Kota yang Sial, Kata, dan Sastra

Setiap kali pemilihan akan digelar, apakah itu pemilihan kepala daerah dan legislatif semua tingkatan. Maka pada saat yang sama kita akan menonton pajangan-pajangan di pinggir jalan, bahkan di pintu rumah kita.

Pajangan yang nantinya tertanam di batok kepala lalu tumbuh seiring mendekatnya hari pencoblosan, boleh jadi pajangan itu menjadi penuntun cara kita berfikir, berbicara, dan bertindak. Lalu lahirlah kesimpulan-kesimpulan.

Keramaian ini bukan hanya terjadi di pusat kota di Provinsi ini. Kota di sisi Utara, Timur dan Selatan juga menjadi ruang pameran. Sepertinya para kandidat yang sedang bertarung menjelma sebagai ‘seniman’ yang memajang karya instalasi mereka di sudut-sudut jalan. Pajangan itu tiba-tiba saja hadir. Orang yang paling apatis sekalipun, saya kira tak cukup kuat menolak untuk tidak menoleh sejenak melihat wajah dan kata-kata yang ada. Sebelum membatin keheranan atau tersenyum kecut.

Di lembaran budaya satu-satunya yang ada di koran Sulsel ini, pernah terpajang cerpen yang menggelisahkan itu. Cerpen itu merangkum kesimpulan orang-orang yang telah kehabisan kata, jenuh, dan sangsi. Bermula dari iklan para kandidat yang menganggap dirinya tak cukup dikenal, sehingga perlu memamerkan wajahnya di sudut-sudut jalan. Sialnya, sering kali baliho itu hilang sebelum sempat dikenal, atau malah terluka akibat sobek yang parah dan menghilangkan sebagian wajah berlumuran senyum itu.

Kota ini saya kira sama nasibnya dengan kota yang lain, terjebak dalam rotasi takdir dan terkungkung penafsiran. Setelah lahirnya rumah toko yang kelebihan, kini mendadak menjadi etalase raksasa. Sialnya, itu tak terjadi sekali lima tahun lagi, melainkan tiap hari. Selalu saja ada pajangan dari orang-orang, kelompok, atau instansi yang merasa perlu mengkomunikasikan sesuatu. Meski sebenarnya tak semua masyarakat membutuhkan informasi yang ditawarkan. Peredaran kata-kata ini sungguhlah mencemaskan.

Kata Beraroma Bensin
         
Kata-kata yang kita baca sangat mudah menyulut emosi dan potensinya bisa beragam, namun yang dominan adalah ajakan untuk terlibat dalam pesta yang ditawarkan. Yang sebenarnya sebuah keterpaksaan dari lemahnya perlawanan.

Sepertinya ruang publik merupakan ajang kompetisi dari kekuatan yang bisa mengendalikan wajah kota, memolesnya sesuka hati seolah memiliki. Imbasnya, kota begitu sesak, kewalahan menampung bebannya sendiri. Setiap pekan pusat perbelanjaan menjadi wisata atas desakan kekuatan bawah sadar, bahwa selalu saja ada yang perlu dibeli.

Di sektor lain juga terjadi hal yang sama, tengoklah gedung pemerintahan dan parlemen. Apakah persoalan komunal kaum urban dipertaruhkan di sana? Nampaknya mustahil, karena kita masih mendapati roda kendaraan berputar lambat, dan selalu saja ada kekhawatiran tiap kali melewati jalan-jalan kota. Di sana ada teror mental yang menguras belas kasih.

Hampir tak ada ruang untuk menawarkan kata-kata yang lain, semacam penyeimbang dari serbuan yang ramai itu. Bahkan bacaan yang dikonsumsi merupakan impor dari dunia lain, kita menemukan kosa kata baru sekaligus mengamini doa perihal matinya sejumlah kata yang dulu menemani masa kecil kita.

Mungkin kita perlu mengecek ulang kampaye membaca yang tengah digalakkan, anjuran berkomunikasi dengan teks saya kira tak semata menghibahkan waktu tenggelam di ribuan lembaran. Ada yang perlu diperiksa dari bacaan-bacaan itu, mungkin soal gagasan yang kelak mengintervensi pertumbuhan perspektif kita. Hal ini perlu digeledah, agar bacaan tak membuat kita malas. Semalas kutu yang berjalan pelan di kepala.

Strategi ini paling tidak secara perlahan memotong siklus peredaran kata yang membuat kota mengalami kegamangan, tak menarik, dan tentu saja sebuah kesialan bagi tumbuhnya komponen kehidupan yang bertaut di dalamnya. Kepincangan itu terlihat jelas sepanjang hari, pajangan yang ada menjelma sebagai rambu baru yang tak semua golongan terpaut. Mari perhatikan peredaran muatan baliho atau spanduk yang ada, di dalamnya memunculkan penyelaan dengan kata dan simbol sebuah golongan.
         
Bila demikian, itu berarti ada gap yang terus dibangun. Lalu siapa yang membangun? Anggap saja dulu kita tak menyebut tokoh, karena kekinian sulit memberikan takaran untuk menetapkan idetifikasi. Tapi kita boleh meminjam perspektif filsuf Michel Foucoult, kalau kekuasaan itu beranak pinak. Saking banyaknya keturunan, orang-orang yang menetapkan tindakan itu juga tak mengenal gen pola pikirnya.

Lantas, dengan apa kita menetapkan ukuran untuk melacak kekuatan yang hegemonik itu. Mengecek sejarah merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Determinisnya, hal ini merupakan pengulangan yang akan selalu hadir. Selalu ada yang dikuasai dan mengusai. Sialnya, perebutan ruang merupakan prasyarat guna memuluskan kerangka kerja.
         
Penggunaan kata dalam pajangan menegasikan dirinya sendiri dengan penutur kata. Inilah kekaburan genealogi akibat kelunturan ideologi, tak tersingkap dan menganggap tindakan sebagai sesutau yang wajar-wajar saja.

Sebenarnya, nasib sial kota ini bisa disulam menjadi bahan menarik bagi karya sastra, namun sastra tanpa tradisi penelitian adalah sastra hambar dan membosankan. Sastra tanpa bahan baku lokal, terpaksa akan menjelma mahluk asing. Bentuk dan isinya masih harus dalam dosis tinggi, meminjam dari tradisi sastra di tempat lain. (Nurhady Sirimorok: 2011).

Interupsi Nurhady Sirimorok di atas, adalah sebuah peta yang coba ditawarkan bagi pelaku sastra di kota ini. Ada tanah garapan yang membentang luas, dan itu membutuhkan sentuhan yang lahir dari interaksi realitas. Mungkin dengan mengikuti jalur dalam peta itu, pertumbuhan kota dan tautannya tidak lagi saling mengasingkan.
_

Dimuat di Rubrik Apresiai Fajar, 20 Januari 2013


Komentar

Postingan Populer