Kabar Lelaki Merah


Dipa Nusantara Aidit

Fidel Castro mengucap belasungkawa perihal kabar kematianmu, itu diucapakan di hadapan delegesi kaum komunis se dunia yang berkumpul di China. Mao Tse Tung lalu menulis sajak mengenang kematianmu.   

Selanjutnya, Sobron Aidit, adikmu, meradang sejadi-jadinya. Bertahun-tahun namamu menjadi momok dan diharamkan untuk disebut, saudara dan anakmu kehilangan pengakuan sebagai warga negara Indonesia. Mereka lalu berjuang di tanah rantau masing-masing. Sobron Aidit di Prancis, Ibaruri dan Ilya, dua putrimu, berpindah pijakan dari negara yang satu ke negara yang lain. Ilham, anak lelakimu yang tetap di dalam negeri, menghapus nama ‘Aidit’ di belakang namanya. Tetapi, mereka tetap bangga dikenal sebagai anak yang ayahnya pernah memimpin partai komunis terbesar ketiga di dunia.

Yang Terhormat Anak Belitung

Kau tahu Aidit! Tanah kelahiranmu menjadi latar sebuah film yang sangat populer. Ya, tiba-tiba saja seantero negeri ini menjadi mafhum tentang perjuangan anak-anak di Belitung mengejar impiannya. Film itu diangkat dari sebuah novel yang digubah anak Belitung.

Saya tahu, kau bukanlah Andrea Hirata yang hanya menulis karya sastra lalu dikenang sebagai suatu bentuk, meski itu berupa pencapaian lain. Hanya saja, kau sama sekali tak dilirik. Dilupakan malah! Karena bukankah ketika usiamu masih 20-an. Kau adalah dari sedikit pemuda yang menolak impian pribadi. Dengan reputasimu selaku aktivis pro kemerdekaan di era kolonial. Kau bisa dengan mudah mencapai puncak karier. Setidaknya, kau bisa menjabat menteri kala negeri ini sedang tumbuh. Namun, kau menepikan capaian itu, kamerad!

Kau harus tahu Aidit! bahwa pendidikan di negeri yang kau tinggalkan ini, adalah mesin raksasa yang mencetak peserta didiknya untuk menjadi pelupa sekaligus pembenci. Ya! Sebagian besar guru-guru melafalkan namamu di hadapan murid-muridnya hanya untuk mengalamatkan sumpah serapah kepadamu. Sungguh! Kau diingat hanya untuk itu, tak lebih.

Kisah heroikmu selaku pemuda pergerakan kemerdekaan telah dihapus. Bukankah kau turut serta dalam kelompok pemuda yang merencanakan penculikan terhadap Soekarno dan Hatta, supaya proklomasai kemerdekaan dengan cepat didengungkan. Bukankah kau pula bersama Wikana, pemuda lainnya yang terlupakan itu, yang berani membentak Soekarno. Kau mengingatkan kepada pemimpin pergerakan itu, bahwa kemerdekaan yang didambakan bukanlah atas campur tangan Jepang. Karena jika demikian, itu sama halnya dengan pengkhianatan terhadap pengorbanan para pejuang yang telah mangkat.

Sang Kamerad!

Yang tak terkenang. Bahwa kau seorang anak sulung yang berdikari, ketika usiamu sudah cukup untuk berjalan. Kau menolak dibiayai oleh orang tuamu. Kau menantang Batavia sebagai permulaan jejak langkah. Bila libur tiba, kau pulang ke Belitung berkebun, atau membantu orang membangun kandang ayam dan membuat parit. Kau rela tak mendekap rindu dengan keluargamu. Karena kau jarang menginap di rumah orang tuamu.

Kau tahu Aidit. Adikmu, Sobron. Merekam lakumu itu ke dalam cerpen. Ya, lewat cerpen. Bukan buku sejarah. Mungkin karena Sobron tahu, kalau buku sejarah di negeri ini mestilah mendapat tanda tangan seorang Jenderal sebelum beredar, dan Sobron, tentu tak mau bermain dadu dengan hal demikian. Tetapi lihatlah, Aidit. Pengakuan polos adikmu itu, perlahan merobek hijab perihal dirimu. Secara perlahan neraca sejarah bergeser menuju titik keseimbangan.

Sang Kamerad!

Rupanya kerja sistem berjalan dengan lancar. Namamu hanya diingat sebagai seorang komunis kelas wahid. Kau seolah bukan manusia, tetapi komunis yang dicetak tebal. Konon, sebelum peluru bersarang di batok kepalamu. terlebuh dahulu kau disembur dengan timah panas. Saya tidak tahu, apakah timah itu berasal dari tanah kelahiranmu di Belitung!

***
Makassar, 28 Oktober 2012



Komentar

Che Susanto mengatakan…
Di negeri dgn penguasa bebal ini, kadang yg fakta terasa sbg fiksi, dan yg fiksi lbh banyak faktanya
kamar-bawah mengatakan…
Sepakat, terimah kasih telah singgah di sini, Che Susanto

Postingan Populer