Kabar dari Aspar


Dok. Kamar Bawah: 2012


Dua buah buku kumpulan puisi Aspar Paturusi: Badik, Puisi Untukmu (Garis Warnah Indoneseia: 2011) dan Secangkir Harapan (Kosa Kata Kita: 2012) yang kesemuanya dibubuhi kata pengantar yang mendalam oleh Maman S Mahayana. Menegaskan sebentuk jalan dan pilihan yang telah ditempuh oleh sang penyair.

Usai membaca kata pengantar yang panjang dari kedua buku ini, sepertinya Maman S Mahayana hendak mendendangkan sebuah petak untuk menunjukkan kamar sastra seorang Aspar Paturusi. Mengingat, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Budaya Universitas Indonesia ini telah mengemukakan resonansi pembacaannya terhadap puisi yang kesemuanya dalam kedua antologi ini pernah disiarkan Aspar Paturusi di akun facebook pribadinya. Dikatakan kalau puisi Aspar Paturusi hendak mengatakan sesuatu langsung pada apa yang ingin dikatakan. Karena realitas itu sudah ada. Sehingga, tak perlu menulis ‘begini’  jika ingin mengatakan ‘begitu’. 

Peristiwa itu boleh jadi apa yang dialami oleh sang penyair secara langsung (pengalaman) maupun yang sedang ia dengar, amati, dan diikuti perkembangannya (resonansi). Kedua dasar inilah saya kira Aspar Paturusi menjejali proses lahirnya sebuah puisi.

TUKANG KORAN

pagi sekali kabar-kabar terbaring
tukang koran terlatih melemparnya
segera kupungut sarapan pagiku
kulahap kabar seraya mereguk teh

tukang koran tak selalu bawa kabar baik
bahkan kini lebih banyak kabar buruk
pembaca koran sudah tahu jenisnya
dari presiden, koruptor, hakim diadili
sampai anak menganiaya ibu sendiri

kabar-kabar membuatku mabuk
kadang membakar emosi
menikam-nikam perasaan
meluapkan amarah
mengacaukan pikiran
melumpuhkan harapan

namun sehari saja tak ada kabar-kabar
tukang koran tak muncul di depan rumah
kok pagi terasa sepi

Jakarta, 26 Oktober 2011. (Hal. 90)

Mencernah puisi ini saya kira jangkauan asosiatif pikiran kita tak cukup pada sosok seorang tukang koran saja. Melainkan terhampar medan tafsir. Dan lewat puisi ini pula, dua dasar proses kreatif Aspar Paturusi sudah muncul. Pengalaman dan resonansi (baca: analisis dan pendapat).

Empat larik pada bait pertama menunjukkan pengalaman itu. Bait ketiga menjelaskan resonansi yang hinggap di benak. Melalui pemberitaan di koran, Aspar Paturusi menegaskan data yang menguat. Ia menggariskan tema besar yang selalu mendominasi headline media massa. Kabar buruk yang dimaksud secara larik mengeneralkan perilaku buruk tersebut. Kita tahu, kata ‘presiden’ tetap berdiri sendiri di himpitan kosa kata lainnya. Definisi itu tak buruk untuk menunjukkan sebuah jabatan politis. Lain hal dengan kata ‘koruptor’ yang juga berdiri sendiri di tengah kosa kata lainnya. Namun, definisi kata ini sudah jelas untuk menunjukkan bentuk perbuatan yang tercelah. Jajaki dengan sambungan lariknya ‘hakim diadili’ dan larik sesudahnya: ‘sampai anak menganiaya ibu sendiri’.

Sehingga dari bait ini: tukang koran tak selalu bawa kabar baik / bahkan kini lebih banyak kabar buruk / pembaca koran sudah tahu jenisnya / dari presiden, koruptor, hakim diadili / sampai anak menganiaya ibu sendiri.

Penyair kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943 ini menyadari kalau pemberitaan di koran merupakan konsumsi komunal yang tentunya memiliki rasa dan penilaian sendiri dari orang-orang yang membaca berita serupa. Dan ruang multi tafsir itu tetap terjaga. Pembacaan yang runut pada bait ini bisa saja mengantarkan kita pada tafsir general perihal kabar buruk yang dimaksud. Diawali dengan sebuah frasa ‘pembaca koran sudah tahu jenisnya’ . Sesudahnya adalah medan tafsir bagi pembaca. Bahwa apakah kabar menyangkut presiden itu buruk atau tidak. Itulah kata kunci untuk menghancurkan gembok pikiran sidang pembaca untuk menetapkan asumsi.

Tetapi soal hakim yang diadili. Separah itukah realitasnya. Sehingga kata ‘hakim’ perlu diperjelas posisinya dalam bait ini dengan sebuah kata kerja yang lumrahnya adalah status hakim tersebut. Soal anomali ini, saya menduga kalau Aspar Paturusi mengajak kita untuk menyebutkan hakim-hakim yang dimaksud karena datanya terhampar luas di lembaran koran.

Pertautan peristiwa dan gejolak kejiwaan membawa kita untuk mendalami kerja-kerja kreatif sang penyair. Boleh jadi, Aspar Paturusi duduk manis di pagi hari sambil menikmati secangkir teh manis. Namun kabar yang diperoleh merupakan kegetiran. Ia marah dengan warta itu sekaligus merasakan sepi jika tak menjumpai koran di pagi hari.

Status dengan Puisi

Bagi yang berteman dengan Aspar Paturusi di jejaring sosial Facebook, maka pasti mengenal dengan jelas puisi dalam antologi Secangkir Harapan ini. Atau bahkan Anda termasuk yang pernah memberikan komentar atau mengklik like sebagai pilihan. Medium jejaring sosial ini dianggap Aspar Paturusi sebagai ruang yang praktis dan cepat untuk segera mewartakan kabar lewat puisi. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah bisa memperoleh penanggap dari dalam maupun teman-temannya di luar negeri.

Jika demikian, di usia yang ke 69 tahun sekarang ini. Apakah Aspar Paturusi tak lagi melirik media cetak sebagai ruang untuk mewartakan puisinya? Ataukah ia mempersilakan penyair muda untuk tampil di sana? Mengingat media cetak hanya sekali semingu membiarkan halamannya ditumbuhi karya sastra. Berarti ini soal persaingan dan sikap demokratis.

Tetapi, Maman S Mahayana menduga kalau Aspar Paturusi bukanlah tipe penyair yang tendensius yang mau tunduk pada selera redaksi. Asumsi ini boleh jadi benar, jika kita mencermati perkembangan mutakhir puisi-puisi yang kerap hadir di lembaran koran. Gejala prosa begitu menguat di sana. Sedangkan pilihan bentuk puisi Aspar Paturusi bukanlah sebagaimana yang dimaksud.

Sehingga 139 judul dalam antologi kali ini walhasil adalah pewartaan realitas lewat puisi yang ditulis dari tahun 2011 hingga April 2012. Sangat terasa kabar itu pada puisi seperti: Elegi Libya, Mudik, Kampung yang Hilang, Tukang Sampah, dan puisi lainnya. Namun secara khusus ada sebuah puisi yang ditulis Aspar Paturusi sebagai jawaban bagi seseorang yang pernah mengirimkan pesan pendek (SMS) kepadanya. Isi pesan itu mengajukan tanya soal puisinya yang dianggap biasa saja. Lalu secepat mungkin Aspar membalas pesan itu dengan puisi berikut:

TANPA JUDUL 2

ada kata-kata kusimpan di saku matahari
bulan tertatih melangkah enggan mengejarnya
berjuta tahun matahari memanggul beban bumi dan manusia
bulan larut sedih melihat kata-kata angkuh melambai padanya
matahari hilang hasrat!

Jakarta, 23 Maret 2011. (Hal. 134)

Puisi ini merupakan sekuel dari puisi sebelumnya ‘Tanpa Judul 1’. Sepertinya Aspar Paturusi ingin menunjukkan kalau pilihan itu selalu ada, termasuk dalam hal menentukan bentuk puisi. Dua sekuel puisi (Tanpa Judul 1 dan 2) merupakan jawaban itu. Sekaligus sebagai puisi yang seolah sulit untuk dicernah sebagaimana maksud pengirim pesan pendek itu.

Kepenyairan Aspar Paturusi saya kira bukanlah pada kepiawaiannya dalam membungkus realitas dengan hijab metafora. Sekalipun itu sebagai pilihan. Yang ingin dikatakan langsung saja dikakatakan tanpa perlu bersusah payah mengajak pembaca mengerinyitkan dahi ketika mengejanya. Karena puisi-puisi Aspar Paturusi adalah rekaman peristiwa yang sudah terjadi, dan ia ingin mengabarkannya kembali lewat medium puisi. Agar pristiwa itu lebih jernih dan membuat kita merenung sebelum menetapkan pendapat.
_

Dimuat di Fajar, 23 September 2012. Dengan judul: Lewat Puisi,
Aspar Paturusi Mengabarkan



Komentar

Postingan Populer