Membincang Sastra dan Politik Dalam Benteng




 
Dari kiri: Aan Mansyur, Eka Kurniawan, Linda Christanty
Area parkir benteng Roterdam lengang, hanya ada beberapa sepeda motor berjejer, siang itu (5/6), hari kedua pelaksanaan Makassar International Writers Festival (MIWF) di tahun keempat kehadirannya selaku program temu penulis dari dalam dan luar negeri pertama di Makassar persembahan Rumah Budaya Rumata.

Di tahun ini, sebagian besar program MIWF dipusatkan di benteng Roterdam. Sungguh berbeda dengan program tiga tahun sebelumnya. Untuk pertamakalinya pula, Eka Kurniawan dan Linda Christanty hadir. Kedua penulis ini bahkan dilibatkan dalam satu program, Sastra dan Politik.

Sepertinya pas dengan momen yang sedang menghangat, proses pemilihan kepala negara. “Dua orang ini, Eka dan Linda, merupakan orang yang tepat untuk mengupas kaitan sastra dan politik,” ujar Aan Mansyur, penyair yang memandu jalannya dialog. “Maksudnya, supaya saya ini mengungkapkan pilihan politik untuk Pilpres, begitu!” Balas Linda yang disambut tawa oleh hadirin.

Eka dan Linda, keduanya dikenal sebagai penulis prosa dan esai. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, adalah novel gres dari Eka, sedangkan Linda terakhir menerbitkan kumpulan cerpen terbarunya, Seekor Anjing Mati di Bala Murghab. Secara bergantian, keduanya memberikan pengantar guna mendalami perspektif sastra dalam membaca gerak politik.

Eka memilih berfilosofis, maklum, latar pendidikannya di Universitas Gajah Mada memangfakultas filsafat. Ia mengungkapkan kalau politik adalah petak jalan bagi manusia untuk menetapkan pilihan. Karena itu, perlu membaca manusia yang berpolitik sebagai imbas dari kesadarannya. Manusia sebagai warga di sebuah negara, akan menghadapi kekuasaan. Sadar maupun tidak, warga itu telah mengalami penguasaan atas dirinya. Itulah sebabnya, konflik yang seringkali terjadi di tengah masyarakat mengantar seorang individu kadang melupakan keberadaan negara yang seharusnya menjadi ruang untuk mencari perlindungan. Tetapi nyatanya, seorang individu menjalani sendiri konflik itu. “Bahkan, setiap orang menjadi korban dari rezim yang tidak dipahaminya sendiri,” terangnya.

Lantas, apa dan di mana peran sastrawan dalam politik. Menjawab itu, Eka mengajukan kritik, penulis di Indonesia sepertinya terjebak pada laku reaksioner. “Rasanya tidak sreg bila hari ini terjadi gempa, misalnya, dan esoknya tidak menerbitkan antologi puisi merespons kejadian itu, kapan berpikirnya, ya?” Pungkasnya.

Secara tersirat, lelaki berkacamata ini menggelitik kesadaran pembaca sekaligus para penulis. Eka mengambil contoh menyangkut tokoh atau kader PKI yang selalu ditempatkan selaku korban. Baginya, itu sama halnya merendahkan pilihan hidup mereka. Menganut paham politik tentulah sudah menaksir sebab akibat yang bakal menimpa. Di wilayah itulah perlu dibedakan antara orang yang dibunuh itu dilihat korban semata ataukah mereka martir dalam mempertahankan paham politiknya.

Sastra selaku produk berfikir, barang tentu tak bisa mengubah perilaku individu atau masyarakat dalam waktu singkat. Membutuhkan ruang terus menerus agar sastra menjadi suluh dalam mengubah pola pikir suatu kaum. Tetapi, sastra tak bisa juga dipandang sebagai produk tanpa ayah dan ibu. Linda mengungkapkan bila ada produk sastra yang memiliki pretensi tertentu terhadap suatu golongan. Ini sebutan lain untuk menunjukkan adanya produk sastra pesanan. Novel 1984 karya Goerge Orwell bisa diajukan sebagai contoh yang didalamnya menelanjangi tata kelola pemerintahan oleh kaum komunis yang otoriter.

Lebih lanjut, perempuan berkacamata yang turut terlibat dalam pembentukan Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini menyebutkan peran Congress for Cultural Freedom (CCF), lembaga kebudayaan yang disokong Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat. Tujuanya, menjaring penulis dari seluruh dunia untuk menggerakkan wacana antikomunis. Jadi, jelaslah bahwa sastra bisa menjadi alat legitimasi politik.

Walau sastra merupakan fiksi belaka, namun, di rezim otoriter tetap dikenai sensor. Ia menceritakan beberapa cerpennya gagal muat di salah satu media nasional karena menceritakan kekerasan yang dijalankan sebuah rezim. Konteks cerpennya itu bertolak pada realitas kekerasan yang dialami sejumlah aktivis di tahun 1997-1998. Lewat cerpen itu, ia menceritakan pencarian seorang ibu yang kehilangan anaknya yang rupanya telah dipenjara.

Sedangkan kaitannya dengan perubahan sosial politik, Linda mengungkapkan pengalamannya, salah satu cerpennya yang menceritakan situasi konflik di Kalimantan, rupanya mendapat respons dari masyarakat di sana. Melalui cerita itu, masyarakat menjadi sadar bahwa ada pihak dari luar yang menjadi provokator atas rusuh sosial. Padahal, ungkap Linda, itu hanya khayalannya saja. Pengakuannya itu sontak disambut tawa.

Di sepanjang sesi dialog, Linda memang lebih banyak memancing tawa dengan menceritakan ragam pengalamannya ketika meliput dan melakukan penelitian di Aceh. Sungguh rasa humor ala para komik di Stand Up Comedy. Dari persentuhan itulah, Linda melakukan pemilahan bahan untuk melahirkan esai dan cerpen yang mengantar kita pada gugahan kesadaran. Bahwa politik itu dekat dan dilakukan setiap hari. “Seorang ibu yang mengeluhkan naiknya harga sembako, misalnya, itu merupakan juga ekspresi politik,” tuturnya.


***
Catatan ini dimuat juga Makassar Nol Kilometer
Pangkep-Makassar, 6 Juni 2014

Komentar

Postingan Populer