Rabiah, Suster yang Bermain Dadu



Suster Rabiah (kiri) dan Sutradara film Suster Apung, Arfan Sabran (Sumber gambar, di sini)

Sebuah perahu bergoyang dihempas ombak, tampak seorang perempuan paruh baya duduk sambil berpegangan. “Beginimi susahnya seorang suster yang bertugas di pulau. Beginimi ini, perahu kita rata dengan ombak,” tutur suster Rabiah dengan dialek Makassar.

Sungguh tidak ada yang tahu sosoknya, termasuk saya yang tinggal di Kabupaten yang sama dengannya, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Semua bermula ketika Arfan Sabran dan Suparman Supardi memenangkan kompetisi film dokumenter Eagle Award Metro TV tahun 2006. Dua sineas muda asal Makassar ini merekam jejak suster yang telah bertugas selama 30 tahun lebih di kepulauan Pangkep. Hasilnya, publik Indonesia dan Pangkep secara khusus meneteskan air mata menyaksikan perjuangan seorang perawat yang pantang menyerah melakukan dedikasi di masyarakat.

Jangan bertanya tentang aksi mogok dokter yang baru-baru ini menggemparkan dunia kesehatan di negeri ini, Rabiah yang bertugas di puskesmas Liukang Tangaya, salah satu Kecamatan kepulauan di Pangkep tentu tak mengetahui hal itu. Berdasarkan penuturannya di film dokumenter bertajuk Suster Apung, (untuk melihat film di sini), Ia mengakui kalau kadang kala sudah bertindak menyalahi standar pelayanan kesehatan, atau malapraktik. Akan tetapi, itulah pilihannya, masyarakat kepulauan pun mafhum dengan situasi itu. 

Tindakannya itu mungkin sebagai bentuk kreatifitas di lapangan, sebab mustahil bisa melakukan rujukan ke rumah sakit di jantung kota Pangkep dengan situasi lapangan yang tidak menentu. Mengarungi perjalanan dari lautan lepas, sungguh risiko yang menjadi tantangan tersendiri. Itu pun harus mendarat di pelabuhan Paotere Makassar sebelum ke Pangkep melalui jalur darat.


Pengalaman itu terjadi kala ia harus memberikan cairan infus kadaluarsa kepada seorang pasien yang terkena diare di pulau Sapuka. Ia harus bermain dadu dengan dirinya sendiri, melakukan usaha sembari menduga-duga. Dalam ilmu medis yang yang Ia pelajari, cairan infus basi itu tentu akan menambah penderitaan bagi si pasien. Mati, itu kemungkinan terbesarnya. Dan, ia memilih menusukkan jarum ke lengan pasien sebagai jalur cairan infus masuk ke tubuh. Hasilnya, pun ia sulit memahaminya, tetapi Ia bersyukur sebab si pasien menunjukkan gejala ke arah yang membaik dan akhirnya masih hidup hingga sekarang.

Bertugas di wilayah kepulauan adalah tantangan yang terlalu berat bagi sebagian petugas kesehatan. Tak dipungkiri, banyak dokter, suster, atau bidan di Pangkep yang emoh ditempatkan di sana. Di kabupaten yang terkenal dengan produksi ikan Bandengnya ini, wilayah kepulauan masih dianggap sebagai lokasi yang terisolir. Asumsi ini ada benarnya jika itu dikaitkan dengan fasilitas. Suster Rabiah sendiri harus menggunakan katinting, perahu kecil dilengkapi mesin motor sebagai penggerak, bahkan tak jarang harus menggunakan sampan yang mengandalkan dayun jika pulau yang didatanginya belum memiliki dermaga.

Sekali lagi, di lautan pun suster Rabiah harus bermain dadu. Betapa tidak, di Puskesmas tempatnya bertugas meliputi 25 pulau yang di antaranya berdekatan dengan kepulauan Flores, NTT yang harus ia sambangi jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan. Puncaknya, ia pernah terdampar 7 hari 7 malam di pulau yang tidak berpenghuni akibat perahu motor yang ditumpanginya menghantam karang. Sulit membayangkan bagaimana ia dan 14 penumpang lainnya berjuang hidup melawan naas kala itu.

Tantangannya lagi, masyarakat barang tentu tak mau tahu perihal spesifikasi keilmuan yang ada pada Rabiah. Padahal, Ia hanya lulusan penjenang (pembantu) kesehatan, setingkat sekolah petugas kesehatan (SPK) sekarang. Namun, kadang kala Ia harus “memasang” topeng dan bertindak layaknya dokter lulusan sebuah universitas. Semua itu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab jika sudah berhadapan dengan pasien.


Buah yang manis

Bagi Rabiah, tampil di layar televisi dan terkenal di seantero negeri hingga mancanegara, bukanlah keinginannya. Dedikasinya bertugas di kepulauan itu semata panggilan jiwa. Sejak kecil Ia banyak belajar dari neneknya yang merupakan petugas kesehatan pertama di kampungnya, Segeri, sekitar 10 Km dari ibu kota Pangkep, Pangkajene.

Ia lahir 19 Juni 1957 dan terangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di tahun 1977 dengan gaji pertama Rp 17.000,- dan sudah harus bertugas di kepulauan. Semuanya dijalani sepenuh jiwa. Pun Ia rela menerima cibiran ketika rumor mengenai kematian suaminya diakibatkan terkena santet di pulau. Ia bergeming dan menolak dimutasi ke wilayah daratan. Ia terlanjur mencintai pulau dan masyarakat yang sudah dianggapnya sebagai keluarga.

Hal ini kontras dengan sebagian PNS yang bertugas di kepulauan Pangkep. Mereka tidak betah dan berjuang mati-matian agar mendapat mutasi ke daratan. Ini sudah menjadi rahasia umum di lingkup birokrasi di pemerintah daerah Pangkep. Bukan hanya petugas kesehatan, tenaga pendidik pun sama. Masih banyak yang lalai dengan tanggung jawab yang telah diamanahkan. Berada seminggu di pulau kemudian pulang ke daratan hingga tiga bulan lamanya.

Melakoni hidup selaku pelayan masyarakat sebenarnya tidaklah mudah, filosofi inilah yang boleh jadi tidak dipahami oleh mereka yang selalu antre mendaftarkan namanya sebagai PNS. Pada awalnya mereka berjanji untuk ditempatkan di mana saja, tetapi direvisi jika kemudian ditempatkan di wilayah terpencil.

Bahwa apa yang telah dijalani oleh Rabiah selaku petugas kesehatan yang memilih bertahan selama puluhan tahun di kepulauan, adalah cermin yang mungkin bukan pilihan bagi sebagian orang. Kuncinya memang sabar dan meyakinkan diri kalau perjuangan itu tidak ada yang instan. Suster Rabiah membuktikan itu, kala tampil di program Kick Andy, ia memperoleh hibah dari Jusuf Kalla sebesar Rp. 200.000.000,-. Heroiknya, dana itu tidak digunakan oleh Rabiah untuk kepentingan dirinya sendiri. Melainkan untuk membeli perahu, sembako, dan gaji untuk awak perahu yang mengantarnya ke pulau meski penyediaan fasilitas seperti itu sewajarnya disediakan oleh pemerintah karena merupakan tugas dinas. Tetapi Rabiah tak ingin lagi bermain dadu. Ia ingin berusaha dengan hasil yang sudah bisa ditaksir. Uang sudah di tangan, sepatutnya melengkapi peralatan yang memang dibutuhkan.

Di tengah mirisnya dunia kesehatan di negeri ini yang terus menyajikan pengkotakan pelayanan kesehatan antara si kaya dan si miskin. Suster Rabiah sepertinya sosok yang dirindu oleh semua kalangan. Pengabdiannya menampar kita semua, bertugas di wilayah terpencil dengan fasilitas terbatas tak menyurutkan niatnya untuk terus hadir dan menjadi kawan, solusi, dan bahkan menjadi obat itu sendiri guna menyembuhkan duka.
_

Sumber: di sini


Komentar

An mengatakan…
Masya Allah... Bener-bener sosok yang inspiratif, Ibu Rabiah :)
Terima kasih buat sharingnya ;)

Saya menulis tentang tema yang sama. Berikut artikel yang saya tulis pada lomba blog kemarin, tapi belum beruntung lolos :)
http://asagienpitsu.wordpress.com/2013/12/11/wasor-tb-pejuang-kesehatan-di-balik-layar/
kamar-bawah mengatakan…
Ulasan Anda juga sungguh menggugah, saya suka cara Anda menulis

Postingan Populer