Candu Roem
Sampul edisi pertama (Dok. Kamar Bawah, 2003) |
Sisa
sore itu merupakan perjumpaan yang kelak membuatku tak lagi menemukan sinar
matahari pagi. Dampak lainnya, saya menjadi malas melangkahkan kaki ke sekolah.
Padahal, bersekolah di Makassar adalah satu-satunya alasan meninggalkan kampung
halaman di Pangkep dan berpisah dengan teman-teman masa SMP.
Tetapi,
saya tidak menyesali perjumpaan dengan seorang mahasiswa asal Fak-Fak, Papua
Barat yang menimbah ilmu di fakultas sastra Universitas Muslim Makassar. Noy,
begitulah ia disapa. Lelaki berambut kriting inilah yang menyerahkan sebuah
buku tipis, di sampulnya tertera: Sekolah
Itu Candu. Saya meraih dan langsung membacanya.
“Buku itu boleh kau pinjam, jika sudah tuntas, kembalikan!”
Noy mengingatkan.
Sekali
anggukan dengan sorot mata tajam saya peragakan, setelahnya langsung saja
bersandar di dinding tembok sekretariat UKM Retorika. Tenggelam dalam lautan
kalimat hingga azan magrib mengingatkan rehat.
“Mau kemana, kawan!” Ujar Noy yang
berada di sampingku.
Kali
ini saya membalasnya dengan senyum manis. Kuyakin, ia sudah paham.
“Apakah kau tidak membaca itu,”
ia menunjukkan catatan di papan tulis.
“Hmmmm, ya, ya, dari kemarin saya membacanya,”
Berada
di sekretariat Retorika serasa menemukan diri dalam kubangan lumpur. Tenggelam
dan lupa kalau jarum jam terus berputar. Saat itu membaca adalah kebutuhan yang
tak terkira. Noy, misalnya, ia tahan tidak mengasup makanan seharian asalkan ia
membaca berjubel buku. Rihatnya hanya buang air kecil. Selebihnya adalah
membaca dan membaca.
“Membaca buku dua bab, itu sama dengan mendirikan salat
sunat 12 rakaat.” Tulis Noy di papan tulis. Itu doktrin
yang dibangun, dan boleh jadi sebuah neraka yang sedang didirikan untuk dirinya
sendiri. Usahanya ini kelak membuatnya mendekam selama sepuluh tahun di kampus.
Telat menuntaskan studi strata satu.
Saya
masihlah siswa kelas tiga ketika buku itu menemaniku melupakan salat magrib.
Tahun 2003 kala itu, tahun genting bergiat belajar agar lulus dari ujian akhir.
Saya kira Noy mengetahuinya, apakah ia ingin menjebakku? Entahlah, tetapi saya
memperoleh semangat yang lain dari buku itu. Semangat untuk tak sepenuhnya
percaya dengan mitos sekolah. Roem Topatimasang, lelaki asal Masamba, Sulawesi
Selatan, penulis buku itu dengan tegas mengingatkan kalau sekolah itu bukan
hanya candu, tetapi telah mati. Sungguh, pernyataan ini membuat otakku blank. Noy benar-benar telah menjebakku.
Saya akan pulang kampung tanpa ijazah di tangan, itu bayangan yang menghampar.
Karena
buku itu hanya dipinjamkan, ogah rasanya mengembalikannya. Buku kecil itu telah
menjadi kawan yang jujur, saya menemukan penjelasan yang wajar-wajar saja. Muda
dicernah dan membuka cakrawala. Saya tak ingin mengecewakan Noy dengkan
berpura-pura mengatakan kalau buku itu telah raib entah kemana. Buku itu saya
kembalikan juga sambil terus mencarinya di seluruh tokoh buku yang ada di
Makassar.
Sialnya,
toko sekelas Gramedia pun tak menjualnya. Pilihannya sisa satu, memfotokopi
buku itu dengan jilid serupa skripsi. Tetapi, jika sudah jodoh, maka akan
berjumpa kembali. Buku itu saya dapatkan juga di toko buku masjid Al Markaz.
Bentuknya yang kecil harus menjadi penyanggah puluhan buku tebal. Saya tidak
tahu mengapa pemilik toko buku itu memperlakukannya demikian, bukankah ia sudah
tahu jika ingin menyusun buku dengan cara menumpuk, maka buku berukuran
kecillah yang harus berada di atas. Itu logika
dasar.
Usai
menyodorkan selembaran uang dua puluh ribu rupiah, saya langsung membuka dan
mencari judul Sekolah sudah Mati, ada pembahasan yang sudah saya lupa mengenai hal itu. Sebab
apa sekolah dikatakan mati. Roem memberikan analogi berupa bohlam yang tidak
bisa lagi menyala, itu artinya sudah tidak berfungsi lagi. Dan, pada saat
itulah bohlam dikatakan telah mati. Kata kuncinya adalah fungsi.
Nah,
bagaimana dengan sekolah. Roem menerangkan perihal taksonomi pendidikan yang dicanangkan
Benyamin S Bloom, psikolog pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat itu membagi
tiga tujuan pendidikan. Pertama, Cognitive
Domain, yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual. Kedua, Affective Domain berupa
perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat,
sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Ketiga, Psychomotor Domain berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,
berenang, dan mengoperasikan mesin.
Bagi
Roem, ketiga kategori itu sudah tidak berfungsi lagi. Faktanya pendidikan di
negeri ini pelaku korupsi didominasi oleh mereka lulusan sekolah tinggi dan
berpredikat intelektual. Pada wilayah itu pula jelas aspek perasaan telah tiada
karena tega melakukan tindakan yang menyengsarakan orang lain dan mementingkan
diri sendiri. Dan, banyak lulusan pendidikan yang tidak menguasai keterampilan
sesuai bidang yang telah dijalani selama sekolah. Kritik Roem memang realistis,
tetapi itulah yang yang terjadi dengan pengapdosian taksonomi Bloom.
Banyak
hal yang saya rasakan dengan buku ini, salah satunya saya menjadi “Nabi” bagi
pelajar seangkatanku. Buku itu saya rekomendasikan sebagai buku yang wajib
dibaca. “Bacalah atas nama kebenaran,” demikian
saya berucap menyodorkan buku itu. Usaha ini tak sepenuhnya berhasil, banyak
pelajar yang menolak dan membalasnya kalau membaca buku agama jauh lebih
penting.
Saya
tidak menyerah, layaknya Nabi yang diutus Tuhan untuk menyebar kebenaran. Saya
bertahan walau mengalami penolakan, cacian, hingga ancaman. Kata yang terakhir
sepertinya alay. Tetapi tak apalah
untuk menjelaskan jalannya perjuangan.
Saya
ingat, di akhir tahun 2003 buku itu saya hibahkan pada seorang pelajar dari
Soppeng, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan berjarak sekitar 200 km dari
utara kota Makassar. Dewi, nama pelajar dari SMA Negeri 1 Soppeng itu.
Kedatanggannya ke Makassar guna mengikuti workshop pelajar se Sulawesi Selatan
yang diselanggarakan atas kerja sama Perhimpunan Pelajar Makassar Indonesia
(PPIM) dengan Gama College Indonesia.
Dari
puluhan peserta dari pelbagai kabupaten yang hadir, Dewi terlihat menonjol.
Dia, misalnya, selalu aktif bertanya di setiap sesi materi. Itulah alasan
mengapa saya memilihnya sebagai pelanjut menjaga buku itu. Ia tersenyum dengan
bahagia kala menerimanya.
Beberapa
bulan selanjutnya, ketika Noy menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Soppeng.
Poskonya mengadakan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) di SMA Negeri 1 Soppeng.
Tak dinyanah, Dewi salah satu peserta dan seperti biasa aktif bertanya. “Waktu saya mengisi materi tentang
pendidikan, anak ini tampil bertanya dan mengkritisi dunia pendidikan dan
menunjukkan buku Sekolah Itu Candu,” tutur Noy kepada saya kala
menceritakan pengalamannya.
“Ketika saya tanya dari mana memperoleh buku itu, dia
menyebut namamu,” ucap Noy lagi.
Saya
hanya tersenyum dan bahagia mendengarnya. Sayang, kala itu saya belum memiliki
telepon genggam dan dia pun belum mengantongi benda pintar itu. Setelah buku
itu saya serahkan, saya tidak pernah lagi bertemu dengannya termasuk ketika Noy
menceritakannya. Hingga catatan ini saya tulis, saya makin tidak tahu
rimbanya. Mencarinya di Facebook dan
Twitter sudah saya tempuh, berharap
bisa menautkan catatan ini di dindingnya. Hasilnya nihil.
Masih
di tahun 2003, ketika melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Saya menemukan buku
ini di Shoping Center, pasar buku di
kota berlabel pendidikan itu. Tak tanggung-tanggung, saya memborong 10
eksmplar, jika saja stoknya masih ada, maka merelakan saku tandas sudah bukan
masalah. Buku itu kemudian saya bagikan gratis kepada sejumlah kawan-kawan
pelajar sebagai kenang-kenangan.
Candu
Roem memang membuatku ketagihan.
***
Makassar,
4 Desember 2013
Komentar