Kau yang di Dalam Sana


Apa kabarmu hari ini, apakah kau tenang-tenang saja. Kuharap demikian, saat ini saya belum bisa menemanimu sepanjang hari. Tenanglah di sana, tak lama lagi kita akan berjumpa di kehidupanmu yang kedua, saya menyebutnya demikian. Sebab di duniamu yang sekarang kau hanya berdiam saja. Kau belum mengenal riuhnya negeri ini menjelang hajatan pemilihan di mana pohon-pohon pun berganti daun dengan wajah-wajah. Ini tidak lucu, tetapi kita dipaksa tertawa. Kelak, kau akan menyaksikannya sendiri atau, bila kau muak, kau bisa mengubahnya.

Saat ini kutulis, ibumu tidak membalas pesan pendek yang kukirim. Mungkin saja ia sedang tertidur, atau tak punya pulsa. Saya pikir, dugaan kedua lebih tepat. Begitulah salah satu ciri interaksi di kehidupan kedua ini. Memang cepat, tetapi semuanya perlu melalui perantara yang dasarnya adalah uang. Sebab ini pulalah, saya jauh darimu. Dalam seminggu, hanya dua hari saya bisa mengusapmu di balik kulit perut ibumu.

Dua bulan lalu, ibumu mengeluhkan sakit di gusinya dan pinggulnya serasa mau copot. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Mencuci piring pun sepertinya sedang mencangkul di sawah. Hal ini saya sampaikan pada nenekmu, katanya itu hal wajar bagi perempuan yang usia kandungannya baru sebulan. Saya sungguh khawatir sebagaimana ibumu.

Dokter menganjurkan ibumu agar banyak meminum susu. Sayangnya, ibumu tidak menyukai susu ibu hamil yang kubelikan di super market yang banyak berdiri di sepanjang bahu jalan. Tiap kali susu itu melewati tenggorokannya, seketika pula ia muntahkan. Apakah kau kecewa di dalam sana, atau mungkin kau marah sehingga kau mengambil nutrisi dari gusi ibumu yang menyebabkannya kesakitan.

Tetapi, saat ini ibumu sudah rajin minum susu. Ia tak lagi mengkonsumsi susu khusus ibu hamil, melainkan susu cokelat kegemarannya sedari dulu. Ia bahagia karena dokter menganjurkannya. Ia tak lagi mengeluh kesakitan, kuharap kau turut bahagia di dalam sana.

Saat ini ada banyak pantangan yang harus kuhindari, kau akan lahir dari rahim perempuan Bugis. Tahukah kau, saya dilarang untuk menghabisi nyawa mahkluk hidup. Termasuk nyamuk sekalipun. Karena itu, saban malam saya tidur dibungkus kelambu. Bahkan, saya hanya diam saja kala nenekmu berburu tikus yang memakan anak ayamnya. Begitulah, pandangan dunia Bugis, sangat menjunjung tinggi nilai kehidupan.

Selain petuah itu, saya mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutmu. Tiga bulan lagi, kau genap tujuh bulan di dalam sana. Di usia kandungan itu, maka ibumu harus menjalani ritual mappasili, itu cara Bugis menyambut anak manusia yang sebentar lagi akan berjumpa dengan matahari. Dan, kau akan disambut dengan air mata kebahagiaan.

Kelak, jika kau sudah keluar dan menjumpai takdirmu, janganlah cengeng. Kehidupan kedua ini keras, saya dan ibumu sungguh merasakannya. Kau jangan menuntut banyak soal harta, sebab saya ini bukan anaknya George Soros, pelaku bisnis keuangan dari Amerika itu. Jadi, lawanlah takdirmu sendiri. Di rumah nenekmu yang juga ibuku ada sebuah kamar, jika tidak salah, di sana terdapat ratusan judul buku. Itulah warisanku untukmu.
***

Makassar, 20 September 2013




Komentar

Postingan Populer