Memilih Caleg Tidak Seperti Memilih Pacar
Pilihlah aku jadi
pacarmu, yang pasti setia menemanimu, jangan kau salah pilih yang lain, yang
lain belum tentu setia, jadi, pilihlah aku.
Lirik di atas merupakan potongan
tembang Pilihlah Aku yang
dipopulerkan Krisdayanti. Sebentuk propaganda bagi seseorang untuk menetapkan
pilihan. Diksinya jelas, tanpa rikuh, dan sungguh percaya diri. Pilihlah aku,
sebab yang lain belum tentu setia. Peringatan dini bagi para pesaing.
Untunglah watak protagonis itu hanya
ada dalam tembang. Tetapi, tunggu dulu, bukankah sekarang ini musim kampanye
untuk pemilihan anggota legislatif semua tingkatan? Sebagaimana saya, Anda
pasti tahu soal itu, kita akan memilih wakil kita di parlemen untuk masa tugas
lima tahun ke depan.
Lalu, masih ingatkah Anda wajah calon
anggota legislatif yang ditandai pada pemilihan lima tahun yang lalu? Jika ya,
apakah ingatan Anda itu berbarengan dengan sebuah ucapan dari sang caleg yang
membuat Anda menetapkan keputusan di bilik suara? Coba, ingatlah itu, karena
yang demikian merupakan cermin yang bisa dipakai jika Anda melangkah ke TPS
pada 9 April mendatang.
Sokrates pernah ditanya mengenai siapa
orang paling bijak di Yunani. Dan, filsuf itu menjawab: itu adalah aku. Perlu
dipahami kalau Sokrates menawarkan ke-aku-annya, sebagai aku yang tak tahu
apapun. Jawaban ini sebenarnya berupa gelitik untuk mengejek ke-aku-an yang cerewet
tetapi miskin pengetahuan.
Dengan kata lain, Sokrates ingin
mengatakan kalau menjadi pandir itu tidak mengapa, sejauh berani mengakuinya
kalau kita memang belum tahu tentang banyak hal. Ketimbang mengedepankan ke-“aku”-an
(dengan tanda kutip). Parahnya, keakuan palsu ini terlibat dalam proses
penetapan keputusan menyangkut orang banyak.
Cara pandang Sokrates akan membantu
kita melihat ke-aku-an para caleg yang mengajak untuk memilihnya. Secara sederhana,
ajakan itu datang melalui perwakilan melalui spanduk atau alat peraga yang lain
guna mensosialisasikan ke-aku-annya kepada khalayak.
Psikolog asal Amerika Serikat, Carl Iver Hovland, menyebutkan bila bentuk
komunikasi yang dibangun menggunakan media, memungkinkan mengubah persepsi
orang terhadap sang komunikator. Bila kita melihat populasi pemilih di tingkat
strata sosial paling bawah, di mana media yang paling sering diakses adalah
elektronik, utamanya tayangan visual di televisi. Jelas, nalar mereka bekerja
di seputaran tayangan yang disaksikan. Mengapa, karena terbatasnya terhadap
akses media yang lain untuk memperoleh data pembanding. Pada saat itulah,
ke-aku-an caleg akan memperoleh legitimasinya.
Terbukanya ruang berpendapat pasca
reformasi 1998, menggiring orang memaknai ruang untuk berpartisipasi. Idealnya,
partai politik menjadi pintu masuk ke ruang itu. Hanya saja, banyaknya desakan
ke-“aku”-an (dengan tanda kutip) menjadi rongrongan yang pada akhirnya membeludak.
Jadilah parlemen ajang mengedepankan janji ketimbang bertugas sebagaimana
mestinya.
Sebenarnya, ajakan caleg untuk
memilihnya yang memberikan penegasan bila dirinya akan setia (baca: sebagai
janji selain wewenang selaku legislator), sepertinya bertentangan dengan tugas,
pokok, dan fungsi. Sebab, bukankah ruang lingkup pokok parlemen adalah ruang
bagi legislator untuk merumuskan legislasi, mengesahkan pengangaran, dan
melakukan pengawasan. (selain melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945)
Maka, di luar konteks tugas dan wewenang, sudah menjadi pembahasan yang lain.
Cobalah
setia
Yang selalu kuinginkan,
yang selalu kunanti, kau coba untuk mengerti, apalah arti mencinta, dan harus
kau sadari, bila ingin bersamaku, jangan coba kau ingkari, cobalah untuk setia.
Memilih caleg memang tidak seperti
memilih pacar, potongan lirik tembang Cobalah
untuk Setia yang juga dipopulerkan Krisdayanti di atas, merupakan
peringatan bagi kita dan caleg yang akan dipilih. Jika berani, jangan takut.
Jika takut, maka jangan coba-coba berani mengajak dan memilih, itu yang perlu
ditegaskan dan dimaknai.
Bila ada luka dalam memilih pacar,
tentulah perih itu hanya duka individu. Sebaliknya, bila ada cela dari caleg
yang telah dipilih. Malu yang dirasa akan merusak seribu satu wajah dan
penawarnya tidak terjual di apotek mana pun.
Kiat sederhana yang perlu dipelajari,
adalah mengenal lebih dalam pribadi dan sepak terjang sang caleg. Mengenal itu
tidak sekadar menyibakkan topengnya, lebih dari itu saya kira. Penulusuran bisa
dikembangkan dengan mengajukan tanya perihal tugas dan keberpihakannya pada
khalayak. Apabila ada gelagat kepandiran, bersegeralah mencari pilihan yang
lain. Sebab, itu indikasi pengingkaran.
Kesetian itu penting, karena manusia
semula menerima ke-aku-annya melalui kesetiaan. Dan, manusia setialah yang mampu
merengkuh masa depan, kata Otto F Bollnow, filsuf berkebangsaan Jerman.
***
Pangkep-Makassar, 20 Maret 2014
Komentar