Banjir dan Perilaku Demokrasi Kita



Air bah demokrasi ini tak hanya mengaktual di jalan, perumahan warga di sejumlah titik di daerah juga menjadi sasaran. Karena hal ini kejadian tahunan dan terjadi di titik yang sama, maka barang tentu turunnya air hujan tak bisa dicap sebagai faktor utama (baca: bukan takdir). Nah, pada dasar inilah tanya dan tuntutan berhak diajukan kepada aparatus Negara.



Peristiwa tahunan kembali lagi terulang, tumpahan air dari langit telah menggenangi ruas jalan dan pemukiman warga. Tak tanggung-tanggung, semua kabupaten/kota di Sulawesi Selatan memiliki titik genangan air yang disebut banjir.

Disaat bersamaan provinsi ini tengah menunggu waktu guna menggelar hajatan pemilihan kepala daerah tingkat satu (Gubernur). Dan kini tahapan masa kampanye tengah berlangsung. Kita bisa menduga, kalau banjir akan menjadi isu hangat yang akan didengungkan oleh tiga pasangan kandidat.

Pada wilayah ini, kita patut mengajukan tanya akan penanganan masalah ini. Karena banjir barang tentu suatu peristiwa rutin tahunan yang selalu meresahakan warga yang mengalami dampaknya. Meski tak menyeluruh, namun hal ini bukanlah masalah kelompok masyarakat tertentu yang bisa saja menjadi hal sepele dalam perancangan kebijakan publik.

Lebih dari itu saya kira, titik-titik banjir ini adalah wajah suram demokrasi yang tengah berlangsung. Hubungan yang terjadi tak bisa dibaca pada persolan cuaca, di sana tentu ada campur tangan kebijakan yang bermuara pada keputusan rancang pembangunan oleh pemerintah. Sehingga tanggung jawab ini memerlukan bentuk evaluasi dari apa yang telah dilakukan. Bahwa memoles pembangunan daerah bukanlah sekadar mengejar angka-angka untuk mendapatkan pengakuan nasional.

Kita tahu kalau pengakuan nasional yang telah didapatkan hanya akan berakhir sebagai ilusi bagi masyarakat yang terus saja mengeluh setiap kali banjir mengetuk pintu rumah mereka. Lantas, adakah banjir ini dianggap sebagai sebuah takdir? Pada pahaman tertentu saya kira ada yang menyebut demikian. Namun, sangatlah naif bila hal itu masih menjadi perisai dalam membaca petak-petak kegagalan pembangunan.

Dalam diskursus wacana demokrasi yang tengah berlangsung setelah reformasi 1998. Semestinya setiap masalah yang berhubungan dengan kehidupan orang banyak, haruslah dilihat secara struktural, mengingat jalannya pembangunan fisik seperti: Jalan, gedung, pabrik, rumah toko, perumahan, dan proyek-proyek yang berkaitan dengan penataan lingkungan. Karena hal ini bukan narasi takdir yang hadir begitu saja, melainkan ada kesepakatan yang diatur antara pemerintah dan pemodal.

Banjir sebagai Air Bah Demokrasi

Demokrasi sudah tuntas sebagai buah pikiran yang brilian, yang membuatnya membusuk adalah perilaku aktor yang terlibat dalam lembaga demokrasi. Kita bisa tahu dari sekian banyak keputusan yang lahir di balik meja kerja dan forum persidangan dalam melahirkan regulasi, ada sekian banyak yang alpa. Mulai dari kelonggaran izin pembangunan fisik dan penataan tata ruang yang melupakan gerak alam.

Efek ini melahirkan keogahan sosial dari realitas kelas yang menguak, tembok tinggi menjadi pelindung individu dari sempitnya got yang tak pernah tersentuh pembangunan. Cerminan ini pula yang terjadi di sepanjang ruas jalan antar daerah, di kiri kanan jalan adalah realitas yang pincang yang tak bisa ditutupi oleh bedak pembangunan yang tengah berlangsung.

Sungguh kita menjumpai anomali, karena seharusnya penggenjotan pembangunan jalan beton sebagai proyeksi insfrastruktur mutakhir rupanya masih menyisakan cela. Padahal, bentuk partisipasi warga yang merelakan petak tanah mereka yang terkena pelebaran jalan. Juga tak bisa menyelamatkan jalan mulus itu dari genangan air.

Air bah demokrasi ini tak hanya mengaktual di jalan, perumahan warga di sejumlah titik di daerah juga menjadi sasaran. Karena hal ini kejadian tahunan dan terjadi di titik yang sama, maka barang tentu turunnya air hujan tak bisa dicap sebagai faktor utama (baca: bukan takdir). Nah, pada dasar inilah tanya dan tuntutan berhak diajukan kepada aparatus Negara.

Karena pola keputusan (bukan kebijakan) masih berdiri pada satu titik saja. Untuk wilayah kota Makassar misalnya, dari tahun 2012 hingga pertengahan 2013 mendatang, kedua mata kita akan menangkap tumbuhnya tembok-tembok tinggi yang jumlahnya puluhan (baca: Hotel) Memang tak bisa dikatakan kalau hal ini merupakan gejala utama, tapi saya kira bisa disebut sebagai faktor pendukung. Dari realitas ini pula kita bisa menduga arah keberpihakan pemerintah (Tingkat 1 dan Tingkat II). Mengingat hal yang sama juga merembes di daerah.

Sesat pikir yang masih bertahan, adalah wajah daerah yang maju ditandai dengan lahirnya bangunan tinggi sebagai cerminan kemajuan ekonomi. Hal ini sudah berlangsung sejak dimulainya proyek pembangunan di awal orde baru. Sebenarnya, aib dari paham ini (develomentalisme) sudah singgah di pelupuk mata kita. Tapi sekali lagi, silaunya modernisme tak kuasa dibendung. Hampir tak ada model pembangunan lain yang bisa ditempuh penyelenggara Negara selain manggut dengan determinisme ini.

Kemauan untuk Berubah

Sangat diperlukan kemauan untuk bertindak berdasarkan skala prioritas atas masalah publik yang terjadi tiap tahunnya ini. Bahwa banjir bukanlah semata kemauan alam, tapi perlu sentuhan kebijakan guna mencegahnya.

Kesadaran ini bisa dimulai dengan mengevualsi jalur-jalur keputusan yang selamai ini sudah berjalan, sehingga bisa mengetahui adanya ketimpangan. Selain tentunya diperlukan tindakan nyata atas solusi teknis dalam menangani banjir.

Saya kira membangun partisipasi warga bukanlah sesuatu yang sulit jika aparatus Negara selaku muara keputusan pembangunan kebijakan publik dapat memberikan garis tegas atas keberpihakan. Bahwa imbas dari kerja keras pemerintah, ialah dedikasi untuk warga, karena seyogianya memang demikian.

Diharapkan dari perilaku kesadaran yang demikianlah lahir kepedulian sosial yang sifatnya tidak kondisional, dan rel pembangunan tidak lagi bermata satu yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Sehingga perjalanan demokrasi sebagai sistem yang tersepakati tak lagi berhenti pada pemenuhan tuntutan yang prosedural. Hanya mengikut sertakan masyarakat pada ajang pemilihan kepala daerah lima tahun sekali. Karena jika demikian, perilaku demokrasi kita sungguhlah memiriskan. Layaknya banjir yang kerap mengusik ketenangan kita.
_

Dimuat Di Tribun Timur, 8 Januari 2013


Komentar

Postingan Populer