Hujan dan Merindukan Si Tambun





“Ayo, Ma. Kita main hujan. Matikan saja dulu kompor itu. Nanti Mama lanjutkan memasak ikan …” – aku agak memaksa
(Asdar Muis RMS dalam Malu Lagi edisi 3 Desember 2013)


Di seri rubrikasi Malu Lagi yang pertama kali melayar di Facebook pada 8 Mei 2013, melanjutkan rubrik Malu yang tuntas diselesaikan di sepanjang tahun 2012 tanpa alpa sekalipun. Dari seri catatan harian itulah saya mengetahui kalau lelaki tambun, Asdar Muis RMS mencintai hujan.

Suatu malam di tahun 2012 di rumah karibnya, Budi, yang juga berbadan tambun. Ia memperlihatkan rekaman monolognya, tampak ia sedang mentas dibawah guyur hujan. Saya heran saja, kok, Asdar Muis RMS yang sudah tua masih menyenangi hujan laiknya bocah.

Ini yang belum terjawab hingga ia wafat. Namun sudahlah, ini kegelisahan saya saja, tak kunjung paham tentang tingkah seniman serba bisa tersebut. Bila bermain hujan di siang hari, mungkin wajar-wajar saja. Tetapi bagi Asdar, tengah malam buta pun bukan halangan.

“…Ternyata, rintik hujan mengharuskan kami bubar. Babinsa pergi. Ketua RT tetangga juga melajukan vespa-nya. Tersisa: Ketua RW dan tetanggaku. Namun, aku membiarkan diri basah kuyup…” (Malu Lagi, edisi 81, 27 Juli 2013)

Peristiwa di atas merupakan perbincangan Asdar di malam hari ketika membahas tentang seorang tetangganya yang sering kedatangan tamu perempuan di malam hari. Curiga, karena perempuan yang bertandang selalu berganti saban malam.

Saya menduga saja, kalau hujan merupakan penyemangat baginya. Sebab setelahnya, Asdar seperti telah memperoleh kekuatan untuk beraktivitas, utamanya duduk berlama-lama di depan laptop guna menyelesaikan naskah buku yang sedang digarapnya maupun menuliskan beragama rubrikasi penulisan yang ia posting di Facebook.

Saya dan seorang kawan, Badauni AP, namanya, ketika bertandang ke rumahnya di sisa sore yang mendung di tahun 2013. Ketika kami berdua serius mendengar ia berbicara dan kemudian hujan menderas, seketika Asdar menghentikan perbincangan dan pamit untuk keluar ke warung, katanya, ingin membeli makanan.

Sebagai tamu, sungkanlah kiranya karena tuan rumah rela menembus hujan demi terjaminnya kesan dan asupan bagi sang tamu, itu pikiran saya. Namun rupanya, Asdar tak rela hujan terlewati begitu saja. Walau mantel tersedia dan tentunya ia bisa saja menggunakan mobil, tetapi ia memilih menunggangi sepeda motor. Merelakan tubuh tambunnya diguyur hujan.

“Orangnya memang aneh,” celetuk Badauni.

“Saya juga tak habis pikir, mengapa Asdar begitu gila bermain hujan,” ucapku menanggapi.

Hujan sungguh deras. Kumandan azan magrib terdengar seiring guntur membahana, sesekali kilatan petir melengkapi. Teringat di masa kecil, bermain hujan bersama teman-teman sambil menendang bola di tanah lapang, saking senangnya hingga lupa pulang yang mengharuskan orang tua kami menjemput. Tentulah ada kekhawatiran bermain hujan ketika magrib telah tiba.

Tetapi sore itu. Ah, sudahlah! Menegur Asdar agar urung saja membeli makanan di warung bukanlah cara terbaik. Bisa jadi kami berdua dapat teguran jika berani. Sebagaimana akhirnya, lelaki tambun itu kembali juga dengan selamat membawa nasi campur, kue, gorengan tempe dan tahu.

Saya sendiri tidaklah begitu intens mengikuti jejak kesenian Si Tambun, jika dihitung, hanya tiga kali menyaksikannya pentas. Pertama, ketika Komunitas Sapi Berbunyi mentas di Warung PKK Matampa, kecamatan Bungoro, Pangkep pada 26 September 2012, hajatan itu sekaligus sebagai perayaan perjalanan sebelas tahun grup teater yang didirikan di tahun 2001 tersebut.

Kedua, masih di Pangkep pada 9 Juni 2013 di depan warung sop ceker ayam di Tala-Tala, kecamatan Minasatene. Pementasannya kali ini bukanlah sesuatu yang dirancang dengan melibatkan komposisi kepanitiaan guna menyiapkan lokasi pentas. Ini sungguh tiba-tiba, saat itu Asdar ke Pangkep untuk melayat ke pemakaman salah satu kemenakannya. Setelahnya, ia memenuhi undangan Komunitas Pelajar Lentera Pangkep (KPLP) untuk mengisi kelas penulisan kreatif di tribun lapangan Citra Mas.

Hari itu memang mendung. Dan, Asdar mengajak peserta mengasup sop ceker sembari melanjutkan materi kelas penulisan di warung. Usai mengasup, hujan mengguyur. Seketika ia ingin mentas. Sontaklah kami semua sedikit heran. Benar saja, penulis buku Tuhan Masih Pidato itu kuyup karena ia beraksi di bawah hujan yang menderas. Kaus oblongnya ia lepas kemudian dijadikan lap untuk membersihkan mobilnya. Itulah properti yang digunakan guna menuntaskan sebuah lakon monolog kira-kira 30 menit.

Ketiga, di malam mengenang Ahyar Anwar di gedung kesenian Societeit de Harmonie pada 2 September 2013. Sekitar 10 menit, aksi Asdar memaku ratusan pasang mata  agar awas tidak ketinggalan secuil pun momen. Tak tanggung-tanggung, beberapa eksemplar buku Tuhan Masih Pidato ia bakar sebagai duka.

Sungguh sayang, sebab saya melewatkan pentas memulung kata di perayaan ulang tahunnya ke 50 di area tambak ikan di Ma’rang, Pangkep pada 13 Agustus 2013 dan lakon Perut Bicara pada 16 Mei 2013 di gelaran Art’s  Day 35 tahun Sanggar Merah Putih Makassar. Juga Kabar dari Pelaut di festival sastra kepulauan ke VIII pada 26 Oktober 2014. Hal mana, pentas itu merupakan tanda pamit Si Tambun di dunia kesenian. Dunia di mana ia selalu tampil total.

Jika mendalami jejak pentas Asdar, saya menyimpulkan bila ia pelaku kesenian, khususnya teater, tanpa pandang bulu. Setiap tempat, baginya adalah panggung. Karena ia pun sering bermonolog di Wc rumahnya. Kediamannya sendiri dinamai Rumahku, Panggungku.

Dan kini, di ujung tahun 2014. Hujan mulai mengguyur. Saya yakin, andai Si Tambun masih hidup, tentu di sekuel catatan hariannya Esai Malu yang tak sempat diselesaikannya lagi hingga setahun. Pasti, ia akan menuliskan kebahagiannya bermain hujan.

***
Pangkep-Makassar, 26 November 2014



Komentar

ciripenyakitmu mengatakan…
keren sekali ya bapak itu
kamar-bawah mengatakan…
ciripenyakitmu, iya, ia salah satu seniman di Sulawesi Selatan.

Postingan Populer