Kita dan Filsafat




Shopie Amunsend bingung kala menerima surat berisi pertanyaan: “Siapa kamu? Dan darimana datangnya dunia?”  Jelas saja, gadis berusia empat belas tahun itu tak tahu apa-apa. Tetapi, dalam perjalanan hidupnya, ia terus menerima surat berisi pertanyaan yang mengantarkannya pada jelajah peta pemikiran dunia.

Tokoh rekaan Jostein Gaarder dalam novel Dunia Shopie itu sepertinya mengajak kita meresapi makna filsafat, tepatnya kehadiran cara pandang filosofis dalam menjalani kehidupan. Apa maksudnya, tentulah sebagai dasar dalam memandang dunia.

“Siapa kamu?” adalah pertanyaan paling mendasar dalam filsafat. Sayangnya, filsafat dalam kehidupan yang dijalani tergerus oleh pola pikir singkat yang menyesatkan. Filsafat dipandang sebagai tradisi berfikir baku dan sudah ketinggalan zaman. Itulah letak masalahnya, selain filsafat sebagai ilmu yang tidak praktis.

Tak banyak memang komunitas yang menjadikan filsafat sebagai ajang pemersatu atau berkumpul, yang tumbuh justru menjamurnya komunitas hobi kaitannya dengan kepemilikan benda-benda. Solidaritas sosial menguat di sana, namun tetap saja rapuh dalam memandang.

Kita heran melihat melimpahnya hadiah dalam sebuah program kuis di layar kaca, misalnya. Atau membeludaknya manusia mendaftarkan diri dalam kontes tertentu. Fenomena ini menyembunyikan nomena yang sesungguhnya. Bahwa ada krisis yang sebenarnya perlu diselesaikan di dalam kehidupan masyarakat.

Meminjam istilahnya almahrum Franky Sahilatua, kemisikinan yang tak pernah berujung sejak republik ini berdiri adalah nomena itu. Apa solusi yang marak kita dengar, ialah kekayaan. Sialnya, pemerintah nampaknya sepakat dengan asumsi demikian. Maka, bermunculanlah sejumlah program yang mengandalkan derma bagi kaum fakir.

Tak hanya itu, humor politik yang diperagakan wakil rakyat di DPR bekerjasama dengan sekelompok pengamat politik yang tetap saja seikat mata rantai, beberapa kelompok media massa turut terlibat sebagai corong dalam mengabarkan kalau demokrasi yang selama ini berjalan tidak sesuai Pancasila. Legalitasnya, perlu merevisi undang-undang yang mengatur tata cara pemilihan kepala daerah.

Hal itu merupakan juga suatu kritik karena memiliki dasar berupa bukti banyaknya perilaku koruptif, politik uang, dan lahirnya dinasti. Hanya saja, corak berfikir demikian hanyalah tambal sulam, karena tidak menyelesaikan akar masalah. Sebab pemilihan kepala daerah melalui dewan perwakilan bukanlah obat mujarab.

Cara pandang tambal sulam inilah yang banyak melahirkan fenomena di masyarakat. Tak memiliki akar filosofis yang kuat. Sebenarnya ada agama yang bisa dijadikan kamus dalam memaknai hidup. Tetapi, terkadang akal dikesampingkan, seolah tak diperlukan lagi dalam mengeja kitab suci yang menjadi basis utama legalitasnya.

Pertanyaannya, sudah cukupkah doa sebagai solusi atas masalah yang dihadapi. Kembali melalui layar kaca, kita disuguhkan saripati arti kehidupan oleh seorang dilabeli ustaz yang kadang menangis atau membuat kita tertawa dengan ungkapan fenomena. Dan, tak lama berselang melalui saluran yang sama, tragedi sosial tetap saja berlanjut.

Mengapa bisa terjadi, agama seolah kehilangan pesona dalam memberikan penjelasan dan sebatas berkutat pada diri manusia yang disebut tidak “beragama” karena tetap menjalankan perilaku dosa.

Saya kira, disitulah diperlukan penjelasan filsafat dalam memaknai hidup. Filsafat bukan lawan agama, melainkan kawan yang bisa saling melengkapi. Filsafat dibutuhkan sebagai peta berfikir logis dalam membaca agama.

Peran Filsafat

Dalam Simposium Internasional Filsafat Indonesia yang diketuai Jaya Suprana, berlangsung di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (Kompas, 20/9). Salah satu pembicara, Franz Magnis Suseno, Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, mengungkapkan kalau abad 21 penuh tantangan intelektual. Agama yang mengambil penjelas makna hidup, pengetahuan menangani ilmu khusus, dan program politik menjadi ranah ideologi. Di antara hal tersebut tidak terwadahi kehadiran pemaknaan kritis. Di situlah filsafat menjalankan perannya.

Terkait filsuf sendiri, kita lebih banyak mengadopsi dari luar. Masih di forum yang sama, Toeti Heraty Noerhadi Rooseno, mengingatkan kalau bangsa ini juga melahirkan pemikir. Presses Universitaires de France di tahun 1984 menerbitkan ensiklopedia filsuf yang di dalamnya memuat 15 filsuf asal Indonesia. Yakni, Agus Salim, Sutan Takdir Alisjahbana, Diryarkara, Hamka, Seomantri Hardjoprakoso, Ki Hajar Dewantara, Mangkunegara IV, Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Muhammad Natsir, Pakubuwana IV, Ranggowarsito, Soekarno, Notonagoro, dan Yasadipura.

Guru Besar Universitas Indonesia itu juga menceritakan kalau dirinya pernah diminta oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA) untuk mengusulkan dua nama yang terlupakan, Tan Malaka dan Hamzah Fansuri yang rupanya perlu 50 tahun lagi guna melakukan revisi.

Miris, di tahun 2009 ketika terbit ensiklopedia terbaru. Semua nama filsfuf asal Indonesia hilang. Dugaannya, korespondensi STA tidak direspons universitas nasional. Artinya, jika di tingkat sekolah tinggi saja filsafat diabaikan, maka lupakanlah anak-anak berusia empat belas tahun seperti Shopie Amunsend, di negeri ini menginjak jenjang SMP untuk mengenal filsafat.

Di beberapa universitas memang masih ada jurusan filsafat, tetapi itu tak lebih takdir buruk saja yang coba dipertahankan. Faktanya, lulusannya terasing sendiri karena tak memiliki lapangan pekerjaan. Nampaknya memang, kita tidak sedang berfilsafat, melainkan sekadar berargumentasi saja.

***
Pangkep-Makassar, 23 September 2014



Komentar

Postingan Populer