Tuhan, Pemulung Kata Itu Telah Pergi


Asdar Muis RMS, Badauni P, dan Nur Alim Djalil (Sumber)


“Saya punya cara baru membaca esai, caranya, saya minta kalian menyumbang satu suku kata apa saja yang terlintas di pikiran,” ucap seorang lelaki tambun kepada pengunjung di sebuah warung sop ceker ayam di Pangkep.

 

Semula, beberapa pengunjung keheranan dan mengira lelaki tambun bercelana pendek itu seorang gila sebelum bersedia menyebut satu kata seteleh sebelumnya seorang peserta yang baru saja mengikuti kelas menulis kreatifnya menjelaskan kalau lelaki itu adalah Asdar Muis RMS. “Oh, itu Asdar Muis, ya,” celetuk salah satu pengunjung. “Iya!” Jawab peserta yang turut menemaninya mengasup sop. “Asdar Muis ingin pentas di sini,” terangnya lagi.

 

Asdar Muis RMS bersama M Farid W Makkulau (Sumber)

Lalu, terkumpullah beberapa suku kata, Asdar meminta lagi agar ditetapkan satu judul. Berbekal hasil memulung kata itulah kemudian lelaki tambun yang dikira gila itu mengolahnya ke dalam pembacaan esai di suatu siang di bulan Juni tahun 2012 silam. Tak sampai di situ saja, melanjutkan pembacaan esai itu, Asdar melangkah keluar membiarkan dirinya diguyur hujan bulan Juni. Tersajilah lakon yang tak terlupakan bagi mereka yang menyaksikannya.

 

Memulung kata itu merupakan metode yang tengah ia kembangkan, di sejumlah tempat ia juga praktikkan. Misalnya saja, di acara perayaan ulang tahunnya ke 50 di lokasi tambak ikan di Tala kecamatan Marang, Pangkep tahun 2013 lalu, juga disambut heran mereka yang hadir. “Kok, bisa ya, Asdar lancar menyambung kata-kata itu ke dalam sebuah pembacaan esai.” Ucap seorang kawan yang hadir saat itu.

 

Mengingat Asdar Muis RMS, tentu banyak kesan yang tersimpan bagi mereka yang pernah bergumul maupun yang menonton pentasnya. Di gelaran Art’s Day 35 tahun Sanggar Merah Putih Makassar di gedung Societeit de Harmoni pada 16 Mei 2013. Bersama Komunitas Sapi Berbunyi, sanggar seni yang dibentuknya mementaskan lakon ‘Perut Bicara’. Kritik terhadap kerakusan manusia yang selalu saja merasa tak pernah cukup dan menjadikan perut sebagai perisai, atau alasan untuk menutupi keserakahan itu.

 

Kata, Gambar, dan Panggung

 

Mengingat jejak hidup Asdar Muis RMS, tentu tak bisa dilepaskan dari pergumulan kata, gambar dan panggung. Ketika berkunjung di kediamannya yang dilabeli ‘Rumahku Pangunggku’ ia menujukkan koleksi kamus bahasa Indonesia. “Kata itu selalu berkembang, dan tak sedikit menipu bila tak mengetahui akar pertumbuhannya, seorang penulis tidak boleh menyepelekan kamus,” ucapnya.

 

Asdar Muis RMS mengisahkan sewaktu kecil, dirinya kesulitan dengan bahasa Indonesia. Itulah kemudian mengapa ia menggeluti bahasa dengan intens. Di tahun 2012 melalui Facebook, selain rutin menulis catatan harian tiga sekuel: Malu, Malu Lagi, dan Esai Malu (tak sempat dituntaskan hingga 360 hari). Ia juga melahirkan rubrikasi yang dinamai ‘Sharing’ ruang di mana ia mengeksplor pengertian bahasa. Dari catatan itu, Asdar Muis memberi penyegaran terkait pengertian bahasa yang kadang digunakan namun bertentangan dengan logika sehingga mengaburkan makna. 

 

Asdar juga mengisahkan masa kecilnya yang penuh dengan warna. Di rumahnya, kerap didatangi kalangan seniman yang membawanya mengenal ragam karya seni. Abdurrahman Abu, karibnya, membubuhkan catatan prolog di buku Tuhan Masih Pidato, kumpulan esai Asdar Muis yang terbit tahun 2011. Ia menuturkan kalau tak banyak yang mengenal bila Asdar mahir melukis. Padahal, jejak awal dunia seni Asdar bermula dari lukisan.

 

Beberapa bulan terakhir, Asdar kembali bersetubuh dengan dunia rupa itu. Di beberapa kesempatan, ia terlibat bersama perupa Makassar di sejumlah kegiatan. Termasuk dalam pameran seni rupa rumahan. Sebuah ajang memamerkan karya di rumah. Program ini semacam arisan bagi para perupa untuk menjadikan rumahnya sebagai galeri secara bergantian.

 

Dari persentuhan dengan dunia seni sejak kecil itu pula yang membawanya rantau ke Yogyakarta guna melanjutkan sekolah seni di Asdrafi. Hasilnya, ia menjadi pementas andal di segala lakon. Bagi Asdar, semua tempat adalah panggung dan tak perlu banyak penonton. Di suatu malam ramadan di tahun 2012, di teras rumah Nurdin Abu, seorang karibnya di Pangkep. Ia membacakan puisi berjudul Kucing karya Sutardji Calzoum Bachri.

 

Pernah juga di halaman rumah karibnya yang lain, M Farid W Makkulau, ia tampil membacakan esai di hadapan santri. Bahkan, bila di suatu malam ia tersesat di Pangkep (kelelahan dan tak bisa melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya di Daya). Ia akan menumpang istirahat di teras rumah Badauni Palinrungi, seorang anak muda yang dua tahun terakhir menjadi “tempat sampah” pribadinya. Tetapi, bukan Asdar Muis jika tidak membagi pengetahun, menceritakan pengalaman, atau menampilkan lakon walau di malam buta itu hanya ada mereka berdua.

 

Dari atas panggung pulalah di Minggu malam 26 Oktober. Hari kedua Temu Sastra Kepulauan VIII di benteng Fort Roterdam Makassar. Lelaki tambun pemulung kata itu telah menuntaskan lagi sebuah lakon sebelum beberapa jam kemudian ia benar-benar menuntaskan lakon hidupnya sendiri di dunia.

 

Vera Bahali, salah satu mahasiswanya di UNIFA Makassar bingung menulis tanggal mangkatnya. Apakah masih tertanggal 26 atau sudah beralih ke 27. Dan, di Senin siang usai kumandang azan zuhur. Asdar Muis RMS dimakamkan di tanah kelahirannya di Pangkep,  tepat di samping makam ibunya. Di nisannya tertera tanggal 27 Oktober 2014.

 

Usai pemakaman, sanak dan kerabat dari pelbagai kalangan nampaknya enggan beranjak. Walau tangis masih terdengar, saya melihatnya, suasana mirip ketika sedang menunggu Asdar datang menghampiri guna memulung kata. Ya, Tuhan, yakinkan saya kalau pemulung kata itu telah pergi.


***
Pangkep-Makassar, 28 Oktober 2014 
Dimuat di Tribun Timur, 29 Oktober 2014

Komentar

Postingan Populer