bro di Nantalu adalah memoar luka tak terperih. Jasad
orang dicap merah pun sudah tak memiliki petak kuburan di tanah kelahirannya
sendiri. Menyadari itu sebelumnya, Bro yang di masa kecilnya tiga kali khatam
Alquran itu merasa perlu berkelahi dengan iman dasar yang lahir bersamanya.
Setelah mencuri hidup di Beijing, Asmterdam, dan Paris. Ia hendak berterima
kasih di ketiga kota itu.
Sebagaimana kemudian, sebelum ia
benar-benar mati, dan setelah memenangkan pertarungan iman. Ia memilih mati
seorang Bhudis, agar abunya jasadnya bisa berbagi di tiga kota yang pernah
ditinggali, sisanya ia ingin kembali di tanah kelahirannya. Dan, di aliran
sungai Nantalu abu itu berenang.
“...Di Nantalu, ya, di
Nantalu, yang bermakna “yang kalah,” air terus berpendar berkecipak menciumi
tebing. Tinggi-tinggi kuangkat cawan berisi sejemput abu Bro. “Tuhan, siapa pun
Kau, terimalah kawanku ini. Dia orang baik-baik, sebagaimana yang telah Kau
tentukan bagi jalan hidupnya.” Lututuku ngilu. Aku membungkuk dalam-dalam,
membenamkan cawan perlahan ke pusaran air. Bro lenyap dalam sekejap. Aku percaya,
kawanku itu sedang berenang-renang ke surga...” Demikian Martin menutup cerita ini.
Kematian yang wajib menjadi perkara.
Martin, tentulah tak menjadikan luka 1965 petak inspirasi menyusun cerita. Luka
itu kesaksian, protes, juga doa.
Kematian bukan permainan takdir. Ini
jalan keniscayaan bagi makhluk hidup. Mangku
Mencari Doa di Daratan Jauh, lebih dari proses perjalanan menyiapkan
kematian sebaik-baiknya. Berdiam mengutuki takdir sungguh biadab. Mangku
menolak mengulangi nasib ayahnya.
“... Begitulah, suatu
pagi, ayah Mangku diseret ke tepi lubang, tengkuknya dihantam linggis, dan
bersama jasad petani senasib, dia ditimbuni, tanpa doa, konon pula air mata...”
Martin tak sekadar mengumbar
kesaksian, ia meneror kita dengan peristiwa kematian absurd. Juru selamat bagi
Mangku, ia menangis yang sulit ditebak, apakah itu ratapan atau tangis polos
anak ingusan karena merasa kehilangan. Entahlah, namun ia dibiarkan tumbuh dan
tak diseret menemani ayahnya sebagaimana anak-anak yang lain mengalami.
Satu-satunya petunjuk. Ketika sudah
besar, Mangku hidup ditemani bayang kesaksian. Jelaslah, tangisannya waktu itu
bukan lagi rengek bocah. Tetapi, sudah ratapan mendalam melihat ayahnya
dinistakan.
Dalam perjalanan mencari petak tanah
di mana ia ingin dikubur selayaknya, ia tetap sadar menyambung hidup. Bersama
se ekor anjing Kintamani dan kera. Ia melakoni pertunjukan topeng monyet. Namun
ini lain, Mangku memperlakukan kedua binatang itu sebaik-baiknya sifat manusia.
Tidak ada rantai besi melingkar di leher anjing maupun kera. Begitupun
sebaliknya, anjing dan kera itu sadar mengabdi sehormat-hormatnya pada tuannya.
Di tangan Mangku, anjing dan kera itu
terjerumus dalam perasaan senasib. Sedihlah Mangku dan kera kala anjing pintar
itu ditangkapi petugas karena dikira anjing rabies berbahaya. Hingga di suatu
waktu, kera mendengar gonggongan karibnya itu di halaman rumah gedong. Tahulah
kita, petugas itu sadar kalau anjing yang ditangkapnya disadari anjing pintar
bernilai tinggi, dapat dijual dengan hasil lumayan. Sialan!
Apa daya bagi Mangku, Jonggi,
panggilan untuk anjingnya itu, tak dapat ia rengkuh. Malah, ia diusir si
pemilik rumah mewah yang mencapnya maling. Mangku kembali memperoleh luka.
Malang selanjutnya, kera, sahabat tersisa diterjang gigitan anjing liar. Anjing
rabies sesungguhnya yang tak ditangkapi petugas berengsek itu.
Ketika Mangku belum menuntaskan
perjalanan menacari daratan. Ia harus menerima perpisahan dengan kedua
kawannya. Si anjing berpindah tuan. Si kera menemui ajal.
“...Mangku tegak di atas
lutut menghadap lubang. Berdoa beberapa saat, lantas ia menimbuni lubang
kuburan itu dengan tanah. Juga air mata. “Persis sebagaimana kau dikuburkan
ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa...”
Lagi, Martin menutup cerita perihal kematian
penuh luka.
Liuk kematian yang dikabarkan Martin
juga melahirkan mitos mengundang tawa getir dalam pengalaman masyarakat. Asumsi
masihlah berkaitan dalam cerpen. Dekat pantai Widuri di Pemalang, diyakini ada
guru, lurah, dan pamong dibunuh karena dituduh komunis yang jasadnya dikuburkan
di situ. Seorang saksi berkisah, kuburan massal itu dijadikan tuah meminta
peruntungan memenangkan nomor togel.
“...Saya yakin, roh Pak
Machdum, guru paling jempolan, yang menuliskan nomor itu. Orang lain juga
pernah mencoba, tapi tak dapat apa-apa. Kecuali kertas putih tok. Sebab, roh
Pak Machdum cuma mau kasi nomor kepada mereka yang seideologi....”
tukasnya....” Dalam
duka, Mangku pun menyembuyikan senyum getir.
Luka tak melulu kematian. Dalam sisa
hidup orang-orang dicap merah, luka terus saja menganga sepanjang waktu dan
seumur hidup, mungkin. Ditampik dalam pergaulan publik. Kehidupan mereka tak
lebih baik dengan jasad-jasad yang luput doa itu.
Ode untuk Selembar KTP, menerangkan kisah hidup terhina.
Iramani, nama perempuan 72 tahun, kenyang siksaan di hampir semua kamp
konsentrasi.
“...Usiaku habis percuma
ditelan tembok-tembok penjara dekil dan menyesakkan. Dan, ketika aku ditendang
keluar dari sel, aku masih harus menanggungkan perlakuan sewenang-wenang dari
satu rezim yang didukung oleh manusia yang terus menerus kupertanyakan dalam
hati, dari manakah mereka mewarisi perangai lalim yang telah memencilkan aku
selama tiga belas tahun di dalam kurungan, terutama di penjara wanita
Pelantungan...” Demikian
ia meratap sekaligus mengutuk.
Di usia senjanya, sadarlah kalau ajal
semakin dekat. Ia perlu berjuang memulihkan namanya. Sebaik semula sebelum ia
dijerumuskan ke liang luka. Walau, itu hanyalah berupa selembar Kartu Tanda
Penduduk, disingkat KTP. Bukannya tidak didaftar dalam keanggotaan warga
negara. KTP sebelumnya ditandai penegasan huruf kapital di sudut kanan atas
tertulis: ET, eks tahanan politik.
Begitulah, guna memulihkan labelisasi
itu, ia menempuh jalur yang dipraktikkan penguasa kelurahan. Melakukan sogok,
agar petugas kelurahan sudi kiranya berbaik sangka. Tak lagi mencantumkan kode
tersebut. Harganya sungguh mahal, sebidang tanah warisan ayahnya dijual untuk
itu. Meski eranya telah berlalu, cap ET telah dihapus pemerintah. Namun, ia
merawat kesadaran, mental yang ditanamkan rezim lalim, kalau manusia sampah
sepertinya merengkuh keadilan perlu melalui jalur licik agar licin. Lihatlah,
bedebah juga petugas kelurahan itu tanpa dosa menerima sogokan. Karena itulah,
ia sendiri turun tangan menyelesaikan persoalan yang terus menghantui.
“...Waktu telah
mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang
dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu. Kepercayaanku timpas sudah...” Ucapnya mengakhiri sepetak kisahnya.
Luka hidup tak kalah menyesakkan. Bertungkus Lumus menghamparkan kehidupan
terkoyak. Ia perempuan. Berprofesi guru. Usia pernikahannya masih seumur
jagung. Ikut ditangkap sebagai jaminan bagi suaminya, aktivis yang dicari-cari.
“...Kejujuran yang
dititahkan kepada setiap guru yang baik, selalu menjadi pelita hatinya. Tetapi,
di depan tentara yang haus darah, juga nyawa, pengakuan apa adanya itu hanya
akan memancing bencana. Dia disiksa, diperkosa, untuk memperoleh pengakuan yang,
demi Tuhan, memang mustahil...”
Guru itu memang dikeluarkan dari
penjara. Namun, ia menghuni penjara kehidupan yang kelak menjadi luka batin
yang menemaninya bertahan hidup. Oleh tentara berpangkat Kapten berbulu domba.
Melalui perskutuan nasib tak adil, guru itu dihamili kemudian dicampakkan
bersama orok yang terus tumbuh menjadi manusia.
“...Untuk seorang
perempuan, anak yang lahir dari rahimnya tak pernah menjadi anak haram. Hanya
lelaki keji yang mengantarkan anak jadah. Bertungkus lumus dia membesarkan
jabang bayinya dengan kemuliaan...”
Hasil menabung hasil jerih kerja
serabutan, naluri guru kembali hadir. Ia mendirikan lembaga kursus bahasa
Inggris yang memang dikuasainya dengan baik sejak masih kuliah. Hasil kursus
itulah, kasih keibuannya membesarkan anak-anak satu-satunya yang benihnya
ditanam kapten biadab yang entah di mana sekarang.
Luka tetaplah luka. Tak pernah sembuh
sempurna. Ia tak kuasa menatap mata anaknya itu. Sebab, melalui sepasang mata
itulah bayang kapten pengecut hadir. Namun, berbekal kartu nama, ia membuka
tabir luka-lukanya. Pengakuannya seolah menambah luka baru, tak dibayangkan
anaknya siap mengejar ayahnya hingga ke tepi dunia.
“...Dendam bisa
kehilangan isi, ingatan tak pernah sirnah...”
Mungkin, dengan pengakuan yang
sejujur-jujurnya, luka dapat sembuh perlahan.
***
Pangkep-Makassar, 16 Januari 2015
Komentar