Pemuda, Orang Tua, dan Perubahan


Seorang pemuda berusia 22 tahun berprofesi sebagai guru anak-anak di sebuah perkebunan di Deli (Sumatra Utara). Di sana, ia melihat ketimpangan sosial antara kehidupan getir kaum buruh dan kemewahan tuan tanah. Ia tidak terima realitas itu. Sebagaimana dirinya juga tidak diterima oleh petinggi perusahaan perkebunan.

Pemuda itu sadar kalau untuk mengubah keadaan, tak cukup dengan berdiam diri dan mengiba. Ia meninggalkan profesinya dan melanglang ke tanah Jawa. Pada 24-25 Desember 1921. Pemuda itu sudah berusia 24 tahun. Dan, terpilih sebagai pemimpin partai komunis Indonesia.

Rupanya, jalan politik adalah ruang yang dipilih untuk menggelorakan perubahan. Alasannya tepat, meski jalan hidupnya semakin berliku dan penuh misteri. Namun, pemuda itu menjadi pemantik bagi kelanjutan pergerakan kaum pribumi di Hindia Belanda. Ia mewariskan cara baca untuk melawan penjajah. Kita mengenalnya sebagai Tan Malaka.

Ya! Pemuda dan perubahan, dua kata ini sepertinya tak terpisahkan. Terpaut untuk saling menguatkan. Meski bisa menjadi hegemoni yang menguasai kita sejauh ini. Sebab perubahan selalu diidentikkan dengan pemuda. Jika menuntut bukti, gerakan reformasi 1998 adalah salah satunya. Negeri ini bahkan merawat ingatan, kalau pemuda pernah duduk bersama dan melahirkan sumpah. Tegasnya, pemuda adalah harapan.
_

Pemetaannya saya kira bukan terkait usia, kategori ini hanyalah penanda. Sebab, perubahan erat kaitannya dengan tindakan dan cara pandang. Sekali lagi, sejarah mengingatkan, kronologis proklamasi 17 Agustus 1945 tak bisa dilepaskan dari kiprah pemuda. Wikana, salah satu tokoh pemuda kala itu. Berani menentang Soekarno. Ia bahkan bersitegang dengan presiden pertama RI itu. Pasalnya, Soekarno menolak memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sesegera mungkin. Sebab inilah, para pemuda merancang penculikan sebagai jalan mempercepat perubahan. 

Syahdan, revolusi 1979 di Iran, yang menumbangkan rezim Syah Pahlevi, itu dinahkodai seorang tua, saat itu Imam Khomeini telah berusia 77 tahun. Namun, semangatnya selaku penuntut perubahan tak terbendung. Tentu ia tak sendiri, ada banyak ulama berusia lanjut yang turut dalam pergolakan. Di antaranya, filsuf Murtada Muthahari yang lebih dulu menjadi syuhada sebelum revolusi yang menumbangkan despotisme yang dijalankan penguasa.

Kembali di negeri sendiri. Gusdur yang hanya menjabat dua tahun sebagai presiden (1999-2001), setidaknya telah menancapkan jalan perubahan dalam situasi yang lain. Ia tidak menumbangkan sebuah rezim, juga tidak menggelorakan gelombang massa sebagaimana Imam Khoeimini. Melainkan, posisinya harus dilihat sebagai kepala negara. Pendekatannya melalui manajemen perubahan yang mungkin dianggap nyeleneh.

Mula-mula, ia membubarkan dua kementrian. Departemen penerangan dan sosial. Mendekati etnis Tinghoa dan masyarakat Papua secara kultural. Hasilnya, Imlek menjadi hari libur nasional. Dan, Irian Jaya diubah menjadi Papua. Tak hanya itu, pun ia menggelorakan untuk menghapus Tap MPRS No XXIX/MPRS/1996 yang melarang segala paham Leninisme dan Marxisme.

Akan tetapi, hukum kausalitas tetap berlaku. Setiap gerak perubahan melahirkan sebab. Tindakan Gusdur sulit diterima, setidaknya bagi kalangan yang kontra dengan idenya. Ujungnya, ia tergelincir. Tepatnya digelincirkan oleh sikap kekuasaan dan wewenang.

Perubahan memang selalu menolak kompromi, itu kata lain dari revolusi. Karena itu, Gusdur tentu paham kalau mengusik kenyamanan yang sudah bertahan lama. Adalah tantangan utama yang harus dihadapi. Itulah risiko.

Masih dari dalam negeri. 25 Maret lalu tahun ini, ada riak dari bawah, salah satu kelompok masyarakat sipil yang menamakan diri Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) merancang aksi untuk mendorong percepatan pergantian pemerintahan melalui percepatan pemilihan. Hal ini kemudian diterjemahkan sebagai gerakan makar oleh pihak istana.

Terjadi benturan, hak masyarakat yang dijamin konstitusi untuk meyampaikan pendapat berhadapan dengan kekhawatiran akut sang kepala negara. Klimaksnya, untuk menghindari benturan dengan aparat, MKRI mengubah strategi, aksi protes itu disitir menjadi ejekan dengan membagi sembako kepada masyarakat.

Ratna Sarumpaet, perempuan berusia 63 tahun yang menjadi ketua lembaga ini. Tentulah menggelitik kita, ia adalah perempuan tua yang tak henti menggelorakan perubahan. Sejarah keberaniannya dapat ditengok di era Orba, kala ia mementaskan monolog ‘Marsinah Menggugat’ di sejumlah daerah.

Seruan perubahan yang diteriakkan MKRI memang tidak terwujud, hal ini mengingatkan kita dengan ribuan interupsi yang berhamburan dan terlupakan seiring hari berputar. Tapi, saya kira tidak benar-benar hilang. Teriakan itu boleh jadi impian kita semua yang merindukan perubahan. Jadi, apa yang dititahkan MKRI, saat ini hanya mengendap saja. Cepat atau lambat, teriakan itu akan muncul atau tumbuh kembali. Tidak ada kekuasaan despotik yang abadi, yang ada hanyalah protes itu butuh waktu untuk menumbangkan.

Situasi perubahan memang tidak ditakdirkan, melainkan harus dirancang, diteriakkan, dikobarkan, dan diapliksikan. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Orang muda maupun berusia lanjut, hanyalah sebutan saja. Sebab, perubahan itu cara pandang yang menolak mengendap.


Komentar

Postingan Populer