Aktivis yang Berfikir

Mansour Fakih

Mansour Fakih, saya kira kita pernah berjumpa di awal tahun 2003 di rumah Insist di Yogyakarta. Dua malam saya menginap di Pendopo yang kau bangun itu guna menanti jadwal kosong dari jelajah di berbagai daerah di Indonesia.

Berbekal sebuah buku yang Anda tulis, itulah alasan untuk bertemu kala itu. Sekolah saya tinggalkan meski ujian akhir sudah hampir digelar, saya ingin sekali bertanya langsung perihal globalisasi. Anda menyebutnya sebagai bentuk sesat pikir yang sedang menjangkiti dunia ketiga.

Sampai hari ini memang, nama Anda masihlah samar bagi sebagian aktivis LSM, karena sebagian besar lembaga pemberdayaan yang sedang tumbuh masih rabun baca. Ya, nama Mansour Fakih adalah sosok yang samar, sama samarnya dengan kolega Anda, Roem Topatimasang. Nama Anda hanya hidup di sebagian kecil orang-orang yang selalu gelisah dengan globalisasi, pasar bebas, dan ekspansi revolusi hijau.

Salah satu daerah di tanah kelahiran saya, di desa Tompo Bulu. Telah bersemi komunitas masyarakat yang menolak praktik revolusi hijau. Saya kira, pendampingan yang dilakukan oleh orang-orang yang menembus jalan terjal ke sana. Adalah orang-orang yang tercerahkan dengan pemikiran Anda.

Bahwa untuk melawan kebudayaan bisu, tak cukup dengan mengahafal mantra-mantra pendidikan kritis ala Paulo Freire. Butuh tindakan yang jelas sebagaimana yang Paulo Freire lakukan sendiri.

Sejak Anda terlibat dalam penterjemahan karya penting Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Gerakan pendidikan kritis di negeri ini perlahan tumbuh satu-satu di sejumlah daerah. Anda yang mencapai gelar akademik tertinggi di Universitas, serta merta bukan pencapaian yang mengharuskan Anda berbicara tanpa beban di ruang kelas. Mahasiswa Anda tersebar di mana-mana, mereka tak perlu mendaftar di perguruan tinggi bila harus mengikuti perkuliahan. Karena Anda, akan datang sendiri menghampiri mereka atau sebaliknya.

Di negeri ini memang berjubel Doktor, tetapi sekaligus membuat jarak yang sangat jauh dari masyarakat. Mereka terkadang menjadi prisai bagi program-program negara Utara yang ingin menjadikan negara ini sebagai laboratoirum.

Sehingga, kita baru marah jika dampak globalisasi, revolusi hijau, dan paham pembangunanisme perlahan menguak.

Delapan tahun sudah Anda berkalang tanah. Tetapi pesan Anda agar kita tidak terjebak pada pola pikir sesat akan terus tumbuh. Globalisasi, revolusi hijau, dan pembangunanisme. Adalah anak-anak dari neo liberalisme yang mesti dilawan.

***
Makassar, 21 November 2012
Catatan:
Mansour Fakih, penulis buku Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi



Komentar

Postingan Populer