Tentang Apa Saja yang Terlintas di Benakku


Hans Bague Jassin

Saya tidak tahu, hendak mengabarkan apa padamu. Padahal, saya ingin sekali proyek penulisan surat ini terus berlanjut. Saya menyebutnya 30 hari menulis surat. Dan, surat kesembilan ini, saya ingin mengirimkannya untukmu.

Terhitung, sudah dua bungkus kretek tersulut, tiga pesan di inbox Facebook, dua judul buku telah saya baca ulang, beberapa alamat website saya kunjungi, sekali pertemuan dengan seseorang untuk menerima masukan, dan sesudahnya, saya tertidur 7 jam. Referensi yang saya deretkan ini kurasa sangat cukup untuk berkirim surat kepadamu, tuan Jassin. Tetapi, saya merasa telat memenuhi jadwal yang saya tentukan sendiri.

Saya berkeluh, nasihat yang menghampiri, saya tak memiliki kewajiban untuk menulis. Saya menyadari itu. Namun, saya sudah menyusun peta perjalanan 30 hari ke depan. Saya tak mau pulang sebelum sampai di hari ketigapuluh.


Baiklah, akan saya kabarkan beberapa hal yang selalu tidak pernah selesai. Apa itu, saya tak membuat patokan, saya mau mengalir saja kebeberapa hal dan apa saja yang terlintas di benakku.

Yang pertama saya kira, pusat arsip kesusastraanmu di Taman Ismail Marzuki yang dalam beberapa kasus tengah mengalami kebimbangan. Mulai dari minimnya dana perawatan dari pemerintah setempat, hingga penambahan buku-buku sastra terbitan mutakhir yang tak sempat dihibahkan ke sana. Soal ini, saya tidak mau lebih jauh cerewet, saya takut menilai, karena saya hanya membaca dari warta yang beredar. Sebab lainnya, saya belum pernah berkunjung ke sana, Tuan Jassin.

Hal kedua, perihal perkembangan ruang untuk menyapa publik. Tak terkira saya bayangkan, jika saat ini kau masih bersua, Tuan Jassin. Berbekal kenekatan, keberanian yang terperih, dan kemudahan menyembunyikan wajah. Anak-anak zaman di negeri ini tengah bergulat dengan takdir kebebasan untuk menuliskan apa saja di dinding Facebook, Twiter, dan di laman Blog, serta media jejaring sosial lainnya yang mereka bisa jangkau tanpa perlu berkelahi dengan soerang redaktur.

Mereka adalah anak-anak negeri ini, dan saya kira, saya salah satunya Tuan Jassin. Bahkan, dari dalam toilet sekalipun, seseorang dengan senyum sumringah masih bisa mengirim puisi kepada kawannya dengan layanan pesan pendek.

Tuan Jassin! Hari ini, di dinding Facebookku, ada pemberitahuan tentang seorang kawan yang berulang tahun. Segera saja saya menulis di dindingnya dengan ucapan yang berulang: Selamat hari lahir. Beberapa menit kemudian, ia membalasnya: Terima Kasih, HB. Jassin, Hahahahah. Saya lalu ingat, kawan yang satu ini, adalah anak-anak zaman yang juga memproklamirkan karyanya di Facebook. Suatu ketika, saya mengutarakan niat untuk mengumpulkan karyanya. Mungkin karena itu, ia menyebut namamu dalam komentarnya itu. Dikiranya saya ini dokumentator gesit seperti Tuan.

Sesaat saya tersadar, setelah kau mangkat. Tak ada lagi sosok yang begitu rajin merawat jejak perkembangan sastra. Tidak ada, Tuan Jassin!

Perihal ketiga saya kira, saya ingin meminta maaf saja, surat ini bukan terkesan terburu-buru. Tetapi memang terburu-buru saya tulis, saya menganggap ada janji yang harus ditepati. Meski itu tidak wajib. Bahwa seorang penulis mestilah merawat kedisplinan dan konsistensi. Karena itu merupakan sebuah jalan dan pengantar bagi pembaca yang meghibahkan waktu untuk mengeja susunan kata yang telah digoreskan.

Saya menemukan itu pada diri Tuan. Di tengah hujatan yang menimpamu. Kau tetap tawadduh menyusun Alquran berwajah puisi. Kau menepikan Pramoedya Ananta Toer yang berteriak di lembaran lenteranya demi sebuah kekonsistenan dan keseriusanmu melahirkan sebuah karya.

Sekali lagi, saya menghaturkan maaf Tuan Jassin! Karena surat ini saya tulis dengan berlari mengejar perputaran jarum jam. Sungguh! Sebelum ketiga jarum itu sepakat menyebut 24.00. Dan surat ini belum saya kirim, maka saya telah berutang dalam proyek penulisan 30 hari menulis surat ini.

Tuan Jassin! Kelak, saya ingin menulis surat lagi untukmu.

***
Makassar, 1 November 2012



Komentar

Postingan Populer