Mundur dalam Sejarah Politik Indonesia



***
Lalu bagaimana dengan penghayatan kita melihat sejumlah pejabat publik yang telah menetapkan pilihan mundur dari jabatan yang telah ia perjuangkan sebelumnya. Akh! Nampaknya tak cukup membuat kita menganggukkan kepala sebagai bentuk rasa bangga, atau hal rasa itu masih perlu berkelahi dengan keraguan. Bahwa motif mengundurkan diri memiliki seribu wajah serta menyisahkan tanya yang membutuhkan penjelasan dan pembuktian.
***


Perilaku mundur pejabat publik di negeri ini rupanya sedang menjadi tren, sebuah sikap yang sejak dulu selalu dirindukan. Namun, adakah itu menunjukkan penolakan akan sesuatu yang dianggap tabu, karena tak ingin terkontaminasi cela, mengingat mundur dari sebuah jabatan tentulah pilihan untuk memotong yang kotor.

Semangat pengunduruan diri yang tersimpan dalam memori kita sangat erat kaitannya dengan keteguhan, penolakan, atau tak ingin menjadi boneka dari sebuah rezim. Bisa pula disikapi sebagai bentuk penghormatan terhadap kelangsungan pertumbuhan generasi manakala yang bersangkutan memang sudah tak mampu lagi akibat tuntutan fisik seperti yang dicontohkan Paus Benediktus XVI.

Lalu bagaimana dengan penghayatan kita melihat sejumlah pejabat publik yang telah menetapkan pilihan mundur dari jabatan yang telah ia perjuangkan sebelumnya. Akh! Nampaknya tak cukup membuat kita menganggukkan kepala sebagai bentuk rasa bangga, atau hal rasa itu masih perlu berkelahi dengan keraguan. Bahwa motif mengundurkan diri memiliki seribu wajah serta menyisahkan tanya yang membutuhkan penjelasan dan pembuktian.

Menduga Gejala

Sejarah pengunduran diri dari jabatan dalam perpolitikan modern Indonesia bisa  dimulai dari wakil presiden pertama, untuk proses ini, Mohammad Hatta telah dua kali bersurat kepada DPR yang kala itu diketuai oleh Sartono SH, masing-masing pertanggal 23 Juli dan 23 November dengan isi yang sama. Yakni akan mengundurkan diri pada 1 Desember 1956. Mohammad Hatta menempuh sikap politik yang demikian sebagai jawaban atas penetapan UUD 1950 tentang sistem kabinet parlementer. Menurut beliau, muatan UU tersebut memproklamirkan kematian dwitunggal dalam sistem politik Indonesia, sehingga kepala negara hanyalah simbol saja dan wakil presiden jelas tak dibutuhkan.

Sebab itulah Mohammad Hatta bulat dengan tekadnya, mengundurkan diri adalah bentuk pemutusan serta penolakan sekaligus menjaga suatu nilai yang diyakininya. Jelas sekali kalau Mohammad Hatta memegang teguh ideologi politiknya sebagai peta dalam bertindak, bukan barang dagangan yang bisa dijual ke mana saja, karena setelahnya tak ada lagi jabatan publik yang diembannya.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari sikap Mohammad Hatta, ialah sikap menjunjung tinggi nilai perbedaan politik. Boleh jadi beliau tak ingin menjadi duri dari rancangan sejarah yang coba ditumbuhkan ketika itu, di dalamnya berkutat antara tunduk sebagai sahabat palsu atau memilih tak ingin terlibat proyek ambisius yang dalam pemahamannya bisa menjadi bumerang dan penyakit dalam tubuh negara yang sedang tumbuh. Dan Mohammad Hatta memilih tak ingin menjadi sahabat yang mengenakan topeng sambil duduk manis di dalam istana.

Empat puluh dua tahun kemudian, tepatnya 21 Mei 1998. Soeharto membacakan surat pengunduran diri sebagai presiden, narasinya mungkin tak seheroik Mohammad Hatta, tapi saya kira pilihan yang ditempuh adalah sikap bunuh diri. Kita tahu ada banyak serbuan yang mendesak dari berbagai pihak, utamanya amuk massa. Soeharto tentu paham akan hal itu, karena apa jadinya jika beliau tetap bergeming dan membangun benteng di istana. Ya, paling tidak tragedi yang menimpa Moammar Kadafi bisa membantu dugaan kita, sekalipun konteks peristiwa terpisahkan waktu.

Berhentinya rezim orba melahirkan narasi baru dalam historiografi politik di negeri ini, pemilu tahun 1999 menjadi tangga dasar guna memulai rotasi kepemimpinan yang bertumpu kepada rakyat, yang kembali dipertajam pada pemilu 2004 dengan memilih kepala negara secara langsung. Sadar akan perlunya citra untuk menarik simpati masyarakat, para petarung mulai merancang strategi. Yang menonjol kala itu, tindakan Susilo Bambang Yudoyono yang mulai membangkang kala Abdurrahman Wahid menjabat presiden dan puncaknya mengundurkan diri selaku Menko Polkam di kabinet gotong royong Megawati pada 11 Maret 2004. Alasannya jelas, menantang Megawati bertarung di pemilu 2004.

Kira-kira perilaku mundur dari jabatan untuk menginginkan kedudukan yang lain bisa ditetapkan dari tindakan yang ditunjukkan SBY, cerminan ini bisa digunakan dalam melihat pilihan yang diambil sejumlah pejabat publik. Sebut misalnya, Idrus Marhan yang mundur dari DPR pada 8 Juni 2011 karena ingin fokus mengurus partai setelah ditetapkan sebagai Sekjend Golkar.

Hal yang sama ditunjukkan oleh Akbar Faisal yang juga hengkang dari DPR pada 8 Februari 2013 sekaligus mundur dari partai Hanura dan memilih ke partai Nasional Demokrat. Selanjutnya putra SBY, Edhie Baskoro Yodoyono bertindak sama, ia mundur pada 14 Februari 2013 setelah partai Demokrat dirundung masalah. Jabatannya selaku Sekjend menjadi alasan yan ia sampaikan kepada publik. Pada kasus yang serupa, saya kira Anis Matta memiliki hajatan yang sama meski latar belakangnya berbeda. Karena ia mundur dari DPR pada 7 Februari 2012 setelah resmi ditetapkan sebagai presiden PKS menggantikan Luthfy Hasan Ishaaq yang sebelumnya juga telah mundur dari jabatannya usai ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi menerima suap impor daging sapi. Lalu jalan yang ditempuh Anas Urbaningrum yang akhirnya memilih mundur akibat prahara poiltik di kubu partai Demokrat, saya kira memiliki kadar yang serupa.

Jika ada pengecualian kaitannya dengan konstalasai karier politik, itu terjadi pada Theresia Ebenna Ezeria Pardede (Tere) dari Fraksi Demokrat DPR yang mundur pada 31 Mei 2012 dengan alasan ingin mengurus keluarga. Juga Arifinto dari Fraksi PKS pada 8 April 2011 karena kedapatan menonton video porno.

Pilihan mundur inilah yang saya kira masih menyisahkan tanya, terlepas dari adanya pengganti yang mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan. Pada dasarnya memanglah suatu yang wajar meski itu memiliki koneksi dengan keinginan yang lain. Hanya saja, adakah sikap tersebut menunjukkan perlawanan atas apa yang dianggap busuk dan bisa dijadikan pegangan bagi masyarakat sebagai pemihakan! Entahlah, saya hanya menduga.
_



Komentar

Postingan Populer