Lelaki, Perempuan, dan Laut
Sejarawan, Adrian B Lapian, memberikan
pencerahan mengenai identitas negeri ini yang kadang disebut sebagai negara
kepulauan yang sebenarnya keliru. Sebab archipelago,
gabungan dua kata Yunani, arkhi berarti
utama dan pelagos bermakna laut.
Secara harfiah adalah laut utama, konsepsi Lapian sendiri, lautan yang ditaburi
banyak pulau. Jadi, lebih tepat disebut negara kelautan.
Hingga kini, belum ada perhitungan
detail menyangkut jumlah pulau, makanya kita selalu menambahkan kata ‘lebih’
setelah angka 17.000, tidak ada angka detail, karena laut selalu saja ditumbuhi
gugusan pulau. Begitupun, saya kira, dengan panjang garis pantai, ada yang
menyebutkan 85 kilometer hingga angka 95. Dan, tak terkecuali untuk menyebut
detail luas lautan.
Artinya apa, dengan beragamnya
pendapat menyangkut luas lautan, jumlah pulau, dan panjang garis pantai. Maka
kita pun sebatas memperkirakan jumlah penduduk yang bermukim di daerah pesisir.
Ada pendapat mengatakan kalau 60 persen penduduk Indonesia hidup di wilayah
tersebut.
Lalu, apa saja yang dilakukan penduduk
yang berjejak di sana, jika logikanya laut adalah berkah, lantas mengapa jala
kemiskinan menjerat mereka. Bisakah kita membenarkan kalau kemalasanlah yang
mengakibatkan demikian. Saya kira asumsi itu keliru, menyebut masyarakat
pesisir malas merupakan pandangan sempit.
Letaknya, ada pada ketidakadilan
sistem dan minimnya keberpihakan pemangku keputusan sehingga mengamputasi
rezeki mereka yang mencari sumber nafkah di laut. Beberapa tahun terakhir,
tumpuan ekonomi berpijak di darat yang terbagi ke dalam industri pengolahan,
pertambangan, kehutanan, pertanian, dan peternakan.
Poros Maritim
Terpilihnya lelaki berusia 53 tahun
kelahiran Surakarta 21 Juni 1962 selaku presiden ke tujuh, sejak awal sudah
mengingatkan agar dilakukan perubahan cara pandang. “Sudah terlalu lama kita membelakangi laut, selat, dan teluk…,”
ucap presiden di pidato pertamanya usai pelantikan.
Di pertemuan KTT APEC di Beijing,
Jokowi melakukan diplomasi maritim. Ditegaskan kalau Indonesia akan menjadi
poros maritim di kawasan Asia Pasifik yang disambut hangat sejumlah negara.
Rusia, misalnya, menyebut kalau Indonesia adalah mitra kunci di kawasan tersebut.
Bukan kali ini saja Jokowi
menyembulkan gagasan bertautan dengan laut, kita ingat di sesi debat capres.
Guna memutus rantai distribusi bahan yang memakan waktu dan biaya begitu banyak
ke wilayah timur Indonesia, diperlukan adanya tol laut. Dengan begitu,
diharapkan harga satu sak semen di Papua tidaklah mahal. Implementasi dari tol
laut ini sendiri berupa penyediaan kapal angkut berukuran besar atau sesuai
kebutuhan dan tersedianya infrastruktur pelabuhan di wilayah yang akan
disandari kapal.
Mengapa laut, karena jejaknya sudah
ada sejak dahulu, jejak maritim di nusantara bisa dilacak dari eksisitensi
kerajaan. Misalnya saja, Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Tidore, Banten, Gowa,
dan lainnya. Walau kini Indonesia bukanlah masa depan dari kerajaan itu, tetapi
bisa dikatakan genealogi negeri ini sedikit banyaknya bersumber dari sana.
Sejarawan Hilmar Farid dalam Arus Balik Kebudayaan, Sejarah sebagai
Kritik, yang merupakan judul pidato kebudaayan yang disampaikan pada 10
November lalu atas prakarsa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Mengungkapkan bila berubahnya kerajaan maritim
yang dinahkodai kerajaan setempat di beberapa wialayah nusantara berpindah ke
tangan VOC secara bertahap.
Sebutlah misalnya, kematian Sultan Agung di tahun 1645
yang menjadi pintu terbuka bagi VOC mendominasi Mataram, atau jatuhnya Gowa
pada 1669 sehingga korporasi dagang asal Belanda itu menguasai jalur
perdagangan di nusantara.
Dan kini, Indonesia melalui nahkoda
baru telah menegaskan kembali untuk kembali ke laut. Sebagai penyambung
kekuatan, presiden menunjuk seorang perempuan berusia 49 tahun kelahiran
Pangandaran untuk menangani Kementrian Kelautan dan Perikanan. Laut memang
tidak berwajah maskulin semata. Kontribusi perempuan di kampung nelayan tidak
bisa dianggap remeh. Bahkan dibentuk kementerian baru pada 27 Oktober 2014,
Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia di mana seorang lelaki kelahiran
Bandung berusia 59 tahun, Dwisuryo Indroyono Soesilo sebagai penanggung jawab.
Laut menjadi ruang bersama, anak-anak,
dewasa, maupun orang tua, semuanya memiliki tempat. Ernest Hemingway di dalam
novel Lelaki Tua dan Laut menghidupkan
seorang nelayan tua bernama Santiago dan sahabat (murid) mudanya, Manolin.
Tegasnya, dua tokoh beda usia ini menjadikan laut sebagai rumah harapan.
Sejauh ini, kehadiran perempuan yang
hanya tamat SMP, Susi Pudjiastuti yang ditunjuk menteri Kelautan dan Perikanan
telah memberikan cara berlayar mumpuni. Maklum, latar belakang selaku pengusaha
eksportir hasil perikanan telah memberikan proses dan tentu saja pengalaman
lebih dalam mengurusi hasil laut.
Sonny Harry B Harmady dalam Nelayan Kita di opini Kompas (19/11).
Menjabarkan bila secara geografis nelayan ada di seluruh wilayah Indonesia
dengan tingkat persebaran di Jawa Timur mencapai 334.000. Jawa Tengah lebih
dari 203.000. Jawa Barat sekitar 183.000. Sulawesi Selatan, Sumatera Utara,
serta Aceh berturut-turut menjadi tempat hidup nelayan terbanyak ke-4, ke-5,
dan ke-6.
Masih dalam Sonny, survei Sosial dan
Ekonomi Nasional tahun 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sekitar 25
persen nelayan mengalami gangguan kesehatan yang berakibat pada aktivitas
melaut sehingga berdampak pada pencapaian ekonomi rumah tangganya.
Artinya, walau laut kita kaya tetap
saja menyisakan pilu bagi nelayan. Kita pun tahu makanan berbahan laut (seafood) amatlah mahal, tetapi
penghasilan nelayan sepertinya tidak bertambah. Selain itu, anak-anak nelayan
ketika ditanya, banyak yang tak ingin menjadi nelayan.
Perubahan tata kelola distribusi hasil
laut dan cara pandang terhadap laut itu sendirilah yang kini menjadi tantangan
bagi nahkoda baru, seorang lelaki dan perempuan yang diberi tugas menangani wilayah
kelautan.
***
Komentar