Setelah Inisial Berlalu


Bila kita membaca sari berita mengenai kriminal, biasanya nama pelaku disamarkan dengan menyebut inisial saja. Hal tersebut tentu merupakan asas praduga tak bersalah bila belum ada ketetapan hukum. Itulah kode yang dilakukan dalam lingkaran kerja reserse.

Tetapi, penyingkatan yang demikian bukan hanya satu bentuk dalam disiplin ilmu tertentu. Dalam Fisika, misalnya, kita pun menjumpai simbol yang menunjukkan identitas suatu rumus. Pada dasarnya, kita sebatas akrab dengan hal yang demikian. Kalaupun harus ditambahkan, beberapa nama lembaga negara turut dalam daftar. MPR untuk merujuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, sekadar contoh.

Hal menarik ketika seorang Jenderal menyatakan maju di putaran pemilihan presiden tahun 2004. Dialah Susilo Bambang Yudhoyono yang diakrabi SBY. Terlebih, iklan politiknya di pemilihan presiden tahun 2009 “membajak” aransemen jingle sebuah produk mie instan. Semakin meroketlah inisial itu. Muhidin M Dahlan, penulis novel Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur menuliskan kalau merek “SBY” mampu menghantarkannya mencapai titik karier paling puncak dalam pasar politik Indonesia di dua kali pemilihan presiden langsung.

Itulah merek dagang politik SBY yang tertanam kuat di benak kita. Inisial itu bisa dikatakan selevel bila kita menyingkat Bahan Bakar Minyak, BBM. Tak diragukan bila SBY paham situasi, dalam kampanye politknya di segala medan, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam) ini menolak membawa khalayak ke wilayah rawan yang bisa saja menganggu ingatan. Kita tahu, militer adalah rumah yang membesarkannya, karena itulah SBY sangat berhati-hati kalau saja ia keceplosan mengumbar latar belakang. Tahun 2004, bisa disebut kalau hantu orde baru dan militer masihlah kuat. Dan, SBY tak mau karier politiknya terganggu.

Kini, di pemilu tahun 2014, SBY telah usai. Berhak sebagai Presiden pertama dalam sejarah politik negeri ini yang tak dilengserkan. Inisial SBY menjadi semacam azimat dan tak sedikit yang ingin mencari peruntungan. Beberapa tokoh berupaya menirunya, begitupun di daerah dalam gelanggang pemilihan kepala daerah. Hasilnya, ada yang menuai hasil dan tak sedikit menjumpai sial.

Copy-Paste merek SBY selaku tren terkesan asal saja. Kembali gelitik Gusmuh, sapaan akrab Muhidin M Dahlan, ARB yang membawa kita pada sosok pengusaha sekaligus politikus Abu Rizal Bakrie, adalah salah satu merek politik sial yang berhembus di pemilihan umum 2014.

Hasilnya, setelah tuntutan pasangan Prabowo-Hatta ditolak Mahkamah Konstitusi, semakin kuatlah legalitas terpilihnya Jokowi dan pasangannya, Jusuf Kalla sebagai pemegang mandat rakyat hasil pemilihan langsung.

Joko Widodo, begitulah lengkapnya. Konon, penyematan Jokowi merupakan pemberian pelanggan mebelnya dari Prancis. Saya kira bukan inisial, akronim tepatnya. Semisal kita menyebut “Mubes” untuk menyingkat Musyawarah Besar.

Tetapi bagaimana dengan Jusuf Kalla, sebagaimana SBY, inisial JK sudah tertanam rapi. Jadi, perpaduan akronim dan inisial sepertinya akan menjadi merek politik yang akan melahirkan pengikut baru.

Selanjutnya!

Menjadi wajib bagi sosok yang telah menempuh proses suksesi kepemimpinan itu kemudian agar melangkah ke arah yang nyata dalam menjawab tantangan. Tak berhenti pada menjaga merek dagang politk begitu saja.

Jokowi-JK menjadi tak bernilai bila dalam menjalankan roda kepemimpinan melupakan agenda politik yang telah diutarakannya, hal mana yang menjadi pemantik masyarakat berpadu memilihnya. Lahirnya komposisi relawan secara alami perlu dibaca sebagai laku sosial yang merindukan pemimpin yang mau berbuat lebih.

Impian bersama, setelah enam belas tahun reformasi, hasil pemilu kali inilah yang didamba sebagai jawabnya. Menyatunya visi pemimpin dengan kehendak rakyat. Layak dinanti setelah pasangan ini dilantik dan resmi menjabat.

Karena itulah, kita berhenti pada pikuk Jokowi-JK selaku slogan, masanya telah usai mencari guna menggalang pendukung. Selanjutnya, saya kira kita bukan kerumunan penagih dalam arti sempit. Bila kompor di rumah kita tak dapat menyala, kelirulah bila masalah itu dilimpahkan ke Jokowi-JK. Tetapi, bila dalam tiga ratus enam puluh hari, seratus hari, atau malah sehari, terjadi keputusan yang yang menistakan kemanusiaan kita, maka tepat jika kita menuntut.

Ini pun tak semudah yang dipikirkan, bahwa tantangan yang dihadapi pemimpin yang baru bukanlah warga dalam satu kompleks perumahan dengan seratus kepala keluarga. Ini Indonesia, negara kelautan terbesar di dunia. Rumah bagi ribuan suku yang telah hidup jauh sebelum negara ini dicetuskan.

***
Pangkep-Makassar, 1 September 2014




Komentar

Postingan Populer