Horor Ujian Nasional


Kisah berulang perihal siswa merasakan bahagia atau haru dalam pendidikan kembali dimulai. Realitas itu sebentar lagi akan hinggap di pelupuk mata kita. Tentunya dengan jalan cerita yang klise.

Dugaan yang demikian sudah hinggap di benak sebelum pelaksanaan, tak ubahnya dengan adanya caleg stress pasca Pileg. Fenomena inilah yang tak pernah selesai. Perjalanan politik dan pendidikan di negeri ini tak ubahnya sinetron picisan.

Saya percaya kalau kita telah menyimpan dugaan menyangkut beragam reaksi setelah ujian nasional. Katakanlah, kalau kita akan menyaksikan di televisi atau membaca berita di koran tentang seorang siswa bergembira karena lulus. Atau, mendapati siswa yang mungkin anak tetangga atau anak sendiri dirundung duka karena gagal melewati fase ujian nasional yang disebut-sebut sebagai jalan meningkatkan kualitas pendidikan itu.

Segala dugaan di atas memiliki kesahihan terwujud. Pasalnya, ujian nasional layaknya kompetesi yang menyebabkan kekalahan dan kemenangan. Horor ini masih tertanam kuat dan dianggap sebagai terapi mujarab menggenjot peserta didik belajar giat.

Membaca efek ujian nasional dari tahun ke tahun, itu sama saja mengulang sejarah yang sama. Jika ada yang berubah, itu hanya pemerannya saja. Satu atau beberepa di antara siswa akan memerankan tokoh selaku orang-orang yang dianggap gagal. Selebihnya dikukuhkan sebagai antonimnya untuk menegaskan sakralitas pendidikan. Tepatnya, menegaskan horor ujian nasional.

***

Sebagai pembumian teori kalau ujian perlu ditempuh dengan kejujuran. Maka, guru dari pelbagai sekolah diroling sebagai pengawas. Tujuannya, untuk menghindari kerja sama di antara guru dan siswa.

Tetapi, cara itu sepertinya masih meragukan. Guna melengkapi penegasan, satuan polisi pun dilibatkan sebagai penjamin stabilitas keamanan. Sungguh, sebuah kerja sistem yang lengkap sekaligus penegasian di tubuh pendidikan itu sendiri.

Bukankah selama tiga tahun peserta didik telah dipandu berlaku adil dan jujur dengan serangkain mata pelajaran. Sebenarnya apa yang ingin ditunjukkan dengan pertukaran pengawas dan pelibatan militer itu. Bila kejujuran guru sudah diragukan, dengan alasan apa lagi menyematkan gelar yang sama bagi peserta didik.

Saya pikir tidak ada fondasi karakter yang telah dibangun sejak awal melalui serangkain perubahan kurikulum maupun kebijakan yang menyertainya. Sebenarnya sudah ada gunting yang bisa digunakan memotong lingkaran horor ini dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2012. Hanya, PP ini berlaku di tingkat sekolah dasar saja.

Ujian nasional, tak ubahnya sebagai usaha pengawasan “kejujuran” yang gagal. Saban tahun, selalu saja dijumpai kecurangan walau satuan polisi telah menjaga soal sebelum diserahkan ke pihak sekolah. Dalam pelaksanaan dan proses pemeriksaannya pun, melakukan kecurangan bukanlah tanpa celah.

Semakin ketat peraturan maka semakin mengundang perlawanan, oposisi biner logika ini bila dikaitkan dalam proses ujian nasional. Sehoror bagaimanapun prosesnya, selalu ada pintu yang lupa dikunci. Dengan kata lain, walau peserta ujian nasional diawasi satu kompi militer bersenjata lengkap, adalah usaha yang sia-sia sebab hasilnya akan sama. Ada duka dan suka menanti siswa. Lagi pula bukan jaminan terputusnya kecurangan.

Mengapa demikian, karena pengawasan seketat itu bukanlah pada tempatnya. Peserta didik tak bisa dianggap sebagai pesakitan yang perlu diintai dengan CCTV sekalipun. Proses ujian yang ditempuh guna mengukur prestasi dengan menuntut kejujuran siswa dalam menjawab soal, itu keliru dan sama halnya merendahkan kemanusiaan.

Kita tak bisa menyalahkan siswa yang tak mampu mengerjakan PR, emoh belajar, atau malas ke sekolah, misalnya. Jika itu terjadi, berarti sekolah telah gagal menjadi ruang yang membahagiakan bagi siswa. Jika ada siswa yang dianggap gagal dalam proses ujian, mengapa sekolah tidak meminta maaf dan mengevaluasi sistemnya.

Di situlah letaknya, sekolah selaku institusi pendidikan dalam gagasan usang Bapak pendidikan modern, Jhon Amos Comenius yang kemudian dikembangkan pendidik asal Swiss, Johann Heinrich Pestalozzi di abad 19 sudah perlu dikembalikan pada makna awalnya, Roem Topatimasang dalam bukunya, Sekolah Itu Candu, menyebutkan kalau asal kata sekolah berasal dari Yunani, skola atau skolae yang berarti waktu luang bagi anak untuk mengetahui segala hal ihwal kehidupan.

Selain tentunya merombak taksonomi pendidikan ala Benyamin Bloom, psikolog pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat yang selama ini disakralkan. Mengevaluasi aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif tak bijak dilakukan dengan cara menyodorkan sejumlah soal kepada siswa yang perlu dijawab dalam waktu 120 menit, misalnya.

Sebaliknya, siswa perlu disentuh dengan pendekatan kemanusiaan dan memaknai kalau proses pendidikan di sekolah sebagai setapak jalan merengkuh hakikat kemanusiaan. Sehingga kisah klise yang disebutkan di awal tulisan tak perlu lagi terulang.
_


Dimuat di rubrik Literasi Koran Tempo Makassar edisi 19 April 2014 



Komentar

Postingan Populer