Begitulah



Piala dunia tahun 1998 merupakan fondasi saya menyenangi sepak bola. Saya berada di tengah pendukung Argentina yang meradang kala ditundukkan Belanda di perdelapan final. Umpan panjang Frank de Boer menuju Dennis Bergkamp merupakan akhir impian tim Tango.

Belakangan, saya tidak bisa menerima kalau umpan terbaik di turnamen itu sepertinya menyalahi filosofi total football yang seharusnya mengandalkan seluruh pemain dalam bermain. Tetapi, Frank tidak keliru, terkadang teori perlu dilupakan untuk merengkuh kemenangan.

Sejak saat itu, Belanda adalah tim favorit saya di segala turnamen. Sungguh, saya terkesima dengan Edgar Davids. Pemain berambut gimbal yang dalam perjalanan karirnya mengenakan kaca mata karena memang mengalami rabun dekat. Begitulah, jalan saya menetapkan tim dan pemain idola.

Sebenarnya, orang-orang di kampung saya dominan mengidolakan Argentina. Mereka sering mengulang kejayaan Maradona. Awalnya saya terkesima dan mulai tertarik dengan Gabriel Batistuta karena Maradona tak lagi menjadi bagian tim. Banyak yang menyebutkan kalau sosok Ariel Ortega adalah perwujudan si tangan Tuhan. “Kurang lebih gaya permainan Maradona seperti itu,” kata seorang kawan. Sayang, pemain boncel itu diganjar kartu merah karena menanduk Edwin van der Sar. Sialnya lagi, gol kedua Belanda lahir setelahnya. Beredarlah gosip kalau kekalahan Argentina akibat ulah Ortega. Saya tidak sepakat dengan asumsi itu.

Argentina bermain bagus. Hanya, sistem, maksud saya wasit yang merupakan pemegang remote sistem keburu mengeluarkan kartu merah. Dialah Arturo Brizio Carter, wasit asal Mexico yang memimpin pertandingan yang digelar pada 4 Juli 1998 itu. Dalam situasi yang semakin kasip, dialog tak menemui ruang. Para filsuf menjadikan dialog sebagai jalan panjang dalam bergumul menuju kebenaran. Hal itu tentulah tak berlaku dalam pertandingan sepak bola. perlu diingat, Ortega sebelumnya dijatuhkan Jap Stam di kotak penalti. Si kiper jangkung Belanda kemudian menghampirinya. Entah apa yang diucap, dia mungkin menganggap Ortega melakukan diving, Ortega lalu bangkit yang entah disengaja atu tidak, ia menanduk mulut eks kiper Mancaster City itu.

Wasit tak melihat kejadian itu karena tengah mengalami protes pemain Argentina yang menuntut tendangan dua belas pas. Dalam filsafat, jalan mengungkap kebenaran setidaknya ada 30 jalan yang kesemuanya memiliki turunan. Sunguh mustahil diterapkan dalam sepak bola yang hanya memiliki waktu dua kali 90 menit. Jika masih mungkin, jalan pintaslah jalannya. Pragmatisme. Paham inilah yang saya kira merajai segala keputusan dalam dunia yang bergerak cepat, termasuk dalam sepak bola.

Fungsi ide adalah merespons akibat yang terjadi. Sang wasit sudah berada dalam posisi itu karena melihat jatuhnya Ortega merupakan pelanggaran. Sempritan dibunyikan dan wajah Stam dingin, menyadari kalau keputusan yang ditempuh akan berakibat fatal. Namun, itu sudah menjadi kewajiban seorang bek. Harus memang ada perjudian yang perlu dilakoni setiap pemain. Ortega dan Stam tengah bergulat dengan itu sebelum si kiper datang mencampuri.

Dan, tertutuplah akibat (kebenaran) dengan akibat yang lain. Davids yang berada dekat di kedua pemain itu begitu sigap mengabarkan kebenaran pada wasit. Wajah dingin Stam kini berpindah ke Ortega. Selamatlah Stam dan Van der sar tak perlu berjudi dengan Batistuta yang kemungkinan besar akan didaulat sebagai penembak jika saja wasit tanpa ragu menunjuk titik putih.

Begitulah, kejadian yang serupa atau yang hampir serupa tentu saja terus terjadi di panggung sepak bola. Masih di tahun 1998, seorang kawan berucap begini: “Brasil itu tak perlu pelatih, melihat materi pemainnya. Saya pun akan membawanya juara hanya dengan duduk rapi di pinggir lapangan.” Benarkah demikian, setidaknya terbukti tim Samba yang melangkah ke putaran final setelah menundukkan Belanda di perempat final. Kengawuran kawan saya itu buyar setelah Prancis mempermalukannya dengan 3 gol tanpa balas di partai puncak. Di akhir pertandingan, tampak Roberto Carlos kecewa. Sebuah pelajaran yang digenggamnya dan melunasinya empat tahun kemudian dengan membawa Brasil juara di putaran piala dunia Korea-Jepang tahun 2002.

Sejak saat itu, ada skeptis yang tumbuh. Saya anggap perlu untuk menandingi prilaku pragmatisme. Sebab, siapa pun pelatih dan pemainnya. Kadang tidak ada gunanya di hadapan wasit. Bersamaan dengan itu, saya merevisi ketetapan saya sendiri perihal tim dan pemain idola. Saya harus keluar dari kurungan itu untuk menghindari dendam. Saya tak perlu memiliki tim idola dan sebatas mengagumi saja bila ada pemain yang mencoba jujur dengan dirinya sendiri.

Contoh paling gres, pertandingan Mancester City dengan Barcelona di putaran piala Champion tahun ini. Pada pertemuan pertama di babak 16 belas besar 19 Februari lalu di Etihad, kandang Mancster biru. Lagi-lagi kita menyaksikan keampuhan sebuah keputusan wasit, Martín Demichelis menjadi korban pragmatisme itu. Inilah yang membuat Manuel Pellegrini meradang, jika wasit konsisten, seharusnya sempritan dibunyikan kala Sergio Busquets menjatuhkan Jesus Navaz. Drama itulah yang membuat Demichelis terdiam sejenak dan menghentikan pengintaiannya terhadap lawan senegaranya, Lionel Messi.

Tetapi, begitulah kelanjutannya. Jonas Erikson, wasit asal Swedia membiarkan umpan terobosan disambut Messi. Sekali lagi, selaku bek, Demichelis menurut saya tak bisa disalahkan. Perjudian itu perlu dilakukan untuk menunda kenyataan. Setidaknya, masih ada kesempatan yang dinanti antara penembak dengan kiper.

Begitulah, sepandai apa pun pelatih meramu strategi dan segesit bagaimana pun pemain bertarung. Janganlah lupakan penafsir kebenaran, wasit.

***
Pangkep-Makassar, 22 Februari 2014



Komentar

Postingan Populer