Yengga, Pembecak yang Tertinggal di Masa Lalu dan di Masa Depan


Yengga dan Becaknya (Dok. Kamar-Bawah, 2014)

Siang yang mendung, jelas tak tampak lagi biru langit, sebab sebentar lagi hujan bakal mengguyur. Beberapa orang tua yang sedari tadi bermain kartu remi di pos ronda mengakhiri permainan dan bersegera memunguti gabah yang dijemur. Selanjutnya, giliran anak-anak mengambil alih posisi para orang tua itu. mengocok kartu lalu masyuk bermain.

Pos ronda  yang terletak di ujung jalan kampung saya, desa Kabba, kecamatan Minasatene, kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Memang tak pernah lepas dari permainan kartu remi. Namun, mereka para orang tua dan anak-anak itu tidaklah bermain judi. Sekadar bercengkrama saja sambil bermain kartu. Meski memang, ada orang-orang tertentu menjadikannnya ajang taruhan.

Peristiwa di atas hanyalah secuil ingatan di suatu siang kala saya masih remaja, saya hanya mengingat tahunnya saja, 1998. Tahun di mana saya masih berseragam putih biru dari senin hingga kamis, sebab jumat dan sabtu diwajibkan mengenakan seragam pramuka. Di tahun-tahun itu  pula, pos ronda di ujung jalan desa bisa disebut sebagai ruang komunal warga. Saban sore pasti ramai. Orang tua, muda, kaum ibu, remaja perempun dan lelaki, hingga anak-anak. Semua berbaur.

Di antara sekian banyak warga yang berkumpul, ada satu orang yang selalu saja menjadi ajang pembicaraan, istilah sekarang, dibully. Meski yang bersangkutan tampak menikmati, tetap saja, bagi saya tidaklah adil memposisikan seseorang sebagai pesakitan.

Nama lahirnya adalah Rusdi, tetapi akrab disapa Yengga. Seingat saya ia pengayuh becak pertama di desa kami. Tidak pandai membaca karena tidak mengenyam pendidikan formal. Namun, dapat memberikan uang kembalian pada penumpangnya dengan benar.

Berdasarkan itu, warga melabelinya manusia bodoh. Sebutan yang tentu saja menempatkan Yengga manusia kelas dua di desa. Sejumlah remaja, orang tua, bahkan anak-anak kadang iseng mengerjainya.

Di kala itu, saya pun terkadang terlibat mengibuli. Misalnya saja, mengempiskan ban becaknya atau sengaja mengatainya dan berharap ia murka. Sebagai remaja yang pada dasarnya mencontoh perilaku orang tua yang juga berbuat sama.

Coba ejek Yengga, ia tidak akan marah karena tidak bisa mendengar,” hasutan seperti inilah yang  sering dianjurkan kepada anak-anak di pos ronda untuk mengusik Yengga yang memarkir becaknya menanti penumpang.

***

Kini tahun 2014, dan saya bukan lagi remaja yang masih doyan menjahili Yengga. Tetapi, mengingat masa lampau 16 tahun yang lalu, ada pertanyaan yang belum terjawab. Menyangkut perilaku saya dan sejumlah orang-orang di desa terhadap sesama manusia yang dianggap tidak “normal” sebagaimana keberadaan manusia kebanyakan.

Mengapa kita selalu menganggap manusia yang memiliki suatu kekurangan disebut tidak normal. Yengga, misalnya, dianggap lain hanya karena ia tuli, tidak mengenyam pendidikan formal, dan hanya seorang pembecak.

Mansour Fakih, mengulas cara pandang penganut normalisme di dalam bukunya, Jalan Lain, Manifesto Intelektual Organik. Bahwa pelabelan terhadap seseorang yang mengandung streotipe negatif merupakan konstruksi sosial. Sebab pada dasarnya, tidak ada manusia yang disebut normal atau tidak normal.

Di dalam jejak kehidupanlah gap itu terbangun. Ini saya kira yang tidak tersadari oleh manusia di lingkup kehidupannya dalam bermasyarakat, termasuk di desa saya. Bahwa terjadi konstruksi pengetahuan dalam melihat manusia yang dianggap tidak “normal” itu tadi.

Lebih jauh, Mansour Fakih menerangkan, ada tiga cara pandang yang terus bertarung dalam melihat keberadaan manusia disebut cacat. Pertama, kaum konservatif yang menganggap hal tersebut sebagai takdir dari Tuhan. Kedua, kaum liberal menyebutkan bila mereka yang tidak memiliki kesempurnaan adalah penyakit sosial yang harus dibedakan dengan mereka yang normal. Ketiga, pandangan kritis memandang bahwa lahirnya pelabelan “normal” dan “tidak normal” erat kaitannya dengan ideologi. Dengan kata lain, ada jalinan konstruksi pemahaman yang bersandar pada paham positivistik yang memandang manusia secara kebendaan.

Jelaslah, mengapa Yengga di desa saya dianggap bodoh (cacat). Diakibatkan menguatnya pemahaman konservatif dan liberal. Padahal, Yengga sama dengan manusia yang lain, suatu komposisi manusia yang juga mengalami proses penciptaan. Pun ia dapat bekerja dan menafkahi diri sendiri.

Besar dugaan mengapa ia tidak bersekolah, karena sekolah secara kelembagaan menganut pemahaman liberal.  Jadi, Yengga tidak boleh duduk sebangku dengan manusia yang disebut “normal” disebabkan Yengga mengalami disfungsi pendengaran. Jika dipaksakan, akan menganggu jalannya proses belajar mengajar. Itulah mengapa terbentuk sekolah luar biasa (SLB) yang diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan kebutuhan khusus. Hanya, keberadaan sekolah semacam ini semakin menegaskan pemahaman normalisme. Yang akhirnya melanggengkan sesat pikir konstruksi pemahaman sosial.

Rupanya, sekolah tidaklah bebas nilai. Di dalamnya mengandung benih pemahaman sosial yang mengarah pada terbentuknya cara pandang material.  Murtadha Muthahari, filsuf asal Iran melalui bukunya, Manusia Sempurna,  mengingatkan posisi manusia sama, yang membedakan bukanlah tampilan fisik melainkan diukur dari sifat dan ketauhidannya sebagai cara pandang melihat dunia.

Kembali mengenai Yengga, di suatu sore saya melihatnya melintas di depan rumah. Di tengah maraknya becak motor (bentor) sebagai moda angkutan darat alternatif. Ia masih setia mengayuh becak. Pangkalannya bukan lagi di depan pos ronda. Pasalnya, di hari kini, sepertinya setiap orang telah memiliki sepeda motor. Jikapun membutuhkan tumpangan, becak bukanlah pilihan, karena bentorlah yang menguasai lalu lintas antar jemput penumpang.

Yengga tertinggal di masa lalu. Sore itu saya menyetopnya, menumpangi becaknya menyusuri jalan desa. Ingatannya masih kuat, “Dahulu, kau sering mengempiskan ban becakku,” ujarnya. Sontak saja saya kaget dan rikuh.

Kelakuan 16 tahun lalu kuakui. Yengga nampaknya tidak dendam. Wajahnya dilumuri senyum. Rasa-rasanya Yengga benar-benar tertinggal di masa lalu, ayuhan becaknya sungguh bertenaga. Di usianya yang hampir berkepala empat, kutebak karena ia sebaya dengan salah satu kakak perempuanku. Sungguh, ia masih gesit.

“Sampai kapan mengayuh becak,”  tanyaku dengan suara sedikit berteriak.

Ia hanya mengulum senyum. Tanya itu kembali kuulangi. Eh, malah bertanya balik tentang pekerjaan saya. Kuulangi lagi, barulah ia menerangkan: “Hingga saya tua,” ucapnya. Selanjutnya kutanyakan perihal mengapa ia tidak beralih menggunakan bentor. Kali ini langsung ditanggapi: “Saya terlanjur senang dengan becak, lagi pula saya tidak tahu mengendarai bentor,” ujarnya sambil tersenyum.

Berdasarkan pengakuannya lebih lanjut. Sekarang, ia tak lagi fokus mencari penumpang karena sudah bekerja di toko kelontong. Tugasnya mengantar barang pesanan menggunakan becaknya. Dan, bila diperjalanan pulang ada yang meminta diantar, tentu saja ia menyanggupi.

****


Komentar

Tokopenjual mengatakan…
miris sekali denger cerita bapa penarik becak itu
kamar-bawah mengatakan…
Tokopenjual, iya, realitasnya demikian, tetapi perlahan ejekan sosial itu sudah berkuranng.
Naqiyyah Syam mengatakan…
masya Allah tegarnya, semoga dimurahkan rezeki ya

Postingan Populer