Peluru yang Tak Kembali (Surat Imajinatif buat Wiji Thukul)

Wiji Thukul


Saat surat ini kususun untuk mengingatmu, televisi tengah menyiarkan slide kerusuhan Mei 1998.  Militer dan demonstran kejar-kejaran, ada juga yang terinjak dan terkena kepalan tangan atau ujung sepatu. Saya tak sanggup menuntaskannya, kupilih ke kamar dan membaca kumpulan puisimu. Aku Ingin Jadi Peluru.

Yang terhormat penyair miskin.

Sungguh, kami tak tahu di mana harus menabur bunga. Kami bahkan masih bermain dadu, kalau tidak dikatakan berdebat. Antara menduga kau diculik atau bersembunyi. Yang tersisa, hanya kata-katamu yang selalu kami ulang berulang kali. Hanya ada satu kata: Lawan!

Kau bilang, kau ingin jadi peluru. Pelatuk jenis apa yang meluncurkanmu hingga kini kau belum kembali. Bukankah 1996 kau telah melesat setelah pamit pada istri dan anakmu yang belum bisa menggambar wajahmu kala itu. Paling tidak, kami tahu kau telah tertambat di jantung sasaran yang kau bidik, ataukah kau meleset dan melaju bersama angin menuju titik perhentian. Semestinya kan begitu. Berjalan sebagaimana hukum alam, dan kami harusnya tahu.

Kadang kami kecut merenungkan semua ini, sebegitu bahayakah puisi bagi para jenderal. Aneh! Kami menyimpulkannya. Padahal tubuhmu begitu ringkih, kami bahkan tak yakin kalau kau mampu berlari dengan sepasang lars membalut kedua kakimu. Tapi mengapa! Sekali lagi, kami cukup pada kata itu, yang sebenarnya bukan tanya, melainkan keheranan.

Seperti yang kau tulis: Andai kami bunga, maka kami bunga yang tak diharapkan tumbuh. Lantas, bunga apakah yang layak bersemi di tanah ini, bukankah di negeri ini segala macam tumbuhan dapat hidup, tongkat kayu dan batu pun bisa jadi tanaman. Koes Plus merekamnya dalam tembang.

Ataukah kau telah menulis puisi yang menyebabkan petinggi negeri ini sakit gigi. Wah! Kelucuan apalagi itu, bukankah puisi adalah doa. Jika demikian, doa-doa yang kau panjatkan rupanya telah mengganggu lelap “Tuhan”. Kau dicap sebagai pengumbar doa yang terlarang, tak sepantasnya diucap ketika para jenderal sedang rapat.

Oh, iya! Perlu saya sampaikan, majalah Tempo edisi 13-19 Mei, menurunkan edisi khusus mengenai sepak terjangmu. Juga memberikan sisipan berupa buku kecil yang memuat puisi-puisimu. Tapi saya tidak berani menyebut kalau itu adalah nisan terbarumu, saya masih mengganggap kau masih hidup. Saat ini kau hanya berdiam di satu tempat guna merampungkan buku puisi terbarumu. Goenawan Moehammad menjuduli catatan pinggirnya, Thukul. Katanya, kau adalah catatan kaki. Dalam sebuah kitab besar sejarah Indonesia, namamu bukan tokoh di halaman tengah, tapi di bawah dengan huruf kecil-kecil. Namun, itu penting untuk diketahui.

Kala kau dalam pelarian. Istrimu, Sipon, setia menerima cibiran dari para tetangga yang mencapnya pelacur . Pasalnya, ia diendus sering keluar masuk hotel. Padahal kegiatan tersebut merupakan ruang agar ia bisa melepas kangen denganmu. Kau lalu menitip puisi buat kedua buah hatimu, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Kau berpesan:

Kalau kelak anak-anak bertanya,  mengapa dan aku jarang pulang
Katakan
Ayahmu tak ingin jadi pahlawan
Tapi dipaksa menjadi penjahat oleh penguasa yang sewenang-wenang

Sedih sekaligus bangga kami mengejanya, WIji Thukul. Kita tahu kalau kematian itu niscaya meski tanpa dipercepat. Jika kau benar-benar telah mati, pergilah, kami pasti menyusulmu, Martir.

***
Makassar, 15 Mei 2013



Komentar

Postingan Populer