Menggilai Buku Tidak Segitunya Juga

Tidak ada yang meragukan kalau penyair Chairil Anwar pernah mencuri buku, kisah itu dituturkan sejawatnya, Asrul Sani. Kala itu, kedua penyair ini tengah berada di toko buku dan berniat membawa kabur Zarahustra karya Nietsche. Namun, penggubah sajak Aku itu keliru mengambil buku.

Di laman blog cerpenis, AS Laksana, juga ada kisah ketika Chairil belajar mencuri buku dari Muhammad Yamin. Ia mengundang sastrawan sekaligus pahlawan nasional itu ke rumahnya dan menyiapkan sebuah buku di atas meja kemudian berpura-pura mengacuhkan gelagatnya. Begitulah, kedua penggila buku itu berinteraksi. Tuan rumah merelakan satu bukunya raib untuk sebuah ilmu. cara mencuri buku dari maestro. Ini pengakuan Chairil pada Nursjamsu, seorang kawan kentalnya yang dimuat di majalah Sarinah edisi Mei 1986.

Pada batas di atas, saya kira wajar-wajar saja. Saya pernah berbuat sama, sering malah, terjadi bila dorongan untuk membaca tak tertahan dan saku sungguh sepi. Tak hanya di toko buku, koleksi perpustakaan pun sering kuselipkan di tempat rahasia di tubuh. Saya punya alasan rasional yang mungkin disepakati. Kasihan, buku-buku itu sepi pembaca dan segera hancur dimakan rayap. Kalau di toko buku, saya melakukannya karena memang tak punya uang. Jika sulit disepakati, sudahlah, sepenuhnya derita saya. Sebab, fiqih sosial yang kupahami, mencuri buku itu tidak mengapa ketimbang mencuri uang, apalagi itu merupakan APBD/APBN yang merujuk pada hajat hidup orang banyak.

Lagi pula, saya tak sekadar mencuri buku, saya ingin belajar dan memahami. Bukankah hasil kerja para penulis itu ingin dibaca? Jika ini masih susah disepakati, sudahlah, anggap saja saya menempatkan kejujuran ini di tempat yang keliru. Namun, saya tak pernah melupakan buku-buku itu, saya menandainya dan selalu berusaha mengembalikannya ke tempatnya semula (jika perpustakaan tak lagi sekadar memuseumkan buku). Atau, menemui pemilik toko dan menyerahkan uang. Saya tahu, mereka telah merugi dan hal ini tak terampuni.

Tetapi, di sudut lain saya memikirkan cara lain guna menebus semuanya. Misalnya saja, mengamalkan dan membagi pengetahun dari buku itu dan tentu saja segera menghentikan kebiasaan buruk ini. Sejak tahun 2008, saya tak lagi melakukannya. Jika ada buku seorang kawan yang menggiurkan, saya mengajukan niat yang sebenarnya dan harus puas dengan dua kata: Ya atau Tidak.

Mencuri di toko buku, saya kira tidak melukai penulis, yang terzalimi hanyalah pengelolanya. karena royalti penulis sudah terbayarkan sebelumnya. Lain hal kemudian jika buku itu mengalami pemalsuan. Atau pembajakan yang jelas-jelas kerugian besar bagi penerbit yang tak hanya mengelola royalti penulis tetapi juga menjaga pasokan gaji untuk pegawainya.

Saat ini, pembajakan buku belum mati, sistem ini ada di sekitar kita. Tujuannya, selain menjadi bagian dari proses distribusi dengan harga miring, di sana ada akumulasi modal yang saya kira tidak adil.  Pembajakan adalah penghinaan bagi penulis dan penerbit. Karena dilakukan secara masif dengan impian memperoleh keuntungan finansial.

Di tahun 2002 hingga awal 2004, saya juga terlibat dalam proses ini. Sebenarnya bukan pembajakan, Karena saya hanya memfotokopi sebuah buku yang harganya terbilang mahal bagi anak indekos. Buku itu pun milik kawan yang bersedia dikopi dan dijilid serupa skripsi. Semangatnya memang bukan gerakan menimbun modal, tetapi membaca.

Untuk kasus itu pun, saya kira masih bisa ditolerir. Saya sendiri, untuk buku tertentu, walau sudah membaca versi fotokopian. Tetap membeli buku aslinya jika isi saku sudah lumayan tebal. Kejadian-kejadian ini tentulah respek para penggila buku bermodal cekak. Bagi saya, jauh lebih heroik ketimbang membajak buku untuk akumulasi modal.

Kemarin, misalnya, ketika berkunjung ke salah satu toko buku di Makassar. Saya menemukan susunan buku hasil bajakan yang tersusun rapi di salah satu rak. Tak tanggung-tanggung, sejumlah novel monumental Pram menjadi korban yang juga terjadi pada karya sejumlah sastrawan yang lain. Idrus, AA Navis, dan Marah Rusli untuk menyebut nama.

Sesedih-sedihnya kisah sinetron Cinta Fitri, menemukan buku para pengilham dibajak dan dijual di sebuah toko buku, adalah sedih di atas sedih. Agenda perlawaan apa yang hendak dibangun dari semua itu. Di era Orba, ketika perayaan kesadaran diharamkan, tindakan itu boleh jadi sahih, itu pun perlu konfirmasi pada penulisnya. Nah, sekarang, ketika semua orang sudah bisa berteriak, masihkah hal yang demikian dianggap sebagai bentuk perlawanan. Itu sungguh sesat pikir.

Saya yang dulu sering mencuri buku atau memfotokopinya, tidak akan menempuh jalur yang demikian memalukan itu. Mereka tidak menggilai buku dalam arti yang sesungguhnya, mereka hanya mencuri keuntungan seenak perut. Walau saya belum membaca seri terakhir Tetralogi Buru, Rumah Kaca. Jangankan membeli, mencuri bajakannya pun tidak sudi.
_


Komentar

Postingan Populer