Putra Daerah di Mana Kau Berpijak



Sumber: Tribun Timur
25 Februari 2012, untuk pertama kalinya dalam sejarah demonstrasi di Pangkep dipimpin langsung oleh Bupati. Sungguh sebuah peristiwa sejarah yang akan selalu dikenang, hal itu dipicu oleh keputusan rapat umum pemegang saham luar biasa (RU-PSLB) PT Semen Tonasa yang menetapkan lima komisaris tanpa putra daerah.

Pemenang Pilkada Pangkep tahun 2010, Syamsuddin Hamid seolah menjungkirbalikkan perspektif apatis kelompok masyarakat yang selama ini menganggapnya tak cakap dalam memimpin. Dan hari itu, mantan ketua DPRD Pangkep ini berteriak lantang menentang keputusan manajemen PT Semen Gresik yang dianggap mendikte PT Semen Tonasa.

Hanya saja, nalar publik masih menyisahkan sekelumit tanya akan sikap Bupati. Mengingat PT Semen Tonasa merupakan BUMN dan pemerintah di daerah barang tentu merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Lagipula PT Semen Tonasa dan PT Semen Gresik tentulah memiliki dasar dalam pengaturan manajemen. Asumsi lainnya, tak sedikit yang menilai sikap Bupati sebagai agresi untuk mempertahankan dinasti bisnis yang ia kelola. Masyarakat tahu, kalau Syamsuddin Hamid adalah pemilik perusahaan yang sejauh ini membangun koneksi bisnis dengan PT Semen Tonasa.

Asumsi inilah yang masih mengendap dan berkembang menjadi dugaan akan keberpihakan Bupati pada penetapan komisaris PT Semen Tonasa. Sebelumnya memang diusulkan tiga putra daerah yang dinilai memiliki kapabilitas untuk menempati posisi tersebut. Yakni, Zohra Andi Baso dari unsur NGO, Prof Dr Hamsu Gani dari kalangan akademis, dan Sukry Sawir yang berlatar belakang sebagai pengusaha. Hanya saja, ketiga nama ini justru tidak diakomodasi pada rapat pemegang saham luar biasa yang diadakan di Jakarta pada 19 Januari 2012.

Konstruksi Politik

UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan kepala daerah pasal 23 menyebutkan dalam penyelenggaraan otonomi, daerah berkewajiban mengembangkan kehidupan demokrasi (Poin C) dan mewujudkan keadilan serta pemerataan (Poin D). Jadi, daerah diberi keleluasaan dalam menafsirkan dua poin yang dimaksud. Jika hal ini dikaitkan dengan keberadaan perusahaan BUMN yang berkedudukan di suatu daerah, maka barang tentu pemerintah daerah memiliki celah guna memberikan usulan terkait pengembangan perusahaan tersebut.

Hal ini sangatlah wajar, hanya saja, usulan itu mestilah ditempatkan pada porsi sesuai aturan yang berlaku. Misalnya, pengusulan putra daerah dalam jajaran manajemen sebuah perusahaan. Situasi yang demikian haruslah dilihat secara profesional berdasarkan ukuran sumber daya manusia. Penggunaan istrumen politik hanya sebatas advokasi saja, dan jangan sampai menjadi kuasa untuk mengintervensi. Karena yang demikian justru inkonstitusional, karena BUMN jelas memiliki dasar regulasi.

Isu putra daerah sebagai dagangan politik sebenarnya masih berusia belia. Kehadirannya lahir berdasarkan situasi emosional yang tidak didasari kecerdasan analisis sebagai dialektika untuk menggugurkan paham lama. Karena berupa dagangan, maka dengan mudah isu ini bisa digiring ke mana saja dan menjadi konsumsi bagi khalayak. Itulah kemudian, putra daerah selalu menguak di panggung Pilkada sebagai lem yang bisa mempererat emosi.

Hal yang serupa terjadi pula pada kasus PT Semen Tonasa terkait kisruh penetapan komisaris, beberepa elemen masyarakat berteriak guna meloloskan putra daerah dalam manajemen perusahaan yang sudah berusia 44 tahun itu. Dalam takaran advokasi, tidak ada yang keliru, malah dianjurkan guna memenangkan perjuangan. Menjadi keliru, manakala isu putra daerah sebatas jargon untuk menunjukkan ketidakberdayaan dari dalam. Artinya, ada ketidaksiapan dalam menjawab kebutuhan. Hal ini diindikasikan dengan sikap primordial yang dangkal dan tidak memiliki kecapakan pengetahuan untuk mengusung putra daerah.

Politik memang menjadi ruang yang memungkinkan segala kepentingan ditumpuk untuk dieksekusi, bahwa tindakan mobilisasi massa yang dilakukan oleh Bupati paling tidak bisa dilihat dengan menggunakan dua sudut pandang.

Pertama, sebagai tanggung jawab kepala daerah yang merasa kehilangan kekuasaan atas pengelolaan sumber daya alam yang mana memantik emosi primordial dengan tidak adanya putra-putri kelahiran Pangkep yang menduduki jabatan strategis di perusahaan sekelas PT Semen Tonasa. Sebenarnya, sikap Bupati melanggar konstitusi bisa juga dibaca sebagai akumulasi kejengkelan masyarakat Pangkep dalam menyikapi keangkuhan PT Semen Tonasa yang sudah puluhan tahun mengeruk Karst, dan dinilai sejauh ini meminggirkan keberadaan masyarakat yang mendiami kawasan kelola tersebut. Di lain sisi, IPM Pangkep dari tahun ke tahun masih tersudut di angka bawah dari 24 kabupaten/kota di Sulsel.

Kedua, gejala ini merupakan jawaban dari kebebasan berpendapat pasca tumbangnya rezim Orba, posisi kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan langsung menegaskan mandat rakyat kalau garis kekuasaan dari pusat tak selalu harus dipatuhi. Bandingkan hal ini dengan situasi patuh para kepala daerah yang selalu tunduk dari pusat.

Jadi, langkah yang dilakukan oleh Bupati haruslah dibaca melalui serangkaian sejarah yang bertautan dengan situasi riil masyarakat Pangkep semenjak PT Semen Tonasa dibangun. Yang boleh jadi, ada luka di masa lalu yang belum terobati hingga kini. Sekali lagi, kegenitan Bupati adalah interupsi sejarah bagi PT Semen Tonasa untuk mengevaluasi kontribusi keberadaannya di tengah era otonomi daerah. Meskipun interupsi ini sebenarnya sudah seringkali diajukan oleh kelompok masyarakat melalui tindakan yang sama. Meneriakkan kegelisahan dari alpanya putra-putri daerah di tanah kelahiran.
_


Komentar

Postingan Populer