Keputusan Itu Bukan Kebijakan
Sebagian
besar di antara kita, pasti sudah berurusan dengan kantor pemerintahan, mengurus KTP
di kantor desa/kelurahan,
misalnya. Sebagai
jaringan pemerintahan yang paling dekat untuk dijangkau.
Pada
umumnya, ketika sesuatu yang Anda urus itu mengalami kebuntuan, maka petugas
yang melayani akan mengutarakan kalau belum ada keputusan dari atasan untuk
menegaskan
kebuntuan pengurusan yang dimaksud. Atau sebentuk penjelasan yang tak kalah abstraknya. Telah terjadi perubahan kebijakan
dari atas (pemimpin).
Situasi
seperti ini boleh jadi bukan hanya di instansi pemerintahan saja. Namun, pengalaman yang sama dapat pula
dijumpai pada instansi swasta. Di mana penggunaan kata ‘keputusan’ dan ‘kebijakan’ adalah hal mujarab untuk menutup jalur
komunikasi.
Seringkali memang, kita mengalami kebuntuan negosiasi
hanya karena kedua kosa kata ini. Lalu, apakah motif dan makna yang sesungguhnya
dari kedua kata kerja tersebut? Benarkah keputusan jauh melampaui sebuah
kebijakan, ataukah keputusan sudah tentu hasil akhir dari kebijakan. Pertanyaan
ini tentulah membutuhkan analisis gramatikal yang komprehensif.
Karena
kita menggunakan contoh kasus seperti yang disebutkan di atas, jadi arah
pembahasan lebih diarahkan pada pengalaman makna yang sudah menjadi lazim
digunakan dalam komunikasi setiap hari. Dalam jalinan komunikasi personal yang
terjadi sudah tidak menjadi soal tentang adanya distorsi makna dari penggunaan
kosa kata yang digunakan, intinya makna dasar (baca: kepentingan) yang hendak
diutarakan sudah ditangkap dan dipahami oleh sang peneriman pesan (lawan
bicara).
Apalagi
pada situasi di kantor pemerintahan di mana sebuah hierarki sangat tegas dan jelas. Bawahan tentu tak
ingin melampaui kewenangan pemimpin untuk bertindak. Jadi, alur komunikasi yang terbangun pastilah
berputar pada pemenuhan maksud kedatangan seseorang yang hendak mengurus
sesuatu. Jika yang maksud seseorang yang datang belum bisa diselesaikan, maka
tidak ada lagi komunikasi.
***
KBBI menjelaskan ‘keputusan’ sebagai ketetapan dan kesimpulan. Artinya,
ada sebuah proses yang telah dijalani dalam melahirkan sebelum menetapakan
suatu kesimpulan, yang nantinya menjadi petunjuk untuk dijalankan.
Sedangkan ‘kebijakan’ dimaknai perilaku kepandaian dan kemahiran.
Ditegaskan lagi sebagai rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, serta cara bertindak.
Intinya, yang hendak
ditegaskan dari sebuah kebijakan, ialah hasil olah pikir yang dilandasi
kematangan dalam menetapkan sesuatu. Dan, tidak ada lagi perdebatan setelahnya,
karena memang dapat diterima dengan baik berdasarkan rasionalitas. Kita bisa
bercermin pada contoh kasus yang telah disebutkan sebelumnya. Bahwa kita hanya mendengar
dua kata, kalau bukan ‘keputusan’ pasti ‘kebijakan’. Seolah keputusan sudah
menjadi kebijakan. Celakanya, hal yang demikian berkaitan dengan persolan
publik.
Jika ditilik, pemerintah
punya andil besar dalam mengaburkan makna kebijakan dan keputusan ini. Soal
kenaikan harga BBM, misalnya. Yang lebih sering terdengar tentu kata
‘kebijakan’ guna menjelaskan dan menerangkan alasan menaikkan harga. Padahal,
pemerintah bukannya tidak menuai kritik dan masukan dari sejumlah pengamat.
Kalau menaikkan harga BBM sudah pasti melahirkan gejolak.
Di sisi lain, isu BBM
barang tentu komoditas politik yang bisa dijadikan tameng dalam mengukuhkan
suatu niat. Pengamat energi, Dr Kurtubi, menjelaskan kalau opsi menaikkan BBM,
itu bisa dilakukan pada 2011 atau 2012. Akan tetapi, hal ini dibiarkan ditunda
hingga tahun konsolidasi politik saat ini. (Kompas:18/6).
Terlepas dari perbedaan
pandangan dan kepentingan politik 2014, situasinya saya kira bukan di situ
dalam melihat dampak dari menaikkan harga BBM atau tidak. Melainkan, ini soal
keberpihakan pemerintah, masyarakat tentu tak ada waktu untuk menganalisis
serta mengetahui niat terselubung itu, apalagi menghafal pasal-pasal regulasi
yang ada. Tapi, masyarakat cukup menilai dengan moral.
Jaringan televisi yang
setiap hari melayar di rumah masyarakat, dengan sendirinya menjadi petunjuk
untuk menetapkan dasar. Kalau pemerintah sepertinya tidak berpihak. Sejak dulu,
landasan kepemimpinan adalah moral. Itulah makanya pengangkatan seorang
pemimpin selalu diselimuti dengan hal yang bersifat sakral.
Cerminan ini kemudian
berlanjut pada titah pemimpin manakala ada sesuatu yang perlu ditegaskan. Di
sinilah dituntut kebijakan seorang pemimpin, bukan sekadar memberikan
keputusan. Sebab kebijakan adalah produk olah pikir yang matang. Dan, tentu
saja keberpihakan pada mereka yang dilemahkan.
Namun, moral itu tidak lagi
terlihat. Keputusan dan kebijakan sudah tidak bisa lagi ditakar. Hal ini
mungkin ada kaitannya proses pemilihan kepemimpinan yang selalu riuh dengan
benda-benda. Mengedepankan intrik dan kepentingan kelompok serta menyepelekan keluhuran.
Jadinya, kepemimpinan mengambang. Terjebak dalam rotasi masalah yang tak kunjung
bisa diselesaikan.
Bahkan rapat paripurna di
DPR ketika membahas persoalan publik ini. sepertinya hanya mempertontonkan
naskah sandiwara. Serius, namun menyakitkan. Tidak ada kebijakan yang lahir,
semuanya tunduk pada keputusan atasan. Seperti yang sering kita dengar kala
mengurus sesuatu di instansi pemerintah.
Setidaknya, dugaan ini
menjadi kuat ketika tarik ulur penetapan keputusan penaikan harga BBM kembali
menjadi pemantik rusuh sosial di sejumlah daerah. Sedikit banyaknya, tentulah disebabkan
karena kaburnya batas keputusan dan kebijakan. Sehingga komunikasi menemui
jalan buntu.
***
Makassar, 18 Juni 2013
Dimuat di Tribun Timur, 20 Juni 2012
Komentar