Sesama Setan Perlu Saling Memandu



“Kami gagal melepaskan terobosan akhir. Itu yang mengecewakan. Kami tak bisa melakukan itu di sepertiga akhir lapangan, tetapi saya tak menyesali permainan kami karena kami mampu menguasai bola dengan sangat baik,”

Kalimat di atas diucapkan David Moyes usai Manchester United (MU) ditekuk Everton 2-0 dilanjutan Premier League pada 20 April 2014. Rupanya, itulah laga terakhir pelatih berkebangsaan Skotlandia itu menukangi Setan Merah, julukan MU. Sungguh ironi, karena Moyes sebelumnya mengarsiteki Everton selama sebelas tahun sebelum berpindah rumah di Old Trafford yang tentu tak bisa dilepaskan dari tangan pelatih sebelumnya, Alex Ferguson.

Di tangan Moyes, Setan Merah tak lagi menjadi setan, sepertinya sulit mengamini kalau klub ini merupakan salah satu yang disegani di kolong langit. Setelah terdepak di liga Champion dan dipastikan tahun depan tak bisa berpartisipasi, yang artinya tak masuk dalam big four di tangga klasemen. Menyedihkan sekali untuk klub yang tak pernah absen melahirkan pemain bintang.

Sebenarnya apa yang keliru dengan Moyes, apakah ada perbedaan infrastruktur pemain sebagaimana sebelumnya ketika Ferguson masih selaku dalang. Jelas tidak ada, Van Versi masih mengenakan nomor 20 dan Wayne Rooney sempat membuat gol spektakuler dari tengah lapangan saat MU berjumpa West Ham United di Stadion Boleyn Ground. Jadi, pada siapa disandangkan kekeliriuan ini, tidak ada jalan lain selain menunjuk hidung David Moyes. Itulah risiko ketika suatu klub seolah menggali kuburnya sendiri. Dan, Moyes menerima semuanya.

Setelahnya, Ryan Giggs, pemain paling senior di tim didapuk selaku pengganti sementara hingga akhir musim. Langkah ini sebentuk tamparan bagi manajemen klub sendiri agar tak lagi mengulangi dosa yang sama. Penunjukan Moyes boleh disebut demikian, meski merupakan salah satu pelatih yang dihormati di dataran Inggris, keterpurukan Setan Merah tahun ini adalah yang terkelam dalam sejarah klub.

Lalu, mengapa Giggs, bukankah ia masih pemain aktif. Mengapa bukan legenda MU seperti Garry Nevile, Eric Cantona, atau David Beckham, misalnya. Hal ini tentu bukanlah penetapan seenak perut atau berdasar selera apalagi kedekatan emosional manajemen klub dengan pemain asal Wales itu. Pasti ada perhitungan tersendiri dan target tertentu yang hendak dicapai.

Sebagai bagian dari sejarah MU, Giggs bukannya tanpa keraguan. Selain masih pemain aktif, ia masih miskin jam terbang dalam mengarsiteki sebuah tim. Walau kemudian ada beberapa pemain seangkatannya ditunjuk untuk menemaninya. Menuntaskan sisa peperangan musim ini, sengitnya tetaplah sama. Premier League bukanlah Bundesliga yang hanya menjadi panggung tunggal Bayern Munchen. Atau Seri A Italia, di mana para pemain lebih senang menari ketimbang segera memasukkan bola ke mulut gawang. Juga bukan La Liga yang hanya membagi gelar untuk dua klub, Real Madrid dan Barcelona. Dan, jelas bukan Liga Indonesia, di mana suporter terkadang lebih disorot kamera ketimbang laga pertandingannya.

Lalu lintas pertandingan di Premier League teramat padat. Kadang, sulit membedakan yang mana truk dengan sedan. Lihatlah, bagaimana kiprah Arsenal di awal musim. Keberadaan Mesut Ozil disebut-sebut sebagai jawaban doa yang tertunda Arsene Wenger dan fans menanti sebuah gelar. Namun, sekali lagi. Lengah sedikit mobil Anda disalip jika tidak dijungkirkan di tepi jalan.

Moyes, misalnya, dengan angkuh telah menyingkirkan beberapa asisten Ferguson dan mencoba menerapkan jalan baru. Ijtihadnya ini sungguh berani dan saya kira perlu diapresiasi jika itu ditempatkan sebagai orang yang mencoba menghindar dari bayang pelatih sebelumnya. Hanya, manajemen klub terlalu rapuh untuk menerima sebuah gebrakan dan menolak menunggu untuk sebuah cetak baru sejarah klub.

Penunjukkan Giggs adalah buktinya, di antara generasi emas Setan Merah atau yang biasa disebut Class of ‘92, pemain bernomor punggung sebelas inilah anak emas Ferguson. Ia bukan Beckham atau Cristiano Ronaldo, dua pemain yang “diusir” oleh Fergie. Dengan kata lain, Giggs merupakan reinkarnasi pelatih kharismatik itu, walau pelabelan ini masihlah terlalu dini. Tegasnya, “setan” memang perlu dipandu sesama “setan”.

Penulis, Zen Rahmat Sugito, dalam ulasannya menegaskan seperti ini: Dengan cara berpikir ini, bagi Giggs agaknya sudah jelas: sejarah United bisa dipilah menjadi dua bagian besar yaitu "Before Fergie" dan "After Fergie" mirip seperti Eropa menyusun sejarah dunia menjadi "Sebelum (kelahiran) Masehi" dan "Sesudah (kelahiran) Masehi.

Artinya, Giggs didaulat sebagai duta guna mengembalikan kejayaan Setan Merah. Itu sah, saya kira. Sebab, Giggs legenda hidup dari kedigdayaan itu. Ia salah satu “setan” yang menakuti setiap pemain yang mencoba mementaskan satu lakon di teater impian. Tuahnya ini kembali ia buktikan kala MU melumat Olympiakos 3-0 di perdelapan final piala Champion. Giggs menjelma “setan” yang memerah guna mengembalikan keadaan setelah sebelumnya MU dikalahkan 2-0 di Yunani.

Bila gaweannya era Fergie, maka tepatlah Giggs di posisi itu. Tetapi perlu ada pengecualian terhadap racikan. Namun, sudahlah, MU telah melantik Fergie selaku sejarah besar perjalanan klub atau masa lalu yang gemilang itu di mana Giggs terlibat di dalamnya. Ini sinonim dengan pendekatan sejarah antikuarian yang diperkenalkan Friedrich Nietzche, filsuf yang terkenal dengan adigium God Is Dead.

Jadi, manajemen klub menginginkan ada kesinambungan dari masa lalu. Era ketika klub tak tersaingi dalam perburuan gelar. Trible winner di tahun 1999, adalah sedikit bukti. Fatalnya, doktrin sejarah yang demikian menolak adanya negasi. Nilai dasar perjuangannya selalu ingin menang dengan mengacuh pada asbabun nuzul sebelumnya. Tidak salah memang, hanya, bisakah dan adakah perjalanan sebuah peradaban yang tidak pernah mengalami pasang surut.

Sepak bola, misalnya, penyematan kepahlawanan apakah melulu gelar dan melupakan suatu fondasi. Katakanlah itu jiwa, dan tempatkanlah trofi itu pada tempatnya sebagai benda mati yang hanya bisa diraih dengan jiwa itu tadi.

Saya teringat legenda Belanda, Johan Cruyff. Tiki-taka yang menjadi jiwa Barcelona di tangan Pep Guardiola dan sekarang di FC Hollywood, julukan Bayern Munchen. Spanyol di balik kejeniusan Luis Aragones dan sekarang Vicente del Bosque. Tak perlu saya sebut kemegahan trofi yang telah direngkuh. Saya ingin mengatakan, peletak dasar jiwa itu berutang budi pada Cruyff, eks pemain dan pelatih tim Catalan yang mempopulerkan total football yang merujuk pada Rinus Michels, pelatih Ajax Amsterdam di dekade 1960. Jiwa inilah yang menjadi ibu kandung tiki-taka itu.

Ironisnya, Belanda di era Cruyff hanya runner up piala dunia tahun 1974. Lantas, apakah di pundak Cruyff tidak disematkan bintang kehormatan selaku hero di negaranya. Jangan keliru, ia masihlah “nabi” untuk urusan jiwa sepak bola.

***
Makassar, 26 April 2014



Komentar

Postingan Populer