Menguasai Itu Candu


  
Tidak ada yang meragukan kehebatan Belanda di piala dunia tahun 1974, hanya Swedia yang mampu mengimbanginya dengan skor 1-1 di fase pertama. Selanjutnya melumat Argentina 4-0, Brasil 2-0, dan Jerman Timur 2-0 di putaran kedua. Sebelum takluk di partai puncak oleh tuan rumah, Jerman Barat berkat gol kedua yang dilesakkan Gerd Muller setelah sebelumnya kedudukan imbang 1-1.

Belanda belum selesai, empat tahun kemudian, skuat Oranye kembali menembus final. Dan, sejarah berulang, tim ini harus mengakui keunggulan tuan rumah dengan skor 3-1 untuk Argentina. Walau begitu, sebagian penikmat bola menganggap Tim Oranyelah sebagai pemenang, tanpa trofi tentunya. Mengapa, era itu puncak karier dari seorang Johann Cruyff dan penemuan terpenting dalam taktik sepak bola yang dikenal dengan total football.

Sejak kekalahan beruntun di dua final, narasi mitos untuk negeri kincir angin itu mulai berlaku. Terulang 34 tahun kemudian kala Spanyol menghentikannya dengan skor tipis 1-0. Praktis, sepak bola menyerang ala Belanda sejauh ini hanya mampu merengkuh piala Eropa tahun 1988.

Padahal, final piala dunia 2010 bukankah perjumpaan ibu dan anak atau guru dan murid. Tiki taka yang diperagakan Spanyol memiliki akar yang kuat dari praktik total football. Sayang, Belanda kehilangan roh, keindahan sepak bola sempurnah dipentaskan dari punggawa dua klub yang “bermusuhan” di La Liga, Real Madrid dan Barcelona.

Tetapi, sepak bola tak sekadar kecerdikan seorang pemain, taktik jitu sang pelatih, perlu sesuatu yang absurd, dan itu berupa keberuntungan sebagai nyawa tambahan. Michael Ballack, eks pemain timnas Jerman mengakuinya, begitupun dengan beberapa pemain. Pertemuan Atletico Madrid dan Barcelona di perdelapan final liga Champion adalah salah satu contohnya. Hitunglah berapa momen pergerakan pasukan Catalan mengepung benteng tim asuhan Dieoge Simoene.

Dan kini, Pep Guardiola, pelatih tersukses dalam sejarah Barcelona itu mencoba memindahkan teori penguasaannya pada tim dalam kultur sepak bola yang tidak pandai menari, Bayern Munchen, klub yang paling banyak memasok pemain ke tim nasional Jerman. Pada akhirnya perlu berhenti, boleh saja melakukan invasi ke daerah lawan dan melakukan penguasaan di sana selama mungkin. Ini serupa candu yang meninabobokan dan melupakan tujuan akhir yang ingin dicapai. “Sepak bola itu serupa seks, perlu ada klimaks,” kata Frank Leboeuf, eks pemain timnas Prancis.

Dua pertandingan yang dilakoni Los Blancos dengan FC Hollywood, masing-masing menegaskan ideologinya. Meski kita tahu,  Xabi Alonso dan Sergio Ramos adalah bagian dari tiki taka di tim Matador, Di Maria adalah penari Tango dan Cristiano Ronaldo punya modal cukup bila Carlo Ancelotti hendak meladeni pertarungan terbuka prajurit Pep. Tetapi, “Taktik kadang tak dibutuhkan untuk memenangkan perjudian,” kurang lebih ucap Don Carlo, sapaan Ancelotti.

Gol kedua yang dilesakkan Ronaldo, mengingatkan ketika pemain bernomor punggung tujuh itu menghancurkan Swedia di Play Off menuju piala dunia. Bermula ketika Di Maria memperoleh bola setelah serangan Munchen dimentahkan, dengan sepakan melambung, bola menghampiri Benzema kemudian diteruskan ke Gareth Bale yang dibawanya berlari, mengamankannya sebentar dari intaian Jerome Boateng sebelum mengumpannya ke CR7 yang berdiri tanpa kawalan.

Lalu di mana bek kanan terbaik Jerman itu, Philipp Lahm, bukankah ia telah dikembalikan ke posisi awalnya, Pep memang selalu merombak posisi, di beberapa pertandingan, Lahm didaulat selaku gelandang bertahan dan memarkir Javie Martinez yang menjadi jangkar dalam menjaga keseimbangan tim di era Jupp Heynckes guna merebut trible winner musim lalu. Hal yang sama dilakukan Pep di Barcelona, memaksa Mascherano mendampingi Pique di pintu gerbang pertahanan.

Saya kira, Pep bukanlah orang yang melupakan sejarah, ia paham dengan kutukan dan mitos. Sejak kejuaraan antar klub kasta tertinggi di benua Eropa ini dinamai Liga Champion, tak sekalipun dalam sejarahnya ada klub yang menjadi juara dua kali beruntun.

Mengacu pada pemaknaan mitos menurut Roland Barthes, pemikir asal Prancis. Hal ini menyangkut pergulatan manusia itu sendiri dengan produk yang diciptakan. Misalnya, saja, pohon beringin itu rindang, dalam perjalanannya asosiasi itu saja tidak cukup. Beringin tak hanya rindang, melainkan ada aura keangkeran yang melekat padanya. Begitulah mitos bekerja dalam pola pikir manusia.

Pep, sepertinya ingin mendobrak semua itu. Jika mau, ia bisa saja melajutkan kontrak di Barca atau memilih klub yang lain. Jiwa pemberontakannya ditunjukkan dengan menandatangani kontrak di Munchen. Dugaan pun menyeruak, apa yang hendak dibuktikan di sana, klub itu baru saja mencatatkan rekornya sebagai tim Jerman pertama merengkuh tiga gelar dalam semusim.

Pertaruhannya memang di level antar klub Eropa dan bukan di Bundesliga, sebab di sana, sejak dulu Munchen adalah aktor tunggal. Kekalahan telak 4-0 di Allianz Arena, merupakan percikan air untuk membangunkan Pep, bahwa panser itu adalah mesin yang bekerja sesuai format yang telah ditetapkan. Mobil tempur itu tak bisa dipakai balapan menguasai arena. Jika sasarannya sudah jelas, segeralah lontarkan peluru.

Begitulah cara Jerman mengalahkan Belanda di final piala dunia tahun 1974. Berbicara Tim Panser, sulit memisahkannya dari Bayern Munchen, karena semua pemain yang pernah menjadi tulang punggungnya dalam sejarah, semuanya menempuh pendidikan di klub itu. Franz Beckenbauer, Gerd Muller, Lothar Matthäus, hanyalah tiga nama dari beberapa yang tak bisa dihapus untuk menautkannya.

***

Makassar, 30 April 2014




Komentar

Postingan Populer