Huruf Kecil Aan



Dok. Kamar Bawah
 
Sudahkah Anda baca puisi hari ini? Saya yakin belum. Sudahkah Anda mengecek akun Facebok anda hari ini? Saya yakin selalu. Sudahkah Anda menulis puisi hari ini? Saya yakin belum. Sudahkah Anda mengirim pesan pendek hari ini? Saya yakin sudah puluhan atau bahkan ratusan. Sudahkah Anda membeli buku puisi hari ini? Saya yakin Anda belum punya rencana. Sudahkah Anda memesan makanan cepat saji hari ini? Saya yakin Anda tak mau ketinggalan.

“Buku puisi telah menjadi korban diskriminasi di semua toko buku di dunia, ucap penyair, M Aan Mansyur di peluncuruan buku puisinya, Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini di suatu malam di tahun 2011 di café Ininnawa di jalan Sultan Hasanuddin, Makassar.

Secara pribadi lama sekali rasanya baru bisa merdeka membaca puisi. Seingat saya, sudah lumayan banyak buku puisi yang saya beli atau saya curi di perpustakaan kemudian saya baca sampai tuntas. Dari lumayan banyak dan pembacaan tuntas itu, tak semuanya berakhir dengan bahagia. Ukuran kebahagiaanya paling tidak mendorong saya untuk menulis tentang buku itu. Ya, meski agak sulit disebut sebagai resensi. Karena dalam penyusunan kata itu saya lebih senang menuliskan pendapat pribadi daripada memberikan variabel tambahan seputar perbandingan, analisis sejarah, atau lain-lainnya yang kira-kira sebagai ukuran untuk disebut sebagai resensi. Ataukah mencari lebih detail perihal penyair tersebut. Menunggu buku-buku puisinya yang lain atau mencari akun facebook dan blognya.

Menjadikan puisi sebagai salah satu menu bacaan tentulah teramat sulit. Di sana sama sekali tidak ada kemerdekaan. Mungkin karena pengaruh pelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang memberikan pengertian mekanis terhadap sebuah puisi. Harus memiliki sekian bait, larik, dan macam-macamnya. Saya ingat, ketika menulis puisi di sekolah, yang kemudian dianggap bukan puisi oleh guru bahasa. Karena puisi yang saya buat tidak memiliki bait yang jelas. Seolah karangan bebas tanpa tujuan. Guru bahasa menganggapnya tidak layak disebut puisi.

Dendam perlahan tumbuh, saya tidak sepakat dengan penilaian guru bahasa. Namun, saya diam dan menolak berdebat, karena saya anggap guru bahasa tersebut hanya menjalankan tugasnya murni sebagai pengajar (bukan guru yang bisa membimbing). Hingga selesai masa sekolah, saya tak lagi menulis puisi dalam ruang kelas untuk memenuhi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia. Dalam diam, saya tetap mengumpulkan kata dalam secarik puisi di buku catatan harian. Belakangan kuketahui kalau puisi yang saya buat dan tidak dianggap sebagai puisi oleh guru bahasa, adalah puisi jenis prosa. Kerennya, puisi lirik. Setelahnya, saya berhenti mendendam, namun saya iba. Apakah guru bahasa di sekolah saya dulu tidak mengenal jenis puisi? Entahlah.

Dalam perjalanan selanjutnya, saya mulai membaca puisi-puisi Chairil Anwar, Taufiq Ismail, dan Darmanto Jatman. Yang membuat merdeka kemudian puisi-puisi pamfletnya Taufik Ismail dalam antologi Tirani dan Benteng yang saya curi di salah satu perpustakaan sekolah tinggi di Sorong, Papua Barat ketika merantau di sana. Lalu saya lebih giat mencari puisi yang bergenre demikian. Lalu sampailah pada puisi Wiji Thukul. Setelah mencari lagi, rasanya  sulit menemukan pada penyair yang lain.

Saya menyimpulkan kalau puisi yang demikian hadir seratus tahun sekali. Belakangan, saya menyadari jika anggapan keliru. Tetapi ini soal rasa (ideologi) saja. Karena sastra bukanlah tujuan tunggal. Di dalamnya, orang-orangpun berkelahi, dan di dunia ini, saya kira Indonesialah sebagai satu-satunya negara yang pernah menjadi arena dari perkelahian itu. Perseteruan dua kubu di masa lalu. Manikebu dan Lekra adalah simbol sejarah yang akan terus diingat sebagai perjuangan kesusastraan yang tak pernah bebas dari nilai.
Sekarang

Semua sudah bisa menulis puisi berdasarkan kadar, rasa, dan celetuk tiba-tiba dari dalam hati. Lalu tak lama sesudahnya, puisi atau yang dianggap puisi itu sudah bisa dibaca, dikomentari, diperbincangkan melauli media yang sangat sederhana. Jejaring sosial. Sebuah ruang maya yang belum seabad usianya, tapi membuat decak kagum umat manusia dan selalu ingin terlibat dalam alurnya. Jalan ini memungkinkan setiap orang untuk menuangkan apa saja. Tak perlu takut perihal kekurangan prisai atau ketidaksiapan dalam berperang ketika ada yang mencoba mempertanyakannya. Toh, ruang maya ini adalah tempat paling aman untuk berpura-pura.

Saya butuh waktu yang agak lama ketika ingin memutuskan membeli sebuah buku kumpulan puisi. Karena harganya yang terlampau mahal dengan wujudnya yang mungil dengan jumlah halaman tak cukup 200-an. Memang pertimbangan teknis, karena saya mesti bermain judi dengan kemampuan keuangan yang tak jelas masukannya. Semisal, mendapati buku puisi dengan harga Rp. 35.000,-. Saya mesti mencari perbandingan dengan buku lainnya dengan harga serupa tapi jumlah halamannya lebih banyak, yang biasanya selalu berakhir dengan buku kumpulan cerpen. Hal ini saya anggap sebagai siasat untuk memanjangkan waktu membaca saja. Meskipun saya membuat luka dengan berpuasa atas buku puisi yang telah saya korbankan hasil keputusan mekanis itu.

Salah satu korbannya, sebuah buku dari penyair kelahiran Bone, Sulawesi Selatan yang sudah sering saya lihat ketika berkunjung di cafe baca Bibliholic sekitar tahun 2004 silam. Judulnya sederhana dan jelas membuat segudang tanya. Aku hendak Pindah Rumah. Demikian judul antologi buku puisi itu. Saya menemukannya di salah satu toko buku di Makassar.

Ketika meraihnya, berharap bisa membelinya lalu membuat perencanaan untuk mendapatkan tanda tangan penyairnya. Tetapi itu gagal. Saya marah, dan membuat kesimpulan. Mengapa buku tipis itu mahal. Terlintas pula rencana untuk mencurinya, namun yang punya toko buku adalah seorang teman. Saya kecewa. Mungkin bukan pada tempatnya. Tetapi itu sungguh saya rasakan. Sesaat kemudian saya menghela nafas dan meyakinkan diri kalau isi dompet terasa amat sukar keluar untuk melunasi buku itu di kasir. Karena dengan uang yang sama saya bisa mendapatkan buku lain dengan jumlah halaman lebih banyak. Lagi-lagi pertimbangan mekanis menguat. Celakanya lagi, teman-teman saya yang rajin membaca tak pernah sekalipun menyentuh puisi. Jadi peluang untuk meminjam buku puisi darinya otomatis tertutup. Keinginan terkecil saya, saya bisa mempengaruhinya untuk membeli buku puisi itu. Tetapi, puisi bagi teman-teman pembaca saya bukanlah sesuatu yang wajib. Sewajib bacaan Filsafat.

Saya yakin kalau kelak, saya bisa membeli buku penyair itu lengkap dengan tanda tangannya pada waktu yang bersamaan.

Jejaring Sosial

Saya baru menggunakan alamat email di tahun 2009, setahun kemudian baru sepakat untuk membuat akun Facebook. Di akhir tahun 2010 saya membuat Blog atas petunjuk seorang teman. Khususnya melalui akun Facebook, saya mulai mencari nama-nama yang tertinggal di masa lalu. Perlahan ingatan itu tersambng kembali. Tentang keinginan yang batal terwujud, dan hal lainnya yang saya kira penting untuk saat ini. Era ketika begitu mudahnya membangun hubungan dengan orang-orang yang hendak dikenal.

Ya, pertimbangan mekanis saya sedikit terbayarkan. Menyelami puisi-puisi yang sempat tertunda. Akhirnya saya bisa sambung kembali melalui blog di mana M  Aan Mansyur menyimpan arsip puisinya di sana. Saya kurang tahu apakah puisi-puisi dalam antologi Aku hendak Pindah Rumah juga ada dalam blog itu. Namun,  keinginan untuk membaca puisi dengan judul yang panjang-panjang itu sudah saya eja. Sesekali pula saya dapatkan puisinya di harian Kompas.

Membaca satu judul puisi M Aan Mansyur seolah menuntaskan sebuah catatan perjalanan panjang anak manusia. Tidak ada kesimpulan sebagaimana yang diinginkan oleh sang pembuat sajak. Kita sepertinya menemukan pengalaman komunal dalam puisi-puisi itu sembari berkata: “Ini sepotong kisah yang pernah saya alami, atau cerita ini adalah impian saya.”

aku hendak pindah rumah. segera. di suatu daerah, konon, ada rumah akan dijual dengan harga murah. di sana, tidak ada larangan marah. tidak ada perintah untuk mengurut dada. tidak ada tetangga yang hidup dengan mata terkatup atau pintu dan telinga tertutup. (Aku hendak Pindah Rumah. Hal. 65)

Potongan puisi di atas dengan judul Aku hendak Pindah Rumah salah satu dari penemuan pengalaman dan harapan itu. Pada dasarnya setiap orang menginginkan petak kehidupan yang damai berdampingan dengan manusia-manusia lainnya di mana rumah tak sekadar sebagai pelindung dari panas dan hujan. Ataukah rumah bukan sebagai garis pembatas atas masalah sosial yang dihadapi.

Menemukan diri dalam sejudul puisi M Aan Mansyur tidak hanya berakhir pada realitas sosial. Ada banyak perangkap-perangkap masa lalu dan situasi faktual yang dihadapi anak-anak muda dalam proses pencarian bentuk pengungkapan hati anak manusia. Wilayah ini sesungguhnya sangatlah naif, tetapi penyusunan kata yang digunakan M Aan Mansyur membuat kita sulit berpaling. Kita selalu saja tertantang untuk terlibat dalam eksperimen ini. yang dalam warisan sejarah persajakan di negeri ini, itu bisa dikatakan sebagai suatu yang baru. Masih sangat sedikit penyair yang memproklamirkan puisinya dengan kata sederhana namun sekaligus membuat kesimpulan dan ingin segera berucap: “Ya, kalimat itulah yang selalu ingin saya ucapkan.”

            pada sebait ini,
            aku putuskan menjadi sapu
            bagi diriku yang sampah
            (Sapu. Hal. 116)

Puisi pendek ini sungguhlah menerjemahkan definisi kegelisahan-kegelisan dalam diri manusia yang memang tempatnya lupa, khilaf, dan dosa sekaligus atas sesuatu perbuatan yang dianggap keliru. Jika meyakini kalau selalu saja ada rasa yang bertarung dalam diri manusia. Menjadi baik atu sebaliknya. Dan, disitulah letak perjuangannya.

Mengeja puisi-puisi M Aan Mansyur saya kira mengajak kita bermain dengan pristiwa masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ia hanya mengantar kita ke ujung jalan yang penuh cabang. Bahwa apakah soal yang selalu kita ajukan diketemukan di ujung jalan itu ataukah kita masih harus menemukannya dengan ragam cabang jalan yang sudah ditunjukkan dalam sejudul puisi. Entahlah, kita berhak menafsirkannya sebagai kebenaran berdasarkan kesadaran kita masing-masing. Sebagaimana ditulisnya sendiri.

“Saya tidak menyukai kebenaran disampaikan seperti khotbah Jum’at. Saya pikir setiap orang punya kekuasaan dalam menafsir kebenarannya masing-masing.” (Hal.vi).

Sesederhana itulah penyair kelahiran 14 Januari 1982 ini menyebarkan pluralisme berfikir bagi pembaca puisi-puisinya. Pada suatu kesempatan bedah buku puisinya di Makassar. M Aan Mansyur mengungkapkan kalau puisinya merupakan rangkuman-rangkuman pertanyaan atas apa yang telah diamatinya, dirasakan, atau bahkan bagian perjalanan hidupnya sendiri. Proses kreatifnya perihal puisi tumbuh atas keterbatasan-keterbatasan yang mendekapnya di masa lalu. Jujur, ia menuliskan:

“Waktu kecil saya terobsesi ingin menjadi pemain musik dan pelukis. Saya menganggap musik dan lukisan bisa membuat hidup yang rumit, seperti hidup ibu saya, menjadi lebih tenang. Tetapi kata ibu, “Kamu bisa melakukan keduanya sekaligus dengan menulis.” Kata-kata, katanya, adalah alat yang bisa digunakan untuk menciptakan musik, lukisan, dan bahkan tarian. Saya tahu, dia mengatakan itu karena tak mampu membelikan alat musik dan perlengkapan melukis untuk saya.setelah berkali-kali menulis puisi, saya pikir kata-kata ibu saya itu benar adanya.” (Hal. v)

Mungkin itupula sebabnya, pembaca pertama yang membaca puisinya adalah ibunya sendiri yang ia kirimkan melalui pesan pendek. Pertanyaan seketika muncul, sebegitu subtilkah hubungan penyair yang sudah memproklamirkan 5 judul kumpulan puisi plus sebuah novel ini. Hanya M Aan Mansyur sendirilah yang bisa menakarnya. Sebagai pembaca yang kita tahu dari tulisannya, sebatas menduganya. Namun itu bukan soal yang mesti diperbincangkan khalayak pembaca. Yang kita tahu, puisi M Aan Mansyur telah berhasil merekam sepotong laku kita dalam sejudul puisi. Serta pembangunan sebuah ruang bernama puisi sebagai perekam narasi, data-data, dan protes sekaligus.

Huruf Kecil

Apa yang paling mudah diingat atas puisi M Aan Mansyur. Selain penggunaan ragam simbol, bahasa sederhana, dan judul yang panjang-panjang. Apalagi kalau bukan huruf kecil. Judul blognya juga demikian. kita tidak akan menemukan huruf kapital di awal kalimat ataupun setelah tanda baca titik. Mungkin ini sebentuk simbol juga.

Melaui buku puisinya, Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini yang merupakan buku pertamanya yang saya beli dan langsung mendapat tanda tangan pada saat bersamaan (suatu keinginan tahun 2004 silam). Meski itu bukan perjumpaan yang pertama. Tahun 2011 lalu ketika pertama kali dilaksanakan Makassar International Writer Festival (MIWF) saya sempat foto bersama di Museum Balai Kota.

Kembali soal huruf kecil. Penggunaannya dengan melanggar tata baku bahasa meski sebenarnya dalam dunia puisi hal itu bukanlah hal yang haram. Namun saya mendapati sebuah cerpen di blognya yang seluruhnya menggunakan huruf kecil. Bahkan pada buku Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini yang seluruh kutipan puisi dan catatan dalam telaah ini bersumber dari buku tersebut, yang saya kira merupakan buku rangkuman puisi-puisi M Aan Mansyur dari buku kumpulan puisi yang sebelumnya sudah terbit? Pada halaman keterangan data teknis buku ini pun semuanya menggunakan huruf kecil.

Ya, pada situasi tertentu, M Aan Mansyur telah mengganggu kita. Mengganggu kemapanan dalam pola pikir kita perihal penggunaan huruf kecil dalam karya tulis. Tetapi sekaligus mengajak kita untuk merancang perlawanan dalam kemapanan-kemapanan yang sejauh ini telah mengurung kita.

Kalau saja puisi-puisi M Aan Mansyur diperiksa oleh guru bahasa saya ketika sekolah dahulu. Maka puisinya akan dianggap sebagai penghinaan terhadap Tuhan. Karena yang lazim, penulisan kata Tuhan atau yang merujuk terhadapnya dalam rimba teks di manapun posisinya dan bentuknya, haruslah diawali dengan huruf kapital. Semisal: Kepada-Nya. Akhiran ‘Nya’ adalah pengungkapan akan Tuhan. Namun dalam sejudul puisi M Aan Mansyur yang mengunakan kata ‘Tuhan’. Rambu itu tak berlaku. Ada beberapa judul puisi yang saya kira kembali merekam tata laku, harapan, dejavu, dan hal-hal lainnya yang bisa saja merujuk pada rasa dalam diri kita di dalam puisi itu. Mari kita simak:

Pertama puisi yang berjudul Puisi tentang Doa yang Terbata-bata. Dalam rekam jejak sebuah keluarga, maka posisi bapak selalu saja sebagai kepala keluarga. Sebait dalam puisi ini hal itu sangat jelas. Sang anak menggambarkan kalau bapaknya sungguh tak mau keluarganya terperosok ke dalam kekurangan atau bahasa sosialnya. Kemiskinan. Sang bapak ingin menjadikan dunia sebagai tabungan keluarga untuk masa depan sang anak. Sebentuk metafora yang digunakaan M Aan Mansyur sebagai jalan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi. Hal ini terjelaskan dengan tampikan sang anak yang berdoa. Tepatnya mencoba “memerintah” Tuhan.

            “tuhan, mauka kau mengatakan kepada bapak
            agar dia berhenti bercita-cita seperti anak kecil?
            dia ingin dunia dan isinya menjadi tabungan keluarga.
            katanya untuk masa depan aku, padahal aku tak
            mau menanggung dosa itu. tuhan, tolonglah aku!
            (Hal. 23)

Apakah perihal esensi doa ini luput dari M Aan Mansyur. Ataukah ia hendak merekam alam pikiran anak-anak di mana kita dahulu berbuat demikian. Kemungkinan lainnya, M Aan Mansyur mengajak kita untuk memasuki ruang bernama institusi. Termasuk sebuah keluarga, sekolah, dan taman pengajian. Bahwa ada yang lemah dalam pengenalan hubungan anak dengan Tuhan melalui institusi tersebut. Sehingga kepolosan anak yang berdoa, seolah bisa ‘memerintah’ Tuhan.

Saya ingin mengutip Ali Syariati perihal doa. Bahwa doa yang sejauh ini kita panjatkan sesungguhnya mengajak Tuhan turun dari aras-Nya. Padahal sesunguhnya doa itu sebuah munajat yang memuji asmah-Nya. Doa adalah eleksir cinta antara manusia dengan zat yang kita kenal dengan Tuhan.

Tetapi ini puisi. Karena saya kira puisi itu juga doa. Atau kita simpulkanlah puisi ini adalah kesaksian seorang anak yang melihat kejanggalan dalam perencanaan usaha sang bapaknya untuk membahagiakan dirinya. Dan, sang anak menjelma puisi yang juga merupakan realitas yang bertanggung jawab pada hidup yang mungkin dahulu menjadi sangsi bagi sang bapak.

            entah mengapa selalu aku bayangkan aku
            bapak sedang diam-diam menangis membaca
            puisi ini, doa anak yang terbata-bata ini.
            terimah kasih, tuhan,kau jadikan anakku puisi.

Tuhan yang lain saya temukan pada puisi Kata Peramal

            aku baru saja menemui seorang peramal.
            disarankannya kepadaku beberapa hal.
            (Hal. 63)

Demikian bait pembuka puisi ini. Empat bait setelahnya adalah hal-hal yang disarankan peramal yang terbagi ke dalam dua kategori. Perintah dan pengingatan. Kemudian ditutup dengan bait di mana Tuhan menjadi menyesal. Sekali lagi, sebuah metafora.

            tetapi jika kau tak mampu melakukannya,
            apapun yang terjadi, jangan mau menangis.
            sebab air mata itu bahkan tuhan pun
            terus menyesal telah menciptakannya.

Bahkan bagi pembaca yang mengulang-ngulang teks pada bait terakhir ini. Akan berhenti seketika lalu mengungkapkan: “Adakah ciptaan Tuhan yang tak berguna.” Penjelasan dalam sebuah surah Alquran (Ar-Rahman). Fabiayyi Ala I Robbikuma Tukazziban. Nikmat Tuhan yang manakah yang kau ingkari. Hemat saya, M Aan Mansyur melalui sejudul puisi kembali menawarkan sebentuk penangkapan eksistensi yang terkadang kita sulit luruskan perihal asal muasal dari gejolak sosial yang tengah dihadapi. Tuhan dengan huruf kecil kali ini betul-betul Tuhan yang kita definisikan.

Tiga puisi lainnya. Pohon-pohon tidak Berdaun, Apakah Puisi ini Membenci (Puisi) Hujan, dan Tiga Catatan yang Aku Tulis di Kotamu dan Satu di Pesawat Perihal Catatanmu.Tuhan hadir sebagai harapan dan Tuhan disebut sebagai pengingat akan kelalaian.

            di tengah-tengah begini tahun
            langit adalah tuhan bagi hutan
            (Pohon-pohon tidak Berdaun. Hal. 64)

            sebab bahkan sekiranya bertahun-tahun tuhan
            mengguyur tubuh kita ini dengan hutan hujan,
            panasnya kata-kata di koran yang melukai kita
            tak akan mampu sembuh sebagaimana semula
            (Apakah Puisi ini Membenci (Puisi) Hujan. Hal 132)

            sejumlah anak kecil menangis, orang-orang tua panik
            dan berpegangan pada doa, pada lengan-lengan tuhan
(Tiga Catatan yang Aku Tulis di Kotamu dan Satu di Pesawat Perihal Catatanmu. Hal. 159)

Demikianlah M Aan Mansyur merekam realitas dalam puisinya, sekaligus menantang kita untuk berfikir, merenung, dan mulai mempertanyakan sesuatu. Kata-kata mengalir menolak bentuk mekanis dan kurungan sempit sebuah definisi baku. Yang jelas kata sudah tersusun untuk menjelaskan dirinya sendiri. Sebagaimana penggunaan huruf kecil untuk menulis Tuhan. Kita pun semestinya bertanya. Apakah Tuhan terpengaruh dengan huruf kecil itu. Mari renungkan.

Saya berterimah kasih atas puisi-puisi yang ditulis M Aan Mansyur. Beberapa diantaranya mengundang saya untuk mengembangkannya ke dalam karya tulis lainnya. Sejudul puisi M Aan Mansyur tak hanya merekam kita dalam suatu ketika, tetapi juga nafas tambahan dari kelelahan merampungkan sebuah rencana kerja.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip sejudul puisi lagi. Yang saya kira merekam harapan saya (kita) di sana.
           
            aku menulis puisi sebab waktu kanak-kanak aku ingin menjadi
            seorang astronot-dan tidak mau guru dan teman-temanku
            tertawa sekali lagi karena ibuku janda penjual tomat. aku
            menulis puisi agar mereka tahu anak penjual tomat juga boleh
            menyimpan cita-citanya di bulan, di langit, atau di tempat yang
            yang jauh lebih tinggi.
            (Kepada Cucu Seorang yang Menolak Aku Menjadi Menantu. Hal. 139)

***

Makassar, 13 Juli 2012
Versi pendek dimuat di Rubrik Apresiasi Fajar, 29 Juli 2012

Komentar

Postingan Populer