Bukan Dendam Menuntut Maaf


Dadang Christanto. “DARAH ITU MASIH SEGAR JENDRAL “, #2. Acrylic on Belgium linen, 136 cm x 183 cm. November 2014. Sumber di sini


Usaha melupakan berjalan seiring kerja mengungkapkan. Pertentangan yang terus tumbuh disebabkan emoh meresapi dan kegigihan mempertahankan ingatan. Jelaslah, di poros ini ada dua kubu. Berlaku dalam hal apapun yang terus bertolak belakang.

Adi, adik dari kakak bernama Ramli yang mati dibunuh dua tahun sebelum ia lahir. Keduanya berayahkan Rukun dan beribu Rohani. Dalam garapan Joshua Oppenheimer, Adi menjadi penuntun, penanya, sekaligus mewakili kubu yang menolak lupa rangkaian tragedi pembantaian manusia di tahun 1965.

Salah satu lokasi pembantaian itu terjadi di Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Dalam narasi bertajuk The Look of Silence atau Senyap setelah dikontekskan ke dalam bahasa Indonesia. Sekuel The Act of Killing atau Jagal. Dua film dokumenter ini adalah hasil kerja mengungkapkan tragedi itu.

Khusus Senyap, berbekal buku stensilan yang dijuduli Embun Berdarah garapan Amir Hasan, pemimpin komando aksi jagal. Joshua mempermainkan emosi kita. Beberapa adegan Rukun memaksa untuk ditertawai, hal sama berlaku pada Inong ketika berfoto usai memperagakan bagaimana menggorok orang-orang dicap komunis di tepi sungai Ular. Bagi mereka yang tidak menggenggam pengantar tragedi 65 pastilah terbahak yang tak sadar telah memposisikan diri tanpa empati terhadap korban dan perayaan pada mereka selaku pelaku.

Tetapi begitulah, tragedi dan humor berkelindan di film ini. Seolah keduanya dua sisi mata uang. Namun, bagaimana mungkin kita dapat lepas tertawa meresapi wajah Adi dan Rohani. Meski anak dan ibu ini masing-masing merawat kesadaran yang berbeda. Adi, menembus tembok ketakutan dan menghancurkan perisai dendamnya sendiri menghampiri pelaku.

Berbekal alat pengukur mata sebagai pengantar membuka dialog, selanjutnya ia tabah mendengar tutur heroik para jagal. Di selahnya ia bertanya, berusaha mengorek informasi dan jika boleh menuntut permohonan maaf. Ibunya, Rohani yang melihat bagaimana Ramli dengan usus terburai setelah dibacok datang menghampirinya meminta segelas kopi yang juga pertolongan kemudian diseret kembali oleh mereka yang belum menuntaskan tugas atas nama bela negara merampas kehangatan ibu itu.

Sejatinya, pengungkapan ataupun pengakuan atas pembantaian manusia di tahun 1965. Adalah usaha merencanakan rekonsiliasi. Tetapi, rencana ini buyar dikarenakan kuatnya dogma yang tertanam. Di sepanjang film, Adi gagal memperoleh permintaan maaf dari pelaku. Hanya seorang perempuan, anaknya Samsir yang mengucap itu diiringi bulir air yang mentes dari kedua matanya.

Letak persoalannya bermuara pada hegemoni elite kala itu yang tengah berusaha mengambil alih negara. Inong, Amir Hasan, Samsir, dan penjagal yang lain menempati garis putus paling akhir dari skenario yang tengah dirancang. Reportoar majalah Tempo edisi 29 September-5 Oktober, menulis penuturan Inong: “Menurut kami, suasana waktu itu tak keruan. Jika mereka menang, tak tahu apa yang terjadi. Kami pasti diciduk, jadi tumbal. Daripada didahului, kami habisi dulu mereka.” Namun, lapangkah mereka yang menjagal. Lepaskah mereka dari dosa dan hukum. Sungguh senyap. Mereka, para jagal, hanya diam ketika Adi menamparnya dengan ucapan: “Saya adik Ramli yang kalian bunuh itu!”

Pengakuan tersebut, jelas merupakan petunjuk bila orang-orang yang dimaknai selaku refresentasi negara saat itulah yang telah meneror warga agar saling menghabisi. Inong mengakui, kalau ABRI sebatas memberi akses tetapi tidak mau menjadi penjagal. Konsikuensinya kemudian, korban dan pelaku yang sama-sama terhegomonilah yang saling membenci.

Rohani menjalankannya sebagai benteng, menolak bertegur sapa dengan orang-orang yang dilihatnya di suatu malam menyeret  Ramli yang sudah sekarat. Maka kagetlah perempuan yang sudah jompo itu ketika Adi menceritakan semuanya. Keriput wajahnya tak dapat menutupi amarah yang terpendam puluhan tahun. Semakin tegang manakala Adi menyampaikan kalau seorang Pamannya yang bertugas selaku penjaga di mana Ramli disekap di gedung bioskop sebelum menunggu giliran dibunuh.

Di sisi lain, Rohani sungguh ibu yang kuat, tidak mengalami depresi dan mendapati giginya rontok satu-satu sebagaimana dialami Rukun, suaminya. Ia mendamaikan dirinya dengan sunyi, merelakan semuanya dengan diam walau luka belumlah terobati. Ia menasihati Adi, khawatir jika yang dialami Ramli terulang kepadanya.

Ramli, dan korban lainnya yang tidak kita ketahui bagaimana wajahnya itu di film ini. Menjadi sepotong pengantar tentang kejadian serupa di belahan daerah yang lain di tahun 1965. Tragedi ini sungguh tanpa wajah. Kekerasan yang dilakukan mengatasnamakan negara  juga menyeret agama sebagai pelengkap guna melegalkan pembantaian.

Sejarah tragedi 1965 memang telah ditulis ulang. Milan Kundera, mengingatkan dalam novelnya, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Cara menghancurkan suatu bangsa, cukup menghapus jejak tulisan dan sejarahnya. Sekaitan dengan itu, melalui tokoh Mirek, Kundera menegaskan pula cara melawan dengan perjuangan melawan lupa. Adi menempuh jalan itu walau terjal dan berliku.

Faktanya demikian, meski pengungkapan dan pengakuan telah dihamparkan dan diucapkan. Tetap saja membeku. Pengakuan menjadi hambar karena menolak meminta maaf. Begitupun pengungkapan yang sulit diterima. Adi beserta keluarga direlokasi dari kampung halamannya usai berbicara gamblang di film Senyap. Jhosua menyadari kemungkinan adanya ancaman.

Korban dan pelaku masing-masing menjadi tak selesai. Begitupun kita, generasi yang mengembangkan pola pikir di sekolah Orba. Ingatlah, sebagai pelengkap hegemoni kekuasaan Orba, malam 30 September televisi nasional menayangkan teror lewat film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. “Darah itu merah, Jenderal”, merupakan dialog paling diingat. Hingga kini, di ingatan para penyintas seperti Adi Rukun dan keluarga korban lainnya, aliran darah itu belum mengering dan terus merembes ke serambi zaman tiap generasi.

“Darah korban masih segar dan terus mencari tubuhnya,” tulis Martin Aleida di website http://1965tribunal.org/, sastrawan yang turut menjadi korban. Lebih dalam Martin menuliskan: “Kami tidak ingin memaksa kalian untuk menyerah dan angkat tangan, karena hanya akan merendahkan harga diri kalian. Tetapi, kalau memang kesatria akuilah dosa masa silam kalian, dan itu tidak akan mengurangi martabat kalian barang sejengkal pun. Malah sejarah akan mencatat kalian sebagai pembawa lilin kecil untuk menerangi sejarah gelap yang sudah kalian nodai sendiri.”

Tetapi, bagaimana bisa aliran darah itu berhenti, mengucap maaf saja sulit. Padahal, Adi tidaklah mendendam. Sebagaimana Martin  menjuduli catatannya: Kami Tidak Mendendam.

***
Pangkep-Makassar, 25 Desember 2014


Komentar

Postingan Populer