Kelas Menulis yang Tak Biasa dari Asdar Muis RMS
Asdar Muis RMS mengisi materi kelas menulis |
Langit masih cerah, kala sejumlah pelajar SMU dan mahasiswa
serius mendengarkan seorang lelaki tambun berbicara. Sejam kemudian, gerimis
mulai turun. Asdar Muis RMS, lelaki tambun tersebut, sepertinya masih betah
duduk berselonjor di selasar Tribun lapangan Citra Mas, Pangkep.
Kunjungannya ke Pangkep kemarin (9/6), selain menghadiri
pemakaman seorang kemanakannya yang tewas tertabrak mobil. Ia juga memenuhi
undangan Komunitas Pelajar Lentera Pangkep (KPLP) untuk memberi materi
penulisan kreatif. Hanya saja, jangan mengira kalau penulis buku Tuhan Masih
Pidato ini, mengisi materi layaknya seorang dosen atau guru di ruang kelas.
“Banyak sekolah
yang menolak saya, karena tidak setuju dengan metode mengajar yang kujalankan.”
Katanya. Ya, siang itu, eks jurnalis sejumlah media massa lokal dan nasional
ini tampil apa adanya. Menggunakan media apa saja untuk meransang imajinasi
peserta. Misalnya, Ia membuka penutup botol air kemasan, lalu mengajukan tanya.
“Apa ini!”
“Penutup botol!”
Tanggap peserta
Menanggapinya, penutup botol itu lalu digarukkan di lengannya.
“Loh! ini kan, untuk menggaruk.” Katanya datar.
Peserta diam sebelum mengulum senyum.
Tak hanya penutup botol, tisu pun dijadikan alat peraga
untuk mengecek daya tanggap peserta. Berkali-kali, ia memberikan analogi untuk
menentukan konsep dan tema sebelum menuliskan sesuatu.“Banyak yang meniru gaya penulisan saya. Namun, tak pernah ada yang
bertanya perihal saya menulis catatan harian.” Ucapnya. Di facebook, Asdar Muis memang rutin
mempublikasikan karianya. Ia memiliki banyak proyek penulisan, seperti: Salah
Makassar Berbahasa, Selamat Pagi Indonesia, Renungan Asal, Malu, dan Malu Lagi.
Khusus edisi ‘Malu Lagi’, seri ini melanjutkan sekuel
‘Malu’ yang telah tuntas selama setahun (seri pertama dimulai pada 8 Mei 2012) tanpa
jeda. Atas permintaan masyarakat facebooker,
Asdar Muis melanjutkan proyek penulisan ini, karena penggemar tulisan ‘Malu’
sangat diminati. Produktifitas menulis jebolan Asdrafi ini, memang tak terbendung.
Ia sendiri menganggap menulis sebagai terapi merawat ingatan.
***
Gerimis masih setia, sesetia
peserta menyimak arahan pendiri Komuitas Sapi Berbunyi ini, yang 16 Mei lalu
mementaskan lakon ‘Perut Bicara’ di gelaran Art’s Day 35 tahun Sanggar Merah Putih Makassar di
gedung Societeit de Harmoni.
Tak lama kemudian, Asdar
Muis mengajak peserta mengasup Sup ceker ayam di Tala-Tala. Salah satu tempat
makan favoritnya yang selalu dikunjungi jika ke Pangkep. Sesampai di warung
sederhana itu, gerimis berganti hujan lebat. Dan, di luar dugaan, ketua tim
penulis buku Mata Qalbu Sahabat, biografi bupati Pangkep, Syamsuddin Hamid. Memenataskan
sebuah lakon.
Ia menantang hujan di
pinggir jalan. Mobil dan kaus oblongnya menjadi properti pertunjukkan tanpa
konsep itu. Tapi, ia tampil total. Pengunjung lain yang melihatnya, sulit
menerima kelakuan lelaki tua ini. Pemilik warung pun, sempat berbisik di
telinga Irma, anak perempunnya. “Bapakmu,
agak gila juga, ya!” Ucapnya.
Saat mentas di pinggir jalan |
Tapi itulah Asdar Muis RMS,
setiap tempat adalah panggung. Ia bahkan selalu mementaskan lakon di kamar
mandi rumahnya. Sore itu, tak hanya mentas. Ia juga memperkenalkan gaya baru
pembacaan esai. Mula-mula, ia meminta masukan satu suku kata dari setiap orang.
Setelah terkumpul, ia meminta lagi untuk ditetapkan satu judul. Berbekal itulah,
ia merangkai kata dalam membacakan esai. Sungguh menakjubkan.
Hujan mulai reda, Asdar
Muis masih harus membesuk seorang kawannya yang sedang sakit sebelum pulang ke
rumahnya. Peserta memilih pamit dengan ketakjuban di benak masing-masing. “Kapan lagi bisa bersama raja penulis
biografi ini.” Mungkin harap itu yang tersimpan.
***
Pangkep - Makassar, 10 Juni 2013
Komentar