Sekolah Itu Tidak Mendidik




“Nenekku, ingin aku memperoleh pendidikan, karena itu ia melarangku sekolah.” Tak berlebihan saya kira jika antropolog asal Amerika Serikat, Margaret Mead mengatakan demikian, ungkapan ini sepertinya lelucon yang pas jika kita menelaah kerja sekolah.

Ketika seorang anak didaftarkan namanya pertama kali di sekolah, maka sejak itu pula pola pikir anak tercerabut dari lingkungannya. Pengetahuan berucap atau menyebut sesuatu tentu beda dengan anak seusianya yang tidak (sempat) bersekolah.

Hal pertama yang dapat dijadikan bahan rujukan, ialah mengingat muatan kurikulum di Indonesia yang masih terpusat, meski sejauh ini pemenuhan buku mata pelajaran sudah beragam. Tetapi, itu tentu harus mengacu pada koridor yang telah ditetapkan yang merujuk pada regulasi pendidikan (UU Sisdiknas). Maka, secara struktural wacana bergantung pada siapa yang berkuasa sehingga perombakan mendasar dalam kurikulum masih jauh untuk mencapai orientasi pendidikan yang demokratis.

Hal ini bisa dilihat pada anak usia sekolah dasar yang pertama kali diperkenalkan huruf dan angka. Lalu pengajaran membaca yang sudah pasti monoton karena pengenalan obyek yang tidak sesuai dengan apa yang disaksikan siswa setelah pulang sekolah. Ini yang dimaksudkan dengan tercerabut dari lingkungan. Begitupun dengan angka yang langsung saja ditambahkan, dikali, dikurang, dan dibagi dalam melihat hasil akhir. Sama sekali membosankan, karena metode seperti itu hingga kini masih bertahan.

Perubahan kurikulum atau tepatnya perubahan nama kurikulum sejak 1974 hingga sekarang tidak dibarengi evaluasi dan kreativitas para guru, sehingga metode yang diterapkan belum berubah. Pada akhirnya tidak menyadari kalau sedang berlangsung hegemonisasi yang begitu harmonis dari kurikulum yang tak terpahami, bahwa apa yang ada di balik wajah kurikulum yang diterapkan sama sekali tidak pernah dicurigai terkait motif terselubung yang menjalar ke benak para siswa.

Semuanya dianggap biasa-biasa saja seiring perjalanan waktu. Manusia itu lahir, belajar (sekolah), bekerja, lalu mati. Realitas inilah yang menghinggapi impian lulusan sekolah dalam meraih masa depan dari kompensasi selambar kertas yang disebut  ijazah.

Pembungkaman daya nalar yang sejak awal sudah dilakukan terhitung sejak sekolah dasar hingga ke tingkat universitas yang kemudian melahirkan manusia-manusia penurut. Karena ingatan telah dikotakkan dan tersimpan dalam sebuah lingkaran. Jika terdengar suara menggugat, itu tak lebih sebagai guyonan belaka. Hal itu terjadi oleh sebab ingatan manusia cenderung mengikuti pola dasar yang sudah diketahui sejak awal.

Selanjutnya akan berhadapan dengan kegamangan dunia baru, kalau dunia sekolah berbeda dengan dunia lingkungan hidup sehari-hari. Padahal, pada mulanya sekolah dimaksudkan untuk membantu permasalahan yang dihadapi di dunia sekitar (kenyataan) bukannya malah menambah masalah baru atau menjadi masalah itu sendiri.

Relasi

Melihat apa yang ada di dalam keterkaitan suatu hubungan antar manusia, tentulah tak lepas dari adanya saling ketergantungan untuk tetap ada. Pada wilayah inilah sering terjadi penguasaan (dominasi) tehadap sesuatu yang berimplikasi langsung pada kehidupan. Atau masing-masing memiliki kepentingan terselubung untuk melanggengkan dominasi.

Sejarah umat manusia memang diwarnai dengan penunggangan oleh manusia terhadap manusia lainnya, termasuk dalam hal pengetahuan. Bahwa pada hakikatnya, manusia sama secara materi dari manusia lainnya. Ilmulah yang membedakan atas kelakuannya tanpa menyempitkan makna pendidikan. Seharusnya institusi pendidikan berperan dalam membebaskan dominasi pikiran terhadap manusia agar tak lagi menjalankan segala bentuk penunggangan yang teraktualkan dalam kekerasan fisik maupun psikis.

Dalam sebuah pelaksanaan atas jalannya dominasi bisa terjadi pada semua lini kehidupan, tak terkecuali dalam sekolah. Mulai dari seperangkat peraturan yang menguasai, sehingga sekolah menjadi tempat yang menakutkan dan tak menghargai kebebasan berfikir siswa karena tak sesuai dengan kurikulum. Ditambah keangkuhan guru yang mendominasi semua pengetahuan dan siswa terjebak sebagai bejana kosong yang harus selalu diisi.

Setitik realitas inilah yang terjadi dalam dunia pendidikan. Keberlangsungan dominasi antara guru dan murid masing-masing telah menerima hegemoni yang diakui sebagai sikap profesionalisme bagi sang guru dan sikap teladan bagi siswa. Parahnya kemudian penyebutan profesionalisme dan siswa teladan’ lebih diterima dibanding hakikat pendidikan itu sendiri yang mana sebagai proses menuju pemanusiaan terhadap manusia (Paulo Freire: 2002).

Harmonisasi hubungan guru dan siswa seperti ini secara tak langsung telah menghambat segala kreatifitas siswa dan bagi guru itu sendiri. Penyakit ini mungkin sebagian kecil yang dapat terdeteksi dalam tubuh pendidikan. Di mana secara spesifik guru tak mampu berbuat banyak untuk menjalankan kreatifitasnya, karena profesi yang diembannya juga terjebak dalam dominasi kekuasaan (aturan) dan akhirnya berimbas pada keberlangsungan hegemoni dan pengingkaran hakikat kemanusiaan antara guru dan siswa. 

Kegelisahan ini sebenarnya, sudah lama dikeluhkan Ivan Illich (1926-2002), sekolah telah menjelma sebagai ruang yang sempit dan menyepelekan segala aktivitas manusia yang sebenarnya inti dari pendidikan.

Teriakan purba Fide Castro, eks pemimpin Kuba, mengatakan, segala gerak manusia, itu merupakan tindakan pendidikan. Semangat inilah yang hilang di sekolah. Dan, itulah makanya Ivan Illich memproklamirkan agar masyarakat dibebaskan dari sekolah semacam ini karena memang tidak mendidik.
***
Makassar, 2 Mei 2013

Komentar

Postingan Populer