Perihal Bung Kecil


Syahrir

Seorang kawan yang kini melanjutkan studi di Jakarta, acap kali mengirimkan pesan pendek yang mengabarkan situasi paling hangat di ibu kota. Meski warta itu sudah tersiar di beberapa media. Namun sebagai kawan lekat, mungkin ia merasa perlu untuk mengabariku. Mungkin pula karena ia ingin menunjukkan sesuatu yang lain.

Setiap pesannya ia tak lagi menyapaku Sobat, Parner, atau Sodara, sapaan yang selalu kami ucapkan sejak pertama kali bertemu di tahun 2003. Tiba-tiba saja, saya merasakan jarak, saat ia menyapaku Bung.

Saya di Makassar dan ia di Jakarta. Apakah ia ingin menunjukkan sebentuk lingkungan yang berbeda? Entahlah.

Saya sadar, kalau kawan itu tak punya maksud apa-apa dengan perubahan penyebutan sapaan. Karena di ibu kota, atau di lingkungan di mana ia berjejak, sapaan Bung adalah bentuk kedekatan yang saling menghormati. Hanya saja, ada rasa yang terjemahkan, saya ini Bung kecil yang masih berdiam di Makassar. Karena warta terhangat perihal Makassar yang saya kirimkan kepadanya, tak pernah ditanggapi.

Ah! Saya jadi ingat engkau, Tuan Syahrir, ketika Soekarno hendak mengajarkan perlawanan sampai sedetail-detailnya, termasuk sebuah sapaan. Ia menolak pengucapan Pak di lingkungan kaum pergerakan. Eureka! Sontak ia berteriak Bung. Sebuah sandi tercipta.

Sejarah menulis, kau bagian dari trisula itu. Kau lalu membaca, kalau kemerdekaan yang didambakan adalah perjalanan menuju meja perundingan. Di sanalah medan pertempuran yang kau jajaki. Sungguh! Suara Tan Malaka serasa redup kala kau tergabung dalam strategi itu.

Kau cakap berdiplomasi, Bung Kecil!

Gerak-gerikmu menyembunyikan sesuatu, apakah itu kode saat kau menjadi anak pantai di Banda Neira? Berkali-kali kau menulis surat di pulau kecil itu, tetapi kau tak menyebut Hatta di dalamnya. Gunung, nelayan, laut, pohon-pohon, dan anak-anak. Itulah tokoh yang kau kabarkan. Serasa kau menemukan firdaus di sana.

Tetapi kau mencintai sebentuk narasi yang ujungnya kau tolak sendiri. Kau sosialis tulen, Sungguh! saya mengeja demikian. Kau membakar dirimu sendiri ketika ‘Bung-Bung’ itu membutuhkan lentera. Kau habis, Tuan Syahrir! Tetapi kau mencintai sesuatu yang telah kau tolak itu. Sebenarnya mereka tahu, dan kau pun tahu. Kau memendam strategi, kala mereka membeberkan strategi. Tapi sekali lagi, kau kembali membakar dirimu. Kau bahkan terpenjara lagi usai tubuhmu hangus.

Demikianlah Tuan Syahrir! Kami mengeja ceritamu. Kau salah satu pilihan ketika negeri ini baru saja lahir, pemuda mengingatmu layaknya Tan Malaka atau Amir Syafruddin. Bahwa kau juga layak menjadi ayah sekaligus ibu bagi orok yang bernama Indonesia.

Bung Kecil!

Itu hanya sebutan, kau pun selalu disebut orang ketiga setelah dua ‘Bung’. Karena ada sesuatu yang tidak etik diperdebatkan, kau selalu tersenyum sebagai proses saling menghargai.

Tuan Syahrir!

Kau pasti ingat, sebab apa, sehingga kau jauh dari rumah besar ini! Bukankah Belanda sudah takut mengasingkanmu. Tetapi, Bung Kecil! kau harus angkat koper untuk kembali menjalani pengasingan. Kali ini lebih jauh dari rumahmu, sangat jauh, Bung Kecil! Swiss. Sebuah negara di Eropa tengah.

Kala kau di sana, kau masih rajin menulis sepucuk surat. Tetapi suratmu terkadang tanpa alamat, mungkin kau tahu, tak ada lagi yang mendengarmu.

Kau sungguh menjelma menjadi Bung Kecil! Tahun 1966, kau pun mangkat. Meski tak separah Tan Malaka atau DN Aidit. Tetapi, kau menuliskan cerita tragis yang lain. Kau jauh dari rumahmu yang sudah merdeka, sangat jauh, Bung Kecil! Ya, kau wafat sebagai tahanan politik yang disematkan oleh negaramu sendiri.

***
Makassar, 31 Oktober 2012



Komentar

Postingan Populer