Matinya Striker, Pudarnya Gitar Hero, dan Pram Memang Telah Wafat


Karim Benzema, pesepakbola Prancis keturunan Aljazair itu tak ubahnya seorang anak kecil yang berlari untuk menyentuh bola yang selanjutnya menggelinding tanpa bisa dijangkau Manuel Neuer. Tugas selesai dan selebrasi berhak diperagakan. Semudah itulah Real Madrid memenangkan laga leg pertama semifinal piala Champion atas Bayer Munchen di Santiago Barnebau.

Sewaktu usia sekolah dasar, saya sering menyaksikan 22 orang bergumul di lapangan yang tidak jauh dari rumah. Usai laga, saya mendekati para lelaki dari salah satu tim, tentu saja tim Semangat Muda, nama klub kebanggan desa saya. Dari mereka, para pemain itu, akan mengulas kembali beberapa momen yang tercipta.

“Ujung tombak lawan sungguh lihai mengocek bola,” kalimat ini biasanya diucapkan seorang pemain bertahan. Kala itu, istilah striker  belum populer, menyebut pemain yang di kakinya dititipkan doa oleh pendukung dan pemain di posisi yang lain, ialah dengan jenis senjata tajam tajam bergagang panjang itu.

Kesaksian saya, pemain yang disebut ujung tombak itu selalu dijaga dua hingga empat pemain guna menghentikannya. Walau sedemikian ketat, ujung tombak tim Semangat Muda tetap saja mampu melesakkan gol. Hamka Syamsuddin dan Abdul Jabbar, dua nama yang selalu ditandemkan. Tipikal penyerang yang tak hanya mengandalkan kecepatan berlari, tetapi juga cerdik menipu palang pintu lawan dengan gerakan tanpa bola untuk meloloskan diri ditambah keemohannya menunggu umpan dari gelandang atau bek, tak jarang keduanya merebut bola dari kaki lawan atau menggiring bola dari tengah lapangan menuju mulut gawang.

Mengingat eranya, referensinya bermuara pada legenda Argentina, Maradona. Selain mengandalkan kekompakan tim, dibutuhkan seorang pemain yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bak seorang penari balet dengan kelenturan tubuh yang didukung kecepatan berlari layaknya seekor chita. Begitulah model pemain yang disebut ujung tombak yang tertanam di kepala saya.

Saat ini, keberadaan seorang pemain yang menonjol dalam satu tim belumlah mati, dan saya kira itu tak pernah terjadi. Setiap era selalu saja tumbuh tipikal pesepak bola yang padanya ditumpuhkan harapan untuk memenangkan pertandingan, apa pun mazhabnya. Total Football , ide yang melakukan pemberdayaan semua pemain pun, dalam sejarahnya hanya mengajukan satu nama yang diingat di luar kepala, Johan Cruyff.

Artinya, dalam perjalanan sepak bola hingga menjelma menjadi industri hiburan sekarang ini, penggila bola masihlah sama di masa lalu. Sebutlah begini, dari mana kita mengetahui perihal adanya sepak bola defensif dan ofensif. Bisakah dikatakan jika taktik yang dijalankan Jose Mourinho itu benar-benar baru. Sulit, kan, sebab mengandalkan serangan balik cepat yang bertumpuh pada kecepatan kerja sama satu atau dua pemain sembari meminta penguasa lapangan tengah membuat tembok sendiri sebelum striker lawan sampai di halaman bek.

Bila kita mencoba mengingat profil bek tangguh di gelanggang rumput hijau, maka Italia menempati posisi pertama. Dari bawah mistar, ketangguhan Gianluigi Buffon akan terpaut dengan Dino Zoff, serta kiper tangguh lainnya dalam sejarah tim Azzuri, seperti Angelo Peruzzi, Gianluca Pagliuca, dan Fransesco Toldo. Sedepa dari itu, kita akan berjumpa bek tangguh mulai dari Franco Baresi, Costacurta, Paolo Maldini, Alessandro Nesta, hingga Fabio Cannavaro. Nama-nama yang telah disebutkan merupakan wujud pembumian sempurnanya era cattenacio di tim Italia. Sistem pertahanan berlapis yang selalu membuat gerah striker lawan.

Sistem defensif yang diterapkan Mourinho saya kira memiliki akar di sana. Bisa dilacak sejak menangani FC Porto hingga sekarang kembali membimbing Chelsea. Striker yang baik di mata Mou bukanlah bertipe Ronaldinho atau Messi. Melainkan seorang pragmatis yang hanya perlu berlari kencang mencari posisi kosong menerima umpan, jika perlu sedikit tangguh dalam perebutan bola di area kotak terlarang.

Kala mengarsiteki Real Madrid, Cristiano Ronaldo sedikit kehilangan magis sebagaimana ciri winger asal Portugal itu berakrobat di Manchester United. Kaka yang lahir atas didikan sepak bola saling berbagi pun perlu untuk dijadikan penonton saja di bangku cadangan.

Jika hari ini Los Blancos masih menganut paham itu, saya kira wajar, bukankah Carlo Ancelotti seorang Italia yang pernah menangani empat klub di Seri A. Bayer Munchen boleh saja menguasai jalannya pertandingan hingga 65% penguasaan bola. Begitupun dengan Barcelona di final Copa del Rey. Namun intinya, siapa yang memenangkan pertarungan. Maka, wajarlah bila Benzema tak perlu berusah payah meliuk-liuk melewati Dante atau Jerome Boateng untuk memastikan kemenangan. Cukup berlari mencari ruang kosong, sentuh sedikit saja dan tugas selesai.

Hal ini serupa menikmati grup musik (band, boy band atau girl band) yang memiliki tempat terhormat di program musik televisi sekarang ini. Tak perlu pesan kuat di dalam tembang yang dilantungkan, cukup mengupas persoalan remeh temeh seputaran kisah kasih dunia remaja. Percayalah, kelompok musik tersebut akan bernafas panjang, segera terkenal dan seorang anak-anak pun akan fasih melafalkan tembangnya.

Jadi, jangan bayangkan akan mengenal sosok personil yang memiliki talenta melebihi anggota yang lainnya. Seumpama pemegang salah satu instrumen dalam grup itu. Karena yang akan diingat adalah judul tembang atau nama grupnya saja. Misalnya saja begini, megingat band rock asal Australia, AC/DC, yang terbayang pertama kali tentulah gitarisnya, Angus Young. Atau kita comotlah band dari dalam negeri sendiri, Edane, apakah Anda akan mengingat vokalisnya yang sering gonta-gonta itu ataukah Eet Sjahranie, konseptornya sekaligus salah satu dewa gitar di belantika musik tanah air.

Penyebutan gitar hero merujuk pada nyawa dari sebuah band, referensi ini banyak mengacu pada grup rock. Ian Antono di God Bles, Jikun di /Riff, Coki di Netral, Abde dan Ridho di Slank, Azis MS di Jamrud, dan Jhon Paul Ivan dulu di Boomerang. Merupakan sedikit nama yang kental dengan ciri khasnya masing-masing mengiringi bandnya.

Tetapi, dunia musik bukanlah kompetisi layaknya dalam sepak bola. Dalam sejarahnya, dunia ini tidak bermain pada tataran maju atau mundur. Kreativitas yang dibangun saya kira bukan untuk saling menghabisi. Rock, dangdut, pop, jaz, keroncong, dan genre lainnya selalu hidup sebagaimana perlakuan musisi yang berkutat di dalamnya dan bagaimana khalayak mengapresiasinya.

Hanya saja, bila kita membacanya sebagai salah satu fondasi yang dibutuhkan umat manusia, musik barang tentu bukanlah sekadar hiburan untuk menenangkan situasi apalagi dijadikan pelarian guna menghindari tantangan hidup.

Dalam revolusi, musik memiliki andil sama hebatnya dengan sejudul buku. Tidak percaya, pengibaran sang saka merah putih usai Soekarno meneriakkan Proklamasi di tahun 1945 diiringi kor Indonesia Raya. Sejumlah tembang perlawanan pun tercipta menjelang puncak reformasi 1998.

Di posisi itulah kita memiliki hak mengajukan protes. Bila di era Soekarno melarang peredaran musik yang disebutnya ngak ngik ngok, itu perlu dibaca berdasarkan konteksnya, kala itu jiwa negara ini tengah dirintis dan perlu menghindarkannya dari virus Barat. Awak grup Koes Plus tampil sebagai korbannya. Ini sebenarnya pelik, sebab menyangkut alam pikiran berkreativitas. Dan, bukankah Koes Plus dikenal juga dengan sejumlah tembangnya yang menarasikan alam nusantara.

Lalu bagaimana dengan sekarang, melarang sebuah grup bermodal tembang menye-menye berkarya, saya kira tidak bijak di era ketika negeri ini mencoba memacari kebebasan pasca 32 tahun menjadi tabu. Akh, ini serupa bahan dilema saja, ragu menetapkan pilihan. Tegaskan saja, pilih Bayern Munchen atau Real Madrid. Selesai. Jadi, jelaskan, bila ingin mendengarkan tembang perlawanan, medianya bukan di kotak bergambar di rumah Anda. Pilihannya banyak di layanan You Tube.  Dan yang ini, memutar ulang koleksi kaset koleksi Anda di rumah dengan tape recorder, terdengar mundur memang, tetapi ini bagian dari perlawanan juga.

Ini bukan perkara elusif, semacam pembelaan dari persamaan nasib lebih tepatnya, kita perlu bertanya menyangkut bertahannya sebuah pembiaraan dalam industri hiburan. Sepak bola, musik, dan buku. Jelas bukannya tanpa kekuatan tertentu dalam melestarikan kelanggenan. Sepertinya ada yang hendak dirawat dari semua itu yang kemudian akan dianggap sebagai bentuk kewajaran. Namun, bagaimana bisa dianggap sah bila teriakan itu ada, interupsi itulah yang mencari keadilan atau malah sisi lain yang akan terus berseteruh.

Modal besar melawan cekak, saya kira itu muasalnya. Jalannya dipilih berdasar pada jalan pintas atau proses melumat waktu. Di industri buku hanyalah ruang lain dari pertarungan itu. Di etalase toko buku dan di meja redaksi penerbit adalah dua penentu memasuki lapangan ini. Buku tak selalu menjadi jendela dunia, bukan pula peta yang netral, gesekan itu ada juga. Maka dari itu, pilihannya juga ada, kurang lebih sama dengan memilih ini atau itu.

Ini juga bukan perkara selera, ini urusan keberpihakan. Jangan melulu menghindar pada situasi banal lalu mencari perlindungan sedini mungkin. Ruang dan kesempatan itu terhampar luas, kita tak bisa lagi mengatakan kalau saya belum membaca karya itu dan dan karya ini. Seharusnya, mengapa saya belum menanggalkan kurungan ini yang mengakibatkan pola pikir serupa katak dalam tempurung. Susah sekali merayakan perbedaan.

Bagi Andy Warhol, pengusung pop art, “serendah” apa pun obyek seni, ketika itu sudah digantung di galeri terkemuka, maka itu adalah art. Mengantongi pola pikir ini ke dalam toko buku atau menelisik grup musik atau dijadikan kaca pembesar menonton sepak bola. Kesimpulannya, Pram itu sama saja dengan Andrea Hirata, God Bles itu apa bedanya dengan Noah, dan Zidane sekasta dengan Benzema.

Saya tidak sepakat dengan Warhol untuk urusan pembenaran semacam itu, benar bila semua penulis itu meluangkan waktu bergulat dengan dirinya sendiri di kesunyian. Namun, bisakah disamakan hanya karena Tetralogi Buru berdampingan di rak yang sama dengan Tetralogi Laskar Pelangi? Sulit menyepakatinya.

Hari ini, 30 April, genap sewindu wafatnya sastrawan yang sebagian jejak hidupnya dipaksa takluk di negerinya sendiri. 30 April 2006 silam, Pram mangkat setelah masih berusaha menyulut sebatang kretek. Selesaikah Pram, saya kira tidak, darinya lahir pencerita andal yang menautkan dirinya dengan sang maestro. Di sudut yang lain, pembacanya mendeklarasikan komunitas yang juga bertalian dengannya.

Pram menjadi legenda sekaligus berhala, asumsi ini lahir dari dua kubu bertentangan yang membacanya, yang pertama menempatkannya selaku manusia selayaknya manusia. Merasakan luka, sedih, dan marah. Kedua, menguncinya di dalam kamar yang tak boleh diketuk. Aminkan saja yang telah ditulis dan bacalah narasi hidupnya sebagai korban ketidakadilan.

Begitulah, kematian itu tak sebenarnya mati, kadang hanya memudar kemudian muncul lagi. Atau, yang hidup itu sebenarnya tak hidup, berpura-pura saja bergerak, nyatanya tak memiliki fungsi, hanya pelengkap untuk tujuan hasil pola pikir singkat.

Sepak bola, tembang, dan buku, pada apa ia menghindari perlakuan zaman terhadapnya. “Anak-anak ruhani saya, akan mati dan hidup sebagaimana perlakuan manusia terhadapnya,” ucap Pram. Lalu, sepak bola dan grup musik dengan tembangnya itu akan diperlakukan bagaimana. Ya, sama, bagaimana manusia mengarahkannya.
_


Komentar

Postingan Populer