Sastrawan Berwajah Tebal


Pramoedya Ananta Toer

29 April 2006. Kau masih saja menyambut tamumu di rumah sakit. Bagimu, rumah sakit atau penjara sama saja. Kau tetap melawan sebangga-bangganya. Usai tamumu pamitan satu-satu. Menjelang pagi, kau meminta sebatang kretek. Untuk apa? Istri dan anak-anakmu masih mengeja. Tetapi kau tetap ingin melawan. Ya, melawan hingga hembusan nafas terakhir.

Kau tak lagi menulis untuk melawan. Kini, kau memilih kretek sebagai media perlawanan. Kau ingin membuktikan keberpihakanmu kepada petani tembakau sebelum kau pergi untuk selamanya di pagi hari, 30 April 2006.

Letnan Dua. Itu adalah sebuah pencapaian ketika kau berstebuh di dunia militer. Kau memanggul senjata untuk berperang melawan penjajah. Meski, militer pula yang menghancurkan anak-anak ruhanimu. Bila kau mengingat itu semua, tiba-tiba saja raut mukamu menjadi kaku, bibirmu bergetar, seakan ingin mengucap kata paling jijik.

Yang Terhormat Sang Individualis

Sepulang dari Buru. Kau memilih sendiri. Di rumahmu yang besar dengan ragam pohon yang tumbuh. Kau tetap sendiri. Kau tak merawat pembantu untuk menyapu daun-daun kering yang berjatuhan di halaman. Karena kau sendiri yang akan mengumpulkan daun-daun itu lalu membakarnya.

Meski anak-anakmu sudah besar. Tetapi kau tak pernah menyuruh-nyuruh mereka untuk memenuhi kebutuhanmu. Tanganmu selalu belepotan dengan lem. Kau mengerjakan sesuatu. Menyusun kliping koran yang kau persiapkan sebagai ensiklopedia Indonesia. Ya, ensiklopedia untuk sebuah negeri yang merenggut kebebasanmu.

Yang Terhormat Bapak Redaktur.

Kau bilang: “Saya ingin membuka polemik. Jadi, bagi yang punya senjata (pena). Maka ikutlah berpolemik.” Kau menampilkan dirimu sebagai petarung. Di harian Bintang Timur, kau memegang kendali penuh rubrik Lentera. Ruang yang dipersiapkan untuk mendokumentasikan kesenian dan kesusastraan. Dan di sanalah, kau menghajar HB Jasin. Guru sekaligus sahabatmu itu. Lalu, dengan nama Abdullah SP, kau mematahkan pena Buya Hamka.

Lalu apa yang tersisa hingga hari ini. Kematianmu tetap menyisakakan tunas-tunas polemik. Muridmu, Muhidin M Dahlan seolah menjelma Pramoedya Ananta Toer yang baru. Dengan berani ia menerbitkan buku Aku Mendakwa, Hamka Plagiat atau tiga buah buku hasil riset dokumentasi bersama seorang kawannya. Tahukah kau Pram, ketiga buku itu bernasib sama dengan anak-anak ruhanimu. Dilarang beredar oleh Mahkama Agung (MA).

Yang Terhormat Penerima Magsaysay Award

Kau tahu, dengan menerima penghargaan paling bergengsi di Asia itu. Adalah pengantar menuju Nobel Sastra. Dan kau pun tahu, kalau petinggi negeri ini telah membisiki sesuatu kepada pihak Akademi Swedia. Sehingga namamu hanya disebut-sebut saja sebagai nomine. Tetapi, sebenarnya kau tak mengharapkan itu. Kau hanya menulis sebagai tugas nasional seorang pengarang.

Kau tersenyum, ketika lawan-lawanmu yang dulu se rumah. Kini mereka membangun kamar masing-masing untuk mempertahankan suatu ingatan. Itu terjadi di tahun 1995. Kala namamu ditetapkan peraih Ramon Magsaysay Award, oleh sebuah yayasan yang berkedudukan di Manila, Thailand.  Yang satu tetap mengharap pengakuan akan dosa yang pernah kau bangun. Kubu lainnya, menganggap kau sudah menebusnya 14 tahun di Pulau Buru. Terasing dari kerabat dan keluarga, adalah penghapusan celah itu.

Ya, kau tersenyum. Kau seakan memetik buah dari pohon yang telah kau tanam dengan penuh peluh. Di negeri ini, mungkin cuma namamu sebagai pengarang Indonesia yang paling banyak menerima penghargaan bertaraf internasional.

Yang Terhormat Sang Dokumentator

Di manakah kini kliping koranmu yang sudah mencapai delapan meter itu. Apakah itu warisan bagi anak-anakmu sendiri? Tentu saja tidak, kan! Karena saya tahu. Kau ingin menerbitkan sebuah ensiklopedia. Agar negeri ini tak melupakan perkembangan sejarahnya. Sebagaimana kau menganjurkan anak-anakmu untuk menulis catatan harian. Kau bilang, Catatan harian itu sangat penting, karena kita bisa tahu sejarah hidup kita sendiri.

Yudistira, anak lelakimu. Ia keheranan ketika kau pulang dari rumahmu di Buru. Kau tak memeluknya sebagai kangen yang tertahan. Kau malah ingin segera membaca catatan hariannya. Sungguh, kau guru yang keras. Sekeras sikapmu. Apakah itu dendam dari masa lalu. Ketika ayahmu, meminta kau kembali mengulang pelajaran dari awal lagi? Entahlah.

Oh ia, Pram. Saya ingin sekali mendengar penuturanmu kala kau ditodongkan bedil untuk menulis surat balasan kepada Soeharto. Yang saya dengar, kau menangis. Ya, tiba-tiba saja kedua matamu basah. Suatu tindakan yang tak pernah kau lakukan, sekejam apapun perlakuan orang atau rezim terhadapmu. Bahkan ketika telingamu dihantam popor senjata. Kau tak juga menangis. Meski itu sangat sakit. Tentunya sangat sakit, karena kau tak lagi mampu mendengar dengan baik usai perlakuan brutal itu. Tetapi, mengapa kau menangis ketika ingin menulis surat. Bukankah menulis adalah pekerjaan utamamu, dan bukankah pula, Soeharto yang pertama kali mengirimu surat? Dan melalui seorang Jenderal, kau diminta untuk membalasnya.

Jika saja saya belum membaca Bumi Manusiamu, tentu saya belum bisa memahami alasan tangismu itu. Karena untuk pertama kalinya kau menulis di atas kebohongan. Dan tulisan itu kau tujukan kepada seorang Presiden.

***
Dimuat di Fajar edisi 28 April 2013



Komentar

Postingan Populer