Matinya Demokrasi di Sungai Pangkajene

Pangkajene, selain dijadikan nama ibu kota kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), juga menjadi sebutan kecamatan, pasar, dan tentu saja sungai. 

Kata Pangkajene berasal dari dua kata, yaitu Pangkayang berarti cabang dan Je’ne berarti air, dinamai demikian karena daerah ini dulunya merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Barasa, di mana terdapat sungai bercabang yang sekarang dinamai sungai Pangkajene. (M Farid W Makkulau: 2011).

Menurut sejarawan lokal di Pangkep, M Taliu (1997) dikutip dari M Farid W Makkulau, menerangkan bila dahulu terdapat tiga sungai besar yang mengelilingi kampung Marana yang menjadikannya tempat strategis transportasi karena berada di persimpangan sungai tua dari Paccelang, sungai tua Baru-baru dan sungai tua Siang (SengkaE). 

Ketiga sungai tersebut menjadikan kampung Marana ramai karena berada di persimpangan cabang sungai dan menjadi titik perjumpaan, baik untuk menjalin kekerabatan maupun kepentingan dagang. Pedagang yang akan memasarkan hasil bumi biasanya mengadakan perjanjian dengan ucapan: “Anjorengpaki sicini ripangkana je’neka” (kita bertemu di cabang air), yang dimaksudkan, sesungguhnya muara sungai Marana (sekarang sungai Pangkajene).

Begitulah riwayatnya hingga sungai Pangkajene menjadi ruang pertemuan sekaligus gerak ekonomi warga. Tentu bukan hanya perdagangan melulu, tetapi menumbuhkan pula hubungan sosial politik yang menguatkan gerak kebudayaan warga untuk saling menghargai dan menjaga keberadaan sungai agar tetap mengalir. Tegasnya, sungai Pangkajene memberikan ruang untuk saling melakukan gerak kehidupan. Baik yang berada di atasnya maupun yang hidup di dalamnya.

Namun, kesaksian Zainuddin, warga dusun Bucinri kelurahan Mappasaile, kecamatan Pangkajene. Mengungkapkan kalau dirinya sudah 60 tahun tinggal di pinggir sungai Pangkajene, tetapi baru melihat begitu banyak ikan mati dan mengapung di permukaan air.
Lebih lanjut ia menerangkan, sebagaimana dikutip dari Tribun Timur (10/11)/ “Saya takut jangan sampai ada yang semprot racun atau bius ikan Sunu (Kerapu). Tetapi saya dengar dari orang pulau yang datang dari  pasar Pangkajene di atas perahu, berteriak kalau di Mattoanging dan Tumampua juga begitu, padahal ini sudah siang, air laut mulai masuk dan panas.”

Kesaksian warga yang membangun jejak hidup di tepi sungai Pangkajene lebih seabad, tentu menjadi petunjuk tersendiri tentang matinya beragam jenis ikan yang menggemparkan khalayak dan menimbulkan tanya. Mengapa sungai Pangkajene “mual” hingga memuntahkan makhluk hidup yang mencari hidup di dalamnya. 

Sungai Pangkajene yang di era pemerintahan Bupati Andi Baso Amirullah dinamai sungai Citra Mas, sepertinya memberikan tanda kalau ada yang tidak beres dalam kehidupan dunia di dalam sungai kaitannya dengan kehidupan makhluk di darat.

Bukankah sungai ini melintasi 5 kecamatan dan menjadi penggerak ekonomi petani tambak di Bongoro dan Pangkajene yang membutuhkan air guna mengairi empang. Juga menjadi napas bagi sawah para petani di Balocci, Minasatene, dan Tondong Tallasa. 

Jadi, sungai Pangkajene tak hanya menjadi “ibu” yang memberi kehidupan warga di tepi sungai, warga di darat pun menyusu dan menjadi jalan bebas hambatan bagi warga di daerah kepulauan. Nurdin Abu, penyair lokal yang juga kepala sekolah di salah satu SMA di Pangkep, merekamnya dalam puisi bertajuk Di Tepian Sungai Pangkajene: Di tepian sungai pangkajene/Aku berdiri laki-laki paruh baya/Di bawah jembatan dari beton dan baja/Berteriak lantang ke langit tujuh/Untuk menjangkau hulu hati kebenaran/Adakah engkau dengar/Liukang Tupabiring tak punya ikan lagi/Adakah engkau dengar/Biringngere tek bergunung lagi/Adakah engkau dengar/Tabo-tabo tak berpohon lagi/Atau hanya mendengar lagu pembenaran yang tak sanggup mengukir hulu hati kebenaran.

Nurdin Abu, melalui sepotong larik puisinya yang saya kutip di atas, mengingatkan kembali kalau sungai Pangkajene adalah ruang berkomunikasi. Seperti yang telah digambarkan di awal tulisan, sungai Pangkajene telah menjadi saksi tua atas perjalanan hidup warga yang melintas di permukaannya. 

Maka, keheranan Zainuddin segera terjawab atas informasi warga pulau yang datang berbelanja di pasar Pangakajene. Kalau di sepanjang aliran sungai yang dilaluinya, pemandangan tentang ikan mengapung juga terjadi. 

Tetapi, ada yang belum terjawab. Musabab kematian ikan-ikan itu jelas menggelitik untuk segera diketahui. Jika sekadar fenomena alam, sungguhlah klise. Sulit rasanya menerima penjelasan yang demikian. Sebab diketahui, Pangkep juga daerah industri tempat tumbuh suburnya perusahaan. Sebutlah misalnya, PT Semen Tonasa dan puluhan perusahaan tambang marmer yang beroperasi di sejumlah titik di kecamatan Balocci, Bungoro, Minasatene, hingga Ma’rang.

Tantangannya, terletak pada berubahnya perilaku warga, petani tambak menunda mengairi empanngya karena takut ikan peliharaan mereka ikut mati. Lainnya, nelayan kecil merugi akibat berkurangnya pasokan ikan. Ini perlu dijawab oleh semua pihak, khususnya pemangku jabatan di Pangkep. 

Bahwa menjaga keberadaan sungai Pangkajene tidaklah sekadar mengubah nama atau membangun anjungan. Namun perlu menegaskan kalau sungai Pangkajene bukanlah tempat sampah raksasa sebagaimana ketakutan Zainuddin, kalau jangan sampai ada menyemprotkan (membuang) racun. 

Dengan begitu, diharapkan sungai Pangkajene tetap mengalir dalam ingatan kita sebagai wahana kehidupan bagi segala makhluk hidup yang menjadikannya rumah untuk tumbuh. Atau jangan-jangan, mengapungnya biota sungai Pangkajene adalah cerminan demokrasi di Pangkep. Demokrasi yang jauh dari esensi, sehingga yang nampak adalah hal-hal yang tidak berfungsi bagi masyarakat. Sebagaimana ikan-ikan yang mati itu yang jelas tak dapat dikonsumsi lagi.
_




Komentar

Unknown mengatakan…
asyiknya...

Postingan Populer